Invisible Bram

Invisible Bram
Image by pixabay.com

Aku tahu Dru lelah, tanpa berhenti di kedai kopi Koh Leo, Dru berhasil menyelesaikan lari pagi kali ini hanya dama hitungan 2 jam saja. Biasanya jika bertolak dari rumah jam enam pagi, maka akan sampai di rumah kembali menjelang jam makan siang.

 

Perut yang sudah diisi segelas tubruk robusta di Kedai Koh Leo dan sepiring singkong goreng, akan Dru isi kembali dengan masakan paling enak sedunia buatan tangan Dru sendiri yaitu NTO alias Nasi Tutug Oncom yang merupakan menu turun temurun, dan aku rasa belum ada satu restoran pun yang dapat kalahkan pedas gurih NTO buatan Dru.

 

Mantap.

 

Sepanjang jalan tak ada satu katapun yang terlontar dari mulut mungil Dru. Aku kesepian, benar-benar seperti body guard, aku hanya bisa pastikan tidak ada apapun yang dapat membuat celaka Dru sepanjang perjalanan pulang dan yang paling penting Dru selamat sampai rumah.

 

Masih dengan T Shirt Pink Adidas dan Celana 7/8 yang sudah basah oleh keringat, Dru langsung rebahkan badannya di atas tempat tidur yang belum sempat Dru rapikan pagi tadi.

 

“Eh Dru, bersih-bersih dulu. Tidak baik masih berkeringat langsung tiduran. Kan kotor Dru!”
“Bawel.”

 

Hmm, kalau sudah dibilang bawel, aku urungkan untuk atur-atur Dru. Ini pertanda bahwa hati Dru masih saja tidak nyaman, walau sudah coba untuk tertawa tapi hati paling dalam tak bisa pungkiri bahwa Dru bersedih.

 

Ah, sepertinya ini saat yang tepat untuk menjadi detektif.

Kupastikan Dru sudah sangat lelap. Jika ikatan rambut belum dibuka, jaket masih dikenakan dengan lengkap dan sepatu jeleknya masih saja dia pasang di kakinya, pertanda Dru benar-benar kelelahan.

 

Tempat pertama, kubuka handphone Dru.

Scroll, terus aku scroll. Tak ada nama Bram di contact Dru. Kubuka semua pesan masuk dan keluar dari Iphone jadul milik Dru. Nihil.

 

Lalu aku pindah ke Whatsap dan Telegram. Pun sama. Tak ada nama Bram di dalamnya.

Sial, penasaranku makin menjadi. Hmmm kenapa harus penasaran ya? Bukankah ini hanya soal inisial di handuk Dru. Mungkin Bram hanya seorang ojek payung yang kebetulan kasihan melihat Dru kebasahan atau mungkin Bram hanya seorang pelayan hotel yang pinjamkan handuknya saat Dru di kolam renang dan lupa bawa handuk sendiri.

 

“Laelaaaaa…”

Yah dia bangun. Kulempar handphone Dru dan tak kusangka lemparanku terlalu jitu hingga mengenai pelipis Dru.

 

“Aw, Laela apa-apaan sih?. Kamu bukan handphoneku?. Kok kamu lancang?”
 

Gawat, gawaaaaaat ini. Dru pasti akan marah kalau tahu aku buka-buka handphone Dru. Duh kenapa aku tidak tanya langsung soal Bram, kenapa aku harus sok sok surprise mencari tahu soal Bram.

 

Sepertinya aku perlu belajar dari serial kartun dan komik Conan. Conan hebat banget, setiap kasus yang ditangani pasti sukses. Tak usah tentang mencari tahu soal sosok seperti Bram, kasus sekretaris membunuh managernya saja dapat dipecahkan oleh Conan dalam sekejap.

 

Loh Dru teruskan tidurnya. Selamet, selamet.

 

Handphone Dru bergetar. Bukan Rei. Tapi Tyo.

 

Hmm siapa lagi Tyo. Apakah ini pengagum rahasi dari Dru?. Atau ini daftar laki-laki yang akan difilter Dru untuk gantikan Rei?

 

“Dru bangun… handphonemu bunyi.”

“Biar saja, aku lagi tak tunggu telpon dari siapapun.”
“Tapi ini sudah tiga kali call Dru. Siapa tahu abang gojek atau abang paket lainnya yang akan antar pesanan kamu.”

 

Mulai ngaco sembunyikan kesalahan. Mana ada abang paket dissave namanya oleh customer. Hmm tapi Dru kan unik, bisa saja itu terjadi.

 

“Hei Bram. Tumben telpon. Ada apa nih?”

 

Hah, Bram?. Seingatku tadi Tyo. Kok jadi Bram.

Ah, rupanya namanya disamarkan oleh Dru.

 

“Laela, kau ke dapur dulu. Aku sedang tak mau diganggu.”

 

Sudah lama tak mengunjungi dapur milik Dru. Masih bersih dan masih cantik dapurnya.
Barisan kopi tertata rapi di lemari coklat dekat kulkas. Lemari baru nih, aku baru tahu kalau Dru koleksi kopi sekarang. Sejak kapan Dru jadi pecinta kopi, bukankah selama ini kehadiran Dru di Kedai Kopi Koh Leo hanya untuk meniknati segelas tubruk khas Koh Leo. Dru tak pandai meracik kopi, kok sekarang lengkap sekali kopi dan peralatannya.

 

“Kamu siapa?”
“Aku Laela, penjaga hatinya Dru.”
“Sombong sekali. Untuk apa kau mampir ke sini. Selama kami hadir di sini yang kami tahu hanya Dru saja.”
“Iya maaf, aku sudah tua. Malas aku keliling-keliling rumah. Ini hanya kebetulan sjaa karena diusir oleh Dru dari kamarnya. Cuma karena terima telpon dari Bram.”
“Bram?. Bramantyo maksudmu Laela?”
“Oh namanya Bramantyo, paham sekarang. Pantas daja namanya diubah menjadi Tyo. Sok imut banget sih Dru. Bram ya Bram saja kenapa menjadi Tyo.”

Kuluruskan kakiku, kunikmati aroma kopi yang mereka keluarkan. Perlahan aku hapalkan satu persatu setiap karakter dari mereka. Sepertinya mereka semua baik, cara berkenalannya saja aku suka. Apa mungkin mereka tahu banyak soal Bram?

 

“Biasanya Dru seduh siapa di dapur ini?”

“Dru itu hanya menyeduh satu kopi saja. Dan itu adalah kopi yang paling sering Bram sajikan oleh di Kedai Koh Leo. Jadi dari sekian kopi yang dikirim oleh Bram. Sidikalang adalah pilihan Dru.

“Ow, kenapa aku tak pernah melihat Dru minum kopi di sini ya?”
“Karena Dru seringnya menubruk Sidikalang bersama kami, sambil cerita tentang Rei dan Bram.”

“Kau tahu banyak soal Rei dan Bram?. Koh Leo kenal dengan Bram?”

 

Kucoba mengingat setiap kejadian di Kedai Koh Leo. Rasanya Dru hanya ngobrol dengan Koh Leo atau Parjo yang tugasnya antar setiap pesanan pelanggan Koh Leo. Aku benar-benar penasaran.

 

“Apa alasan Dru seduh kopinya di dapur ya?. Kalian tahu?”

“Dia malu sama kamu Laela. Dia sungkan harus kembali bercerita soal laki-laki yang tak kunjung berani untuk meminang Dru.”
“Ow…Dru. Aku jadi merasa bersalah.”

“Bram ini sebetulnya sudah lama Dru kagumi. Nama Rei sudah bisa Dru lupakan. Sayangnya Bram tidak pernah memberikan sinyal bahwa dia menyukai Dru.”
“Ah kurang ajar Bram. Sudah membuat Dru berbunga-bunga tapi hanya dalam mimpi.”

 

Sekarang aku ingat, pantas banyak sekali gelas kopi setiap pagi. Di meja makan, di meja kerja dan kadang di wastafel kamar mandi.

Tapi kenapa kopinya masih penuh, sepertinya tidak ada tanda-tanda kopinya sudah diminum.

 

“Laela, kau pernah dengar tidak bahwa menyeduh kami harus dengan hati. Jika hatimu sedang tidak karuan, maka kopi seenak apapun pasti tidak enak diminum.”

“Maksudnya?. Dru menyeduhmu hanya asal seduh saja? Dru tak nikmati kopinya?. Bukankah semua kopi ini pemberian Bram?”

 

Perasaanku tak enak. Apa mungkin Dru yang menjadi sensitive akhir-akhir ini disebabkan oleh perasaannya pada Bram yang tak berbalas?. Bahwa sebenarnya Rei sudah bisa dilupakan oleh Dru?. Bahwa sebenarnya yang membuat dia sering marah-marah adalah Bram?

 

Awas kau Bram, akan kubuat perhitungan.

 

Kusatroni kamar Dru, dia teruskan tidurnya. Kupastikan kembali Dru terlelap. Aku harus cari tahu, soal Bram. Jika hadirnya Bram akan lebih menyakitkan melebihi Rei, akan aku tahan agar cinta dan kasih Dru tidak sembarangan dia bagi.

 

Kutelusuri lemari di kamar Dru, kubuka pelan-pelan setiap lacinya. Entah apa yang merasuki, penyelidikanku tidak aku mulai dari handphone.

 

Jika bersamaku tak membuatmu tersenyum,

Beri aku alasan agar aku tak menunggu

Jika menunggumu adalah sia-sia

Beri aku umpatan agar aku sempat miliki asa

 

Brengsek Bram, aku yakin ini puisi untuk Bram. Sejak kapan Dru buat puisi norak seperti ini. Bisa-bisanya dia rendahkan harga diri hanya untuk seorang laki-laki tidak jelas seperti Bram.

 

Kuacak-acak semua lacinya. Ya Tuhan banyak sekali puisi persembahan untuk Bram, coretan inisial B bertebaran dimana-mana.


Ah, Dru kenapa kau ini. Hentikan. Aku tak ikhlas jika harus melihat kembali kamu terluka.

 

Tak sengaja aku melihat selembar kartu nama bertuliskan Bramantyo SE, terpampang jelas di sana, nomor handphone dan alamat rumahnya.

 

Lihat saja, akan kusatroni Bram jika berani melukai Dru.

Kurobek-robek kartu namanya, kurusak semua puisi Dru. Kucari Zippo milik Dru, akan kubakar semua hingga tak ada satupun sisa cinta dan kasih dari Dru untuk laki-laki tak punya nyali.

 

“Laela…bangun. Mimpi apa kau, hingga mukamu memerah, tanganmu sampai kau kepalkan begitu.”
“Akan kubalas kau Bram.”
“Hei, Laela. Kau kenapa, kok Bram kamu bawa-bawa?”

 

Kuseka keringatku, kuperhatikan sekelilingku. Tak biasanya aku tertidur lelap.

Kopi-kopi berlompatan menertawakanku, puas sekali mereka. Apa karena Bram majikan mereka, hingga kelakuan konyolku cukup membuat mereka memperolokku.

 

Dru masih heran denganku.
“Kau mau apakan Bram?. Memang kau kenal Bram?. Aku belum sempat cerita apapun soal Bram loh Laela.”

“Iya, iyaaa maaf Dru. Aku tak kenal Bram, aku tak tahu bentuk Bram seperti apa, aku juga tak tahu istimewanya Bram hingga mampu membuatmu senyum-senyum sendiri.”
“Kamu cemburu sama Bram?”
“Dih Dru. Aku Cuma tak mau kau lagi-lagi menderita karena laki-laki.”

 

Kucing saja tak akan ulangi masuk lubang yang sama jika itu membahayakan. Masa iya seorang Dru….

 

“Teruskan Laela, kau mau bilang aku apa?”

 

#Bandung, 18 Oktober

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.