Kolam Muna ( Menanti Dalam Gelap )

Tangannya tampak kurus bagai ranting pohon kering berwarna ke-abu-an, jari-jarinya panjang menyatu dengan kuku-kuku runcing bagai kumpulan lidi yang terurai...

Kolam Muna ( Menanti Dalam Gelap )
Image teken from pexels.com

Tak akan pernah ku lupakan kejadian sore itu, saat aku, dan Rio adikku sedang bermain di ruang tamu. Ibu dengan terburu-buru menghampiri kami mengajak ke rumah sepupunya. Ia segera menggendong Rio yang kala itu berumur 4 tahun, sedang aku yang masih berumur 8 tahun langsung mengekor dari belakang, menyusul ayah yang sudah terlebih dulu menunggu di mobil.

Ku lihat ayah masih mengenakan seragam kantor, sedang ibu sempat berganti pakaian seadanya, kaos oblong putih dan jeans biru. Selama dalam perjalanan, kami tidak terlalu banyak bicara. Terlihat jelas wajah kedua orang tuaku sangat tegang. Aku sempat bertanya ke ayah ada apa, namun dia tak menjawab. Hanya fokus mengendarai mobil yang melaju dengan kencang.

Tak lama, tibalah kami di rumah tante Ayu, sepupu ibu. Dari kaca mobil, ku lihat di depan rumah tante Ayu ramai tetangga berkumpul. Setelah ayah parkir, ibu mengoper Rio agar digendong ayah, lalu ia segera turun berjalan menuju rumah tante Ayu. Aku yang melihatnya berjalan setengah berlari, segera melompat dari mobil lalu ikut mengekor tepat di belakangnya. Sambil sedikit berlari kecil mengejar ibu, tiba-tiba langkah kakiku terhenti.

"Hai Ari, sedang apa?" Dari kejauhan, ku lihat Ari sedang berdiri menatap pohon jambu air yang tumbuh rimbun serta berbuah banyak di halaman rumah tante Ayu. Segera, langkah kakiku menuju ke sana.

"Hai Ari, sedang apa?" tanyaku lagi.

Ari menatapku, tersenyum sambil berkata, "Itu, ada jambu air yang sudah masak. Berkali-kali aku coba mengambilnya, tapi susah. Kamu tahu kan, aku paling tidak bisa panjat pohon."

Mendengar itu, aku langsung berinisiatif memanjat. "Biar aku saja yang ambil, aku kan jago manjat, Ri." kataku sambil bergegas memanjat pohon jambu air itu. Kalau soal memanjat pohon, aku memang jago dari dulu.

Ari adalah saudaraku, anak dari tante Ayu. Kasihan dia, dari kecil lemah badannya, gampang sakit. Kata ibu, Ari dari lahir memang begitu. Aku dan Ari seumuran, jadi kita berdua sering bermain bersama. Aku biasa menolongnya saat dia sedang susah. Dia bukan sekedar saudara, tapi juga salah satu teman baikku . Dia sangat suka mendengarkanku bercerita. Maklum, aku anak yang cerewet . Ari tidak segan menemaniku bermain boneka walau dia laki-laki. Kita berdua besar bersama.

"Ri, yang mana jambunya?" teriaku dari atas pohon. Di bawah pohon, ku lihat Ari menunjuk ke arah sampingku. "Oh, oke, dapat, Ri. Yang ini 'kan?" sambil memetik beberapa jambu air yang sudah matang, aku melihat Ari mengangguk tanda setuju. Aku segera turun ke bawah sambil membawa beberapa buah jambu air tadi, yang telah ku selipkan ke dalam baju. "Ini, Ri. Tapi kita bagi dua ya!" kataku sambil mengeluarkan semua jambu air dari dalam bajuku. Saat Aku berbalik badan dan hendak memberikan ke Ari, dia sudah tidak ada. "Lho, kemana dia? Pasti mau kerjain aku." batinku. "Ri... Ari... ayo, ini jambumu. Kalau kamu gak keluar, ku makan semuanya ya." Panggilku dengan nada sedikit keras memanggil Ari sambil kedua mataku terus mencari sosoknya di sekitar halaman.

Dari kejauhan ku dengar ayah yang sambil menggendong Rio memanggilku, " Risa, ngapain sendirian di situ? Ayo, masuk!" Dengan kesal aku meletakkan jambu-jambu itu ke tanah yang beralaskan rumput, lalu berjalan menuju ayah dan mengikutinya masuk ke rumah tante Ayu. Di dalam rumah tante Ayu tetangga yang berkumpul lebih banyak.

Rumah tante Ayu yang luas jadi terlihat sempit. Ayah menyuruhku masuk mencari ibu, sementara dia berusaha menenangkan Rio yang mulai rewel. "Dia pasti mengantuk," batinku. Rio kalau mengantuk memang selalu rewel seperti itu. Aku lalu bergegas masuk mencari ibu di antara kerumunan orang.

"Risaaaaaa..." mendadak seorang nenek memelukku dengan erat sambil menangis tersedu. "Nek' Ratna, kenapa? Kok nangis kayak anak kecil?" kataku sambil sedikit tertawa. Ditatapnya wajahku lekat-lekat lalu kembali memelukku erat sambil menangis tersedu. Orang-orang mulai berdatangan berusaha menenangkannya.

Dari celah-celah kerumunan, ku lihat ibu sedang duduk di samping tante Ayu. Mereka berdua duduk dengan tatapan kosong, saling berhadapan, dan duduk seperti patung. Aku langsung melepaskan pelukan nenek Ratna lalu menyelinap menerobos orang-orang yang mengelilinginya dan berlari menuju ibu.

Saat berjalan menuju ibu, aku sempat melihat Ari duduk di tangga, namun ku acuhkan karena kesal. "Ibuuu... tante Ayuuuu..." sapaku sambil tertawa ringan. Tante Ayu yang tadi duduk seperti patung langsung meledak menangis melihatku. "Risaaaa... oh... Risaaa... ." Sambil memelukku erat. Ku lirik ibu yang juga mulai ikut menangis. "Ari.. Risaaa. Ari udah gak ada." bisiknya sambil menangis. Mendengar itu membuatku bingung sebab aku baru saja bertemu Ari. Tante Ayu pasti sedang bercanda. "Ada, kok." jawabku. "Itu ada. Ari duduk di tangga.... Tuh." sambil tanganku menunjuk ke arah tangga tempat di mana Ari masih duduk diam sambil menatapku. "Ari udah gak adaaaa... itu Ari!!! Ari udah gak adaaa... ." tante Ayu menunjuk sebuah tempat tidur kayu single size yang sudah dialas sprei putih.

Ku lihat Ari terbaring kaku di situ. Badannya tidak biru menurutku, tapi dia kaku. Tante Ayu menggandeng tanganku, membawaku mendekat ke arah Ari. "Ri, Ari... Ayo bangun. Aku sudah petiki jambumu. Ayo, bangun." kataku ke Ari sambil mengguncang tangannya. Tangannya basah, seluruh badannya juga basah dan dingin. Dia memakai pakaian yang sama dengan yang ku lihat barusan, kemeja lengan pendek putih dan jeans hitam. Wajahnya terlihat sangat pucat, bibirnya biru serta rambutnya berantakan.

Semua orang yang melihatku sore itu memandangku heran, lalu banyak yang mulai menangis. "Risa, Ari tenggelam tadi siang saat bermain bersama teman2nya di kolam" ibuku menjelaskan sambil tangannya sesekali mengusap lembut punggungku. "Tapi, Bu, aku barusan ngobrol sama Ari." jelasku. "Itu bukan Ari, Nak. Ari udah gak ada." ucap ibu sambil menatap dalam mataku penuh arti. Aku hanya bisa diam saat itu.

Tanpa menangis, aku hanya bisa memandangi tante Ayu yang menangis meraung-raung sambil memeluk Ari yang telah tiada. Di samping tante Ayu ada nek' Ratna yang terus-terusan mengusap punggung tante Ayu,anaknya. Mereka saling menguatkan, karena Ari adalah anak tunggal. Ayahnya Ari saat itu tidak ada karena sedang tugas di lokasi. Ku dengar dari Ibu, ayahnya sedang dalam perjalanan pulang. Nek' Ratna adalah adik dari kakekku. Semua orang yang hadir hanya bisa melihat dengan tatapan iba.

"Ari tenggelam di kolam mana, Bu?" tanyaku ke ibu dalam perjalanan pulang.

"Kolam Muna." Jawabnya singkat.

"Lho kok bisa? Di situ, kan..."

Ibu langsung memotong pembicaraanku, "jadi tadi kamu ketemu Ari?" 

"Iya, dia minta diambilkan jambu." kataku. Terus, aku lihat dia lagi, di tangga... Ari main ke Kolam Muna sama siapa aja, Bu?" tanyaku lagi.

"Sama empat orang teman. Ibu juga gak tau mainnya sama siapa aja."

"Bu, Kolam Muna itu kan ada penunggunya?!" kataku lagi.

"Ah, sudah. Tidak usah dibahas lagi." kata ayah.

Ibu hanya diam sambil menggendong Rio yang sudah tertidur. Setiba kami di rumah, ibu meletakkan Rio di kamar, membersihkan dirinya dan menyiapkan makan malam untuk ayah. Selagi ayah mandi, ibu menghampiriku.

"Risa, soal yang tadi kamu lihat Ari, gak usah diceritain ke orang-orang ya."

"Iya, Bu." sahutku.

Di rumah, hanya ibu yang tahu rahasia kecilku. Aku bisa melihat makhluk halus. Ku pikir itu turunan yang aku dapat dari ibu. Dia juga memperoleh kemampuan itu dari ibunya, nenekku. Jika ibu hanya bisa mendengar dan merasakan, aku bisa melihat, mendengar, dan merasakan. Hal itu masih ada di dalam diriku sampai sekarang.

Malam itu, aku susah tidur karena terbayang wajah Ari sore tadi. Hilang sudah teman bermainku, pikirku sedih. Ku lihat ke arah jam yang ada di dinding kamar sudah pukul 9 malam. Karena haus, aku bangun dan berjalan menuju dapur. Lampu kamar ibu masih menyala dengan pintu kamar yang setengah terbuka.

"Mau ngapain, Risa?" tanya ibu sambil mengintip dari kamarnya.

"Minum, Bu. Haus." sahutku sambil terus berjalan menuju dapur.

Setelah minum, ku lihat ayah masih nonton bola di ruang tamu.

"Yah, tidur. Besok pagi kerja. Nanti susah bangun, lho." kataku.

Ayah hanya melambai tangan memberi kode padaku untuk segera ke kamar agar aku tidur duluan.

"Malam, Yah." Aku kembali menuju kamar.

Saat hampir tiba di depan kamarku, ku lihat ayah keluar dari kamarnya berjalan cepat menuju kamar mandi. "Ayah kebelet pipis, nih." sambil melirikku sebelum masuk ke kamar mandi.

Kamarku dan orang tuaku bersebelahan letaknya. Aku kaget lalu buru-buru masuk ke kamar ibu.

" Bu, Ayah dari tadi di kamar, ya? tanyaku.

"Iya, Ayah di kamar dari tadi. Kenapa?"

"Aku tadi habis minum lihat ayah nonton bola." kataku dengan wajah pucat.

"Gak mungkin dong. Ayah udah tidur dari tadi karena kecapean. Dia barusan bangun karena rasa pipis."

Mendengar cerita ibu, aku jadi takut tidur sendirian. Dan, sepertinya ibu menyadari hal itu.

"Malam ini, Risa boleh tidur di kamar ibu. Nanti ibu bilang ke ayah kalau pengen tidur berempat malam ini." Lalu dia beranjak berdiri dari kasur dan memelukku erat.

Dua minggu setelah Ari di kubur, aku dan dua teman kelasku, Lala dan Sri, janjian bermain ke rumah Mita. Saat di rumah Mita, aku baru tahu ternyata kakaknya Mita salah satu yang ikut main di Kolam Muna bersama Ari. Mita yang menceritakan hal itu kepada kami. Dia juga ada saat kejadiaan nahas itu terjadi.

Kami yang tadinya asyik main ular tangga di kamar Mita, keluar dan menghampiri kakaknya Mita, kak Eko, yang sedang ngobrol seru dengan kawan-kawannya. Kak Eko saat itu duduk di kelas 1 SMP.

"Kak Eko, kanapa Ari bisa ikutan dengan kakak hari itu?" tanyaku langsung yang saat itu masih dalam posisi berdiri, sedang teman-temanku yang lain sudah mengambil posisi duduk.

Salah satu temannya kak Eko, kak Bayu, langsung menjawab, "dia yang mau ikut main sama kita. Kita udah larang lho padahal. Tapi dia tetap ngotot ikut."

Ternyata, kawan-kawan kak Eko itu adalah yang bersama Ari pada saat kejadian.

"Lalu?" tanyaku lagi.

"Kami usir-usir dia. Tapi dia tetap kekeh ngikutin. Sampai di kolam, kami berenang-renang tapi cuma di pinggir kolam. Jose sempat mengingatkan agar Ari duduk saja di situ, tidak boleh ikut berenang. Ari saat itu menjawab dengan mengangguk." cerita kak Eko.

"Tadinya kami lihat Ari hanya duduk memperhatikan kami berenang. Eh, tahu-tahu dia udah ikut nyebur juga." sahut kak Jose, dengan nada menggebu-gebu. "Dia berenang sampai ke tengah, lho. Kami aja gak berani, karena di tengah kolam airnya agak keruh dan dalam." lanjutnya. "Tiba-tiba dia teriak-teriak minta tolong. Si Udin langsung sigap berenang ke tengah menolong Ari." Kak Udin hanya mengangguk mendengar kak Jose bercerita.

"Terus pas mau nolongin Ari, kaki Udin ada yang narik." jelasnya. "Kami bertiga langsung nyusul ke tengah tolongin mereka. Aku langsung nyelam waktu itu, karena cuma aku yang pakai kacamata renang. Ku pikir bisa aja kan kaki mereka nyangkut di tanaman air. Pas nyelam, aku kaget banget. Samar-samar ku lihat perempuan dewasa tapi wajahnya seperti nenek-nenek ada di dalam air. Rambutnya putih panjang, menutupi setengah mukanya yang sangat menyeramkan. Kedua matanya tampak hitam pekat, dengan senyuman yang mengerikan. Tangannya tampak kurus bagai ranting pohon kering berwarna ke-abu-an, jari-jarinya panjang menyatu dengan kuku-kuku runcing bagai kumpulan lidi yang terurai. Perempuan itu mengenakan baju hitam panjang yang kainnya mengambang menutupi dasar danau. Dia memegang kaki Ari dengan tangan kanannya, dan yang satunya lagi memegang kaki Udin. Karena sangat ketakutan, aku langsung berenang balik ke pinggir kolam sambil baca-baca doa." cerita kak Jose dengan mimik muka yang tampak masih ketakutan saat mengingat kejadian tersebut.

Kak Eko gantian bercerita, "Tinggal kami berdua berusaha menolong Udin dan Ari. Aku menarik Ari sekuat tenaga, namun yang menariknya jauh lebih kuat. Aku sempat teriak panggil Jose supaya nolongin, tapi dia gak mau dan hanya berdiri dengan wajah ketakutan di pinggir kolam. Udin meronta-ronta. Saat itu Udin berusaha melepaskan diri sekuat tenaga untuk lepas agar tidak tenggelam. Dia berteriak-teriak memanggil nama Tuhan. Entah kekuatan dari mana, Udin akhirnya bisa terlepas. Sedang aku dan Bayu masih berusaha menolong Ari." 

Kak Eko berhenti sejenak bercerita, lalu menarik nafas dalam-dalam, lalu dia mulai melanjutkan ceritanya kembali, "Tiba-tiba, Ari seperti menghilang, masuk ke dalam air. Padahal aku dan Bayu baru saja memegangnya, kami tidak pernah melepaskannya. Setelah Ari hilang, air kolam menjadi tenang. Karena ketakutan, aku dan Bayu segera berenang ke tepi dimana Udin dan Jose berada. Kami berempat segera lari ke kampung minta pertolongan. Untung ada Pak Kades yang kebetulan lewat. Setelah menceritakan kejadian barusan, bersama beberapa bapak-bapak dan Pak Kades, kami segera kembali menuju kolam Muna. Setiba di sana, kami semua kaget. Ari sudah ngapung di tengah kolam. Pak Achmad langsung masuk ke kolam untuk menolong Ari. Waktu sampai di pinggir kolam, Ari sudah gak bernafas. Langsung kami bawa dia ke rumahnya."

Aku dan teman-temanku hanya bisa membisu sekaligus ngeri mendengar cerita mereka. Aku menangis saat mendengar itu semua. Kak Eko dan teman-temannya hingga saat ini tidak pernah menginjakkan kaki mereka lagi di kolam itu.

Kolam Muna sebenarnya terletak cukup jauh dari kampung kami. Jarang orang pergi ke situ karena harus melalui hutan. Hanya beberapa orang saja yang sesekali lewat. Ada juga beberapa remaja yang suka nongkrong di situ kalau siang.

Sebenarnya pemandangan di sekitar kolam itu indah. Tapi kolomnya memang menakutkan. Air di pinggir kolam jernih, terlihat pasir dan batu-batu kerikil di dasarnya. Pemandangan yang sangat kontras jika melihat tengah kolam yang tampak gelap, dalam dan dingin. Aku pernah melaluinya sekali bersama ayah, dalam rangka apa, aku sudah lupa.

Kisah Ari dan cerita kak Eko beserta kawan-kawannya menjadi heboh di kampung kami untuk beberapa saat. Sebenarnya, Ari bukan yang pertama. Sebelum Ari, pernah juga ada beberapa orang yang meninggal tenggelam di kolam itu, tapi itu sudah lama sekali kejadiannya.

Ayahku pernah bercerita, dulu kolam itu hanya kolam biasa, tempat orang-orang suka mancing. Waktu ayahnya ayah yaitu kakekku masih kecil, dia sering mancing di kolam itu bersama ayahnya.Suatu malam ada seorang perempuan bernama Muna, berambut panjang mati dibunuh di situ. Dia membawa anaknya. Perempuan itu ditenggelamkan di kolam itu, lalu anaknya dibawa lari. Isunya, sang pelaku adalah mantan suaminya. Dia cemburu karena Muna mantan istrinya yang cantik itu akan menikah lagi. Anehnya sampai sekarang jasadnya tidak pernah ditemukan. Demikan pula keberadaan mantan suami dan anaknya. Tidak pernah terdengar rimbanya.

Sebagian besar orang kampung percaya itu hanya cerita hantu yang dibuat-buat para orang tua terdahulu, agar anak-anak kampung tidak nakal. Agar para remaja tidak jago-jagoan berenang di kolam dalam, yang bisa saja berbahaya. Tapi banyak juga yang percaya keberadaan hantu Muna.

Bagiku, dia ada, si hantu wanita pemakan roh orang hidup, yang selalu bersembunyi di dasar kolam yang dingin. Dengan wajah seperti nenek-nenek yang menakutkan, rambut putih panjang, mata hitam pekat, serta senyuman menyeramkan dengan baju hitam mengambang, dia siap melahap siapa saja yang bisa dia tarik ke dasar kolam.

Bersambung...

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.