Kalau Sayang Harus Bagaimana?

“Tante, besok Minggu libur kan? Kami nanti malan nginap di rumah ya, Tan “ begitu ujar ponaanku, Keke saat sarapan pagi di rumah nenek mereka.
“Oh ya, boleh dong. Nanti malam kita beli makanan yah” jawabku penuh semangat.
Mereka memang punya kebiasaan tidur bareng di rumah nenek setiap hari libur. Seperti biasa, aku selalu menjanjikan untuk belanja makanan setiap mereka ke rumah. Namanya juga anak- anak, selain ngobrol bareng, menemani mereka main game, belanja makanan sudah menjadi kebiasaan setiap kali berkumpul.
Cucu ibu semua berjumlah 7 orang, diantara mereka hanya satu perempuan yang paling besar. Selebihnya semua laki- laki. Cucu nomor satu dan nomor dua ibu kebetulan lahir hanya beda 1 bulan. Walhasil, jadilah mereka tumbuh bersama selayaknya sahabat. Sementara adik- adiknya yang lain agak terpaut usia cukup jauh. Sehingga mereka berdua lebih akrab dan lebih nyambung kalau bercerita dibanding saudara yang lain. Oh ya, mereka biasa dipanggil Uni Keke dan Da Aqib oleh adik- adiknya.
Selepas shalat maghrib, mereka semua telah berkumpul di rumah. Seperti biasa, aku lebih sering mengajak Keke dan Aqib untuk menemani belanja makanan karena keduanya sudah menginjak remaja, jadi aku lebih mudah menyuruh mereka yang turun dari kendaraan memesan makanan. Hari itu kami sepakat untuk belanja beberapa bungkus nasi goreng dan sekotak martabak keju jagung manis.
Setelah menunggu beberapa menit, pesanan kami selesai. Mereka tampak girang membawa beberapa kantong makanan.
“Ok Tante, sudah siap. Yuk, kita pulang” seru Aqib
“Ga ada lagi jajan yang lain nih?” tawarku kepada mereka berdua.
“Langsung pulang aja, Tan” Keke menimpali
Di tengah perjalanan pulang, dua remaja ini banyak ngobrol. Sejauh mereka asyik bercerita, aku menjadi pendengar yang baik. Tema yang dipilih juga random, mulanya tentang anak kucing yang tiba- tiba nongol di teras rumah Keke. Kemudian cerita tentang si Nowen, teman main mereka yang malas mandi dan selalu dijemput Mamanya jika sudah main ke rumah. Lalu, curhat soal guru matematika mereka yang galak. Lika - liku belajar daring. Sejurus kemudian entah mengapa temanya berubah membahas soal perasaan segala. Hahaha....
Kali ini aku mulai kepo dan memasang antena lebih tinggi di kedua telingaku. Humm, kira- kira apakah meraka bakal curhat seputar cinta monyetkah? Suara hatiku penasaran.
Memasuki usia pubertas, kita sebagai orng dewasa juga perlu memberi ruang bagi mereka untuk berpendapat soal perasaan agar lebih terbuka dan bisa diarahkan kelak nanti dalam pergaulan.
”Qib, Keke mau nanya nih. Sayang mana, sama Arif atau Reyfan?” Selidik Keke penasaran.
“Humm, sayang dua- duanya. Kan, mereka berdua adek Qib” jawab Aqib santai.
“Iya, paham. Tapi lebih sayang mana?” Keke mulai setengah mengintrograsi.
Waduh, si Keke nonton youtube siapa sih, pikirku. Dialog mereka udah kayak tema- tema QnA youtuber.
“ Ya, ga bisa begitu Ke. Masa kita kalau sayang harus setengah- setengah sih? ” Ujar aqib bertanya balik.
"Ih, Aqib. Sok- sok bijak gitu sih" Keke menimpali balik.
”Qib, itu kan kalau sayang sama orang ceritanya. Nah, kalau Aqib lagi ga suka atau benci sama seseorang gimana?” tiba- tiba aku bertanya memotong pembicaraan mereka berdua.
“Gimana ya, Tante. Kalau kita sayang sama orang kan sepenuh hati. Kalau benci jangan, Tante. Dalam rasa benci kita, musti terselip rasa sayang.” Ujarnya menjelaskan dengan gaya super cool.
Mendengar penjelasan Aqib, seketika aku tersenyum simpul. Ini anak sukses bikin hati perempuan meleleh.
Aku memacu laju kendaraanku, agar cepat sampai di rumah. Maklum, lima bocah lagi telah menunggu dengan perut keroncongan dari tadi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.