Abang saya dan saya punya pola makan yang beda. Tepatnya, kami memilih pola makan kami masing-masing. Abang saya keto fatosis. Yang saya tahu, pola makan keto itu makannya daging-dagingan, lemak-lemakan, buah-buahan yang tak manis seperti alpokat, dan sangat anti-karbohidrat.
Keto itu ada berbagai jenis. Abang saya memilih keto fatosis, yang menurut orang-orang yang paham, merupakan bentuk keto yang paling ekstrim. Sulit saya menjabarkannya, tapi yang saya tahu bahkan batang sereh tak bisa dimasukkan ke makanan pelaku keto fatosis. Sebab, sereh dianggap masuk ke dalam kelompok karbohidrat. Abang saya pernah makan masakan anaknya yang mengandung sereh. Akibatnya, sakit kepala si abang seharian lamanya.
Berlawanan dengan abang saya yang keto dengan serba hewan, saya pelaku pola makan vegan—meski vegan sebenarnya bukan hanya pola makan, tapi juga merupakan pola atau gaya hidup. Artinya, saya makan hanya makanan yang berbahan asal dari tumbuh-tumbuhan.
Baik pola makan keto maupun pola makan vegan, lebih nyaman bila dilakukan di rumah. Kita bisa mengawasi secara pasti apa yang jadi makanan kita. Namun, kadang situasi harus disesuaikan dengan keadaan. Misalnya, bila sedang bepergian. Sebagaimana kejadian di bawah ini.
Pada suatu hari, datang kabar bahwa tante kami di Bandung, adik bungsu almarhumah Ibu, meninggal dunia. Saya yang sedang berada di perjalanan menuju ke sebuah acara, langsung merubah arah. Tujuan saya ganti ke rumah abang saya. Hendak ikut dia ke Bandung.
Kami pergi ke Bandung berempat. Abang saya, dua anak perempuannya, dan saya. Istri abang sedang tidak bisa ikut. Kepergian kami yang mendadak dan tergesa-gesa, didasari oleh harapan untuk dapat mengejar pemakaman. Diputuskan bahwa kami akan beli makanan di rest area. Tidak makan dahulu sebelum memulai perjalanan, seperti yang biasanya kami lakukan.
Sesampainya di rest area, setelah belanja berbagai kebutuhan (cemilan buat si dua anak gadis, kopi buat abang saya, dan keperluan macam sikat gigi dan lainnya untuk saya), kami lalu memecah diri untuk beli makanan sesuai selera masing-masing. Dua anak gadis sebagai generasi masa kini, memilih makanan kekinian. Makanan beku di minimarket macamnya spageti atau apalah itu namanya, yang lalu dipanaskan di microvave. Abang saya dan saya, sebagai generasi masa lalu dan mempunyai ‘keterbatasan’, memilih yang lebih tradisional dan cepat. Apalagi kalau bukan restoran Padang.
Abang saya sebagai keto sejati, memilih rendang dan telur balado. Ditempatkan di tromel yang dibawanya dari rumah. Giliran saya, karena tak siap dengan tromel, jadi dibungkus saja. Nasi separo dengan terong balado, sambal hijau, gulai nangka, dan rebusan daun singkong.
"Saya ke kasir ya," katanya sambil ngeloyor, saat proses pembungkusan makanan untuk saya masih berlangsung.
"Okeee...," jawab saya.
Tiba-tiba, saya dengar abang saya terbahak bersama si mbak kasir. Saya memandang ke arah mereka dengan bertanya-tanya karena tak paham apa yang sedang terjadi. Dan, penasaran.
“Satu porsi!” kata abang saya ke saya, sambil menunjukkan angka satu dengan telunjuk tangannya.
Ada apa sih? Saya tidak mengerti. Dari restoran Padang, abang saya bergegas ke musala untuk salat. Maka, kesempatan bertanya baru muncul saat kami melanjutkan perjalanan.
"Seru amat tadi ketawa-ketawanya ama kasir. Ada apa sih?" tanyaku penasaran.
"Tadi kan saya bilang ke si kasir apa saja yang saya ambil, dan apa saja yang kamu pesan. Kasirnya malah jadi tertawa. Dia bilang, 'ini sih porsi satu orang makan,'" jelas abang saya.
Eh, iya juga ya. Normalnya, orang akan makan nasi berlauk rendang, telur dan terong balado, sayur singkong rebus; dengan sambal hijau dan siraman gulai nangka.
Haha, saya jadi ingat lagu dangdut-nya Ida Laila yang berjudul Sepiring Berdua. ...Hidup Bersama | Makan sepiring |Kita berdua... =^.^=