AKU BERHENTI MENULIS

Cerita cinta masa lalu kembali hadir

AKU BERHENTI MENULIS

 

Aku suka menulis, apa saja yang ada dipikiranku selalu kutulis. Berawal dari menulis dibuku diary, hadiah dari seseorang yang mengagumiku dimasa sekolah. Katanya suatu hari di dalam kelas, dikala aku berulang tahun ke-14, SMP kelas 2 waktu itu.

"Ini buat kamu Lisa."

Seluruh kelas bergemuruh, saat pergantian pelajaran, ada sela waktu beberapa menit, dia menghampiriku ke tempat aku duduk, dua baris dari depan. Momen yang hanya terjadi beberapa menit bahkan mungkin detik, karna setelah memberikan kado yang bersampul biru langit warna kesukaanku, ia pergi begitu saja sebelum aku mengucapkan terimakasih.

Sontak wajahku merah merona, tak tahu harus berbuat apa, bumi seperti berhenti berputar dan kudengar suara koor semesta di langit. Dewi cinta memelukku penuh hangat, yang ternyata tanpa kusadari, aku sudah berada dalam pelukan Nita yang duduk disebelahku, yang selalu mengerti apa yang terjadi padaku.

"Tenang Lisa, tenang..." Nita berbisik sambil memelukku.

Sementara sorak sorai kawan-kawan sekelas membahana, kudengar bisik-bisik beberapa teman wanita mampir ditelingaku. Dan kedatangan guru sejarah bagaikan sang penyelamat dalam sebuah film.

"Selamat pagi anak-anak.!"

"Selamat pagi paaaaakkkk..!" seru mereka.

Kalian tak perlu tahu, siapa sosok yang memberikan kado itu. Momen paling berharga dalam hidupku, karna berkat lelaki itu, aku sekarang suka menulis bahkan sudah menjadi hobi, walau hanya kubaca sendiri dan masih ragu untuk mempublikasikannya.

Terkadang sebuah ide menggedor-gedor pikiranku, meminta untuk dilahirkan. Perasaan bersalah sering muncul saat kusanggah atau kudiamkan ide itu dìdalam pikiran hingga membuat kepalaku sakit karna terlalu sering memikirkannya. Itulah yang membuat diri ini kembali bergumul dengan kata-kata dan merangkainya. Jadi, aku menulis untuk menyelamatkan diriku dari hal-hal tersebut.

Memang takdirku selalu berada dekat dengan sahabatku Nita, sejak SMP dan SMA kami selalu bersama, bahkan kini kantor tempat ia bekerja, masih satu gedung dengan kantorku. Kami sering  janjian makan siang bersama, hingga suatu hari.

"Lis gua mo makan bareng temen gua nih, mo bareng gak?" Ucapnya via telpon.

"Haaa.. Terus gua gimana?"

"Ya maka nya gua ajak bareng, elo mau gak?"

"Aduhhh..Ntar gua jadi laler lagi, ngeliatin lo asyik ngobrol berdua."

"Gak'lah! Malah mungkin kalian yang asyik ngobrol berdua, gua yang jadi laler."

"Ahahahahaaa" tawaku keras tak mengerti apa yang di maksud Nita, lalu mengiyakan saja ikut bergabung makan bareng mereka.

Nita memesan makanan yang biasa aku pesan bersamanya, ia sudah duduk bersama seorang laki-laki yang sepertinya tak asing bagiku.

"Masih inget gua gak?" Sapa laki-laki itu ketika aku sampai di meja mereka.

Aku terperanjat, "Ya Tuhan...Rudiiiii.. Dihhh.! Kok bisa sihh?!"

Kami bersalaman setelah saling menyatakan kabar dan aku mulai duduk bergabung dengan mereka.

"Iya.. Rudi kemarin-kemarin nanyain elo. Terus gua bilang aja kalo kita kerja satu gedung dan sering makan siang bareng." Nita menjelaskan tanpa diminta.

"Ahahahahaa...reuni kecil-kecilan nih kita" ucap Rudi menciptakan suasana nyaman.

Kenapa laki-laki satu ini selalu hadir membawa kejutan dalam hidupku, arah hidupku yang mulai jelas membina keluarga, harus bertemu dengan kenangan masa lalu. Aku berbicara dalam hati sambil terus menatap dua manusia dihadapanku

"Jadi sekarang elo suka nulis gegara kado yang gua kasih?"

"Lohh! Kata siapa ? tau dari mana lo?!" Seketika arah mataku berpindah pada Nita, mataku melotot mengarah padanya, karna pasti Nita sudah cerita banyak tentangku pada Rudi.

"Ahahahaa...iya.. Nita bilang kalau elo suka menulis diwaktu senggang, dan menurut gua itu keren, dengan keadaan elo sudah berkeluarga, mengurus anak dan suami, ditambah harus ngantor pula, tapi elo masih bisa melakukan hobi elo itu, Keren..keren! salut gua."

Mendengar ungkapan yang tulus berbalut pujian, mengurungkan niatku untuk marah dan berusaha terlihat santai.

"Sorry ya Lis, mungkin karna keasyikan ngobrol, jadi tanpa sadar gua cerita deh."

"Keasyikan ngobrol apa keabisan bahan obrolan?" Nita cuma nyengir tanpa rasa bersalah melihatku yang mulai sinis.

"Terus gimana? ada yang bisa gua bantu atau ada tulisan yang siap untuk dipublikasikan?" Rudi melanjutkan obrolannya dan mulai serius.

"Banyak dia mah!" Nita mulai meracau.

"Nitaaa! Hey!" potongku padanya yang membuatku mulai kesal.

"O'iya Lis! sorry sorry..."

"Yaa...begitulah ..Tanggung jawab loh!" ucapku berusaha untuk santai dan mulai mengatur nafas.

"Nahh ini! Gua sekarang bikin usaha percetakan bareng beberapa temen gua. Ya kalo mau gua bisa bantu elo merilis tulisan-tulisan elo dalam bentuk buku, gimana.?"

Aku terdiam, lagi-lagi kejutan datang bertubi-tubi. Sementara Nita asyik mengutak-ngatik handphonenya.

"Santai aja gak usah mikir jauh-jauh, minimal elo meninggalkan jejak di bumi ini dengan tulisan- tulisan yang elo buat. Itu aja dulu."

"Ya gampanglah. Liat nanti aja ya..." ucapku ragu, sekaligus mengakhiri pertemuan makan siang kita hari itu.

Malam sebelum tidur aku membuka laptop, melihat-lihat tulisan yang aku buat, apakah layak untuk dipublikasikan hingga larut malam. Apa memang ini saatnya, apa ini memang jalan yang kuinginkan? Aku berpikir, menimbang-nimbang, kalau ini memang jalan yang diberikan Tuhan untukku dan kesempatan ini jarang terjadi, hingga akhirnya tertidur di kursi tempat aku biasa menulis.

Dan sejak pertemuan itu aku jadi sering berkomunikasi dengan Rudi perihal tulisan-tulisanku. Berkali-kali ia memotivasiku, mengirimkan cerita yang menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi dalam diriku.

"Untuk editing, cover buku dan testimoni gak usah kamu pikirkan, aku punya tim yang bisa melakukan hal itu." Ucapnya yang membuat aku akhirnya berani mengirimkan tulisan-tulisanku kepadanya.

Aku belum pernah mendapat dukungan sebesar ini terhadap hobiku, dan hal itu menumbuhkan rasa kagum yang luar biasa kepada Rudi. Inilah babak baru dalam hidupku, tepatnya pelajaran baru dalam hidup.

Hingga suatu sore sepulang kerja, aku bertemu dengan Rudi serta beberapa temannya yang terlibat untuk membantu karya-karyaku disebuah kafe di Jakarta Selatan. Kami berbicara asyik bagai sebuah tim yang sudah solid dan sedang mengerjakan proyek besar. Suasana yang nyaman membuatku seperti kembali hidup dan sesaat keluar dari rutinitas yang memuakan. Jam 7 malam beberapa teman Rudi ijin pamit lebih dulu karna terikat janji dengan penulis lain, dan entah mengapa kami berdua tetap berada di kafe itu berbicara apa saja sampai hal yang tak berhubungan dengan proyek kami.

"Mempublikasikan sebuah karya seperti menyatakakan rasa cinta kepada orang yang kita kagumi dan itu membutuhkan keberanian yang besar, sisanya serahkan kepada yang berhak untuk mengamini." ucapnya malam itu.

Perkataan itu bagai pintu masuk tempat hilir mudiknya perasaan kami berdua. Membuat kami larut dalam memberi perhatian, saling bersentuhan, menggenggam tangan dan makan malam itu membuahkan rasa damai, nyaman, kembali merasa muda dan cinta yang menyulitkan.

Aku berbohong pada suamiku, kukatakan padanya dengan rasa bersalah yang mendalam, bahwa aku akan sering pulang telat karna harus handle pekerjaan rekan kerja yang cuti hamil. Aku pun menceritakan tentang tulisan-tulisanku yang akan kuabadikan dalam bentuk buku, serta menceritakan Rudi hanya sebatas membantu tentang keinginanku membuat buku tersebut.

Rasa bersalah yang ada, perlahan terkikis oleh rasa rindu dan perhatian-perhatian yang tulus menyelinap mengisi ruang hati yang kosong, serta usang karna lama tak dikunjungi. Dan dalam kebersamaan kami, kami berdua sadar, apa yang dijalani adalah sebuah kesalahan. Tapi tak mampu keluar dari lingkaran cinta yang kami ciptakan sendiri.

Terlalu mengagungkan perasaan, dan momen masa lalu yang tak selesai menciptakan alasan, bahwa pertemuan ini adalah babak lanjutan yang harus diselesaikan. Tapi haruskah seperti ini.?

Semakin mempertanyakan, semakin ingin tahu, semakin tertantang untuk terus dapat bersama. Dinding pertahanan runtuh, logika tak lagi bicara, naluri purba nakal menelusup,  dan kami pasrah dalam temaram ruang romansa, bermandi keringat serta nafas yang memburu dalam erangan.

Hingga akhirnya disela makan siang yang sudah jarang kami lakukan bersama sejak berjumpa dengan Rudi. Nita bicara dengan nada datar yang membuatku terhempas dan berhenti mengunyah makananku.

"Gua mo ngomong ma lo." ucapnya,

"Apa bener lo ma Rudi ada affair?" tanya Nita serius

Aku tak menjawab, mataku berkaca-kaca, aku merasa malu dengan sahabatku ini, aku terbilang orang yang kuat dan setia dihadapan dia, tak menyangka akan melangkah sejauh ini bersama Rudi. Dan Nita pun mengatakan penyesalannya telah mempertemukan kami berdua.

"Gua yang salah Lis, gua juga gak nyangka lo berdua akan larut dalam kenangan masa lalu. Gua pikir, kita semua hanya ingin saling berbagi kabar aja, dan menertawakan masa lalu, ternyata gak." Nada suara nita penuh penyesalan

"Tapi lo harus sadar dan tahu Lis, semua ini salah dan harus segera diakhiri." Ucap Nita dengan raut wajah serius.

Nita pergi meninggalkanku seorang diri, mungkin diapun merasa terpaksa harus mengatakan ini, dan sebagai sahabat yang baik, dia ingin mengingatkanku saat salah dalam melangkah. Sementara aku mulai menyeka airmataku yang mulai jatuh. Handphoneku berdering, Rudi memanggil tapi aku tak sanggup menjawabnya. Aku hanya ingin sendiri dan menyelesaikan tangisku, tak kuhiraukan lagi keramaian disekitarku.

Selesai jam kantor, Rudi mengajak bertemu, kukatakan bahwa aku tak bisa karna harus menemani anakku kerumah neneknya. Padahal tidak, aku menyusuri jalan, menghirup udara segar menenangkan pikiranku, memberi waktu pada diriku sebelum sampai di rumah.

Aku ingin pulang, tanpa beban yang ada padaku, ingin memeluk orang-orang tercinta yang telah kuhianati. Dan biarlah kusimpan semua ini, aku tak sanggup melukai perasaan mereka.

Waktu berlalu, buku selesai rilis, aku menangis tanpa ada yang mengetahui apa arti tangisan ini. Bahagia, sedih atau apapun itu, aku pun tak tahu. Biarlah ini menjadi bagian dalam perjalanan hidupku, kuucapkan salam perpisahan kepada Rudi dan menyatakan kepada diriku, aku berhenti menulis, berhenti mencintai orang lain selain keluargaku, dan kembali dalam pelukan mereka.

Mungkin inilah hukuman yang bisa kuberikan pada diriku dan membuatku sedikit tenang, berhenti melakukan hobi yang sangat aku gemari. AKU BERHENTI MENULIS....  


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.