Cucu Yang Tak Pernah Salah

Cucu Yang Tak Pernah Salah

“Mbah gelasnya pecah..” rengekku suatu ketika menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah.

 

“Ya Allah!! Ati-ati nduuk.. tetep diam di situ ya , mbah bersihin dulu. Kakimu ndak kena kan?”

 

 

“Mbah, itu si Yuni nakal” ucapku sambil menangis karena bertengkar dengan anak tetangga.

 

“Ooo awas ya anak itu, nanti biar mbah laporin ke ibunya nanti” jawabnya membelaku meskipun tidak benar benar dilakukannya tapi cukup membuatku senang karena dibela.

 

 Di mata Mbah Ni, begitu aku memanggilnya, aku tidak pernah salah. Seberapa besar kesalahan yang aku lakukan, beliau tidak akan pernah menyalahkanku. 

 

Bahkan ketika dewasa aku  menjalin hubungan beda agama hingga membuat sebagian besar keluargaku naik pitam, ketika kabar itu sampai ke telinga Mbah Ni beliau dengan tenang berkata

 

“Bawa pacarmu itu ke rumah Mbah, Mbah mau ketemu orangnya dulu”.

 

Ketika mendengar pacarku saat itu menjadi mu’alaf, dengan mata berkaca-kaca dan senyum sumringah beliau berkata

 

“Sudah mbah duga sebelumnya, cepat tentukan tanggal pernikahan, semoga mbah masih diberi umur panjang agar bisa datang ke pernikahan kalian”.

 

Di hari pernikahanku, waktu itu Mbah Ni sedang sakit, aku berpikir mungkin beliau tidak bisa datang. Namun di tengah acara tiba-tiba beliau  datang dengan jalan terseok seok. Mengenakan jarik batik terbaiknya, baju brokat putih tulang dengan berhiaskan payet warna senada. Terlihat anggun meski dengan susah payah terus berjalan ke arah panggung. Matanya mencoba menangkap bayangan di atas panggung, mungkin sudah tidak terlalu jelas terlihat dari jarak beliau berdiri. 

 

Dengan sigap ayah mertuaku turun dari panggung , menjemput dan menggandeng tangan Mbah Ni, menuntunnya hingga ke atas panggung. Aku dan suami langsung mencium tangannya bergantian. Ku persilahkan beliau duduk di antara aku dan suami di pelaminan. Beliau memandang kami bergantian dengan senyum harunya. Lalu merangkul dan menciumiku. Tangannya memegang kedua pipiku.

 

“Cantik..cucuku cantik sekali” hanya itu yang diucapkannya.

 

 

Aku dulu sangat suka tidur di pelukan Mbah Ni. mencium aroma sirih dari nafasnya. Sambil mendengarnya mendendangkan lagu tentang pertanyaan kubur, atau melafalkan doa – doa pendek yang membuatku cepat menghafalnya. Jika aku tak juga tertidur, Mbah Ni lanjut bercerita. Kadang tentang dongeng , cerita rakyat, kadang juga cerita – cerita misteri  di daerah sekitar rumahnya. Yang membuatku kian membenamkan wajahku ke dalam pelukannya dan mencoba memejamkan mata.

 

Saat terakhir melihatnya tubuhnya yang dulu berisi makin kurus  tergolek lemah. Wajahnya yang dulu  bulat terlihat sangat tirus , tinggal kulit yang menempel di tulang pipinya. Sepasang kakinya yang dulu kuat berjalan sambil menggendongku saat aku pura-pura tertidur sehabis nonton TV di rumah tetangga,  tak kuat lagi sekedar untuk menopang dirinya sendiri.

 

Kami ingin menahannya lebih lama lagi, namun raganya sudah tidak sanggup bertahan lebih lama. Mungkin ini yang terbaik buatmu Mbah, kekasih hatimu mungkin sudah rindu ingin segera bertemu

 Hanya doa yang bisa  kukirimkan, sebagai bukti bahwa cintaku  padamu tak pernah hilang. 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.