Keping Ketujuh: Hero dan Leandros

Keping Ketujuh: Hero dan Leandros
: :

Luna menatap bungkusan plastik berisi makanan dan minuman yang tadi dipesannya melalui jasa online. Yang pertama dikeluarkannya bukanlah Iced Cappuccino atau Potato Wedges-nya melainkan sebuah buku tipis.

Luna tersenyum kecil. Buku-buku yang sudah pernah dibacanya sewaktu kecil itu entah bagaimana tidak pernah membuatnya bosan meski dibaca berulang-ulang. Gadis itu meraba sampul buku di tangannya, yang berjudul Hero dan Leandros. Kali ini ilustrasinya adalah seorang gadis berambut panjang yang duduk berlutut di dekat tubuh seorang lelaki. Mereka berada di pinggir pantai, dengan detail ombak dan bebatuan. Semua yang melihatnya pasti mengerti bahwa si gadis meratapi lelaki itu.

Di antara sekian banyak pasangan yang bertemu dan mengakhiri kisah mereka dengan bahagia atau sedih, berdirilah kisah Hero dan Leandros. Kisah yang mewakili penantian panjang, yang tak terbalas dengan semestinya. Kisah yang mengajarkan manusia tentang kesetiaan dan harapan bukanlah apa-apa di atas takdir bernama kematian.

Halaman pertama itu cukup menampar Luna dengan untaian kalimatnya. Untuk kesekian kalinya, ia mengagumi penulis serial mitologi Yunani ini. Buku dongeng yang diperuntukkan bagi anak-anak itu  tanpa sadar mengandung makna mendalam ketika dibaca oleh orang dewasa. Ia heran bagaimana pemahamannya bekerja ketika ia membaca buku-buku itu sewaktu kecil dulu.

Dikisahkan seorang pemuda bernama Leandros dari kota Abidos di Misia, jatuh hati pada salah seorang pendeta Aphrodite bernama Hero. Keduanya saling mencintai. Orang-orang juga mendukung mereka. Satu-satunya masalah hanyalah jarak di antara mereka. Hero tinggal di seberang lautan, membuat Leandros tak bisa menjumpainya setiap saat.

Untuk mengatasi hal itu, mereka tentu memiliki solusi. Setiap sore hari, Leandros akan berenang menyeberangi lautan menuju pulau seberang, tempat Hero tinggal. Di seberang sana, Hero akan menyalakan lentera dari kuil Aphrodite untuk menerangi lautan yang gelap, sebagai penunjuk jalan bagi Leandros.

Hero kemudian akan tahu bahwa Leandros telah sampai ketika mendengar bunyi ombak yang berbeda. Dengan hati berbunga-bunga, ia berlari kecil menuruni tangga dan menghampiri Leandros yang menyambutnya dengan pelukan hangat. Kemudian mereka akan duduk di dekat kuil, menyalakan api unggun dari kayu yang mereka temukan dan api dari lentera Hero.

Pertemuan itu berlangsung setiap hari. Leandros akan sampai pada malam hari, dan kembali ke pulaunya di pagi hari. Mereka berdua bertemu dan berpisah dengan senyum paling bahagia. Tidak pernah ada keraguan dan rasa takut yang menghalangi Leandros untuk mengarungi lautan demi sang kekasih. Begitu pula Hero, yang selalu menanti Leandros dengan sabar, mengangkat lenteranya tinggi-tinggi dari puncak menara kuil Aphrodite.

Pertemuan mereka terus berlangsung, hingga pada suatu hari di musim dingin, suatu hal terjadi di luar keinginan mereka, di luar perkiraan mereka. Hari itu, angin bertiup kencang dan ombak yang bergulung tampak kejam, jauh lebih dingin dari biasanya. Namun itu tak menghalangi niat Leandros untuk tetap menemui Hero. Seperti biasa pula, Hero menyalakan lampu di menara dan menunggu kekasihnya.

Hero terus menunggu, mengira semua akan baik-baik saja sampai angin kencang bertiup, membuatnya  terjatuh. Lentera terlontar dari kedua tangannya, pecah dan mati apinya. Hero terkejut, segera ia berlari turun untuk mencari lentera baru.

Sementara itu di tengah lautan, Leandros tengah berjuang menghadapi ombak yang mengamuk. Ketika cahaya dari kuil Aphrodite menghilang, ia menjadi hilang arah dan harus berenang dalam gelap. Malang baginya, amukan ombak dan tak adanya panduan cahaya membuatnya harus tenggelam, meregang nyawa dalam gulungan ombak, terombang-ambing oleh arus dan hilang tujuan.

Hero, dengan keyakinan bahwa Leandros masih dalam perjalanan, kembali ke menara dengan lentera baru di tangannya. ia menunggu dan terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari dalam lautan, Dewa Triton turut bersedih atas kematian Leandros, dan bertambah sedih pula melihat keadaan Hero. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengutus ombak membawa jasad Leandros pada Hero.

Ketika cuaca mulai membaik, ombak mulai tenang dan angin berhenti mengacau, Hero melihat sesuatu berenang mendekati pantai. Hatinya berbunga-bunga mengira bahwa kekasihnya telah sampai. Ia berlari menuruni tangga, bersiap mendekap tubuh Leandros, seperti yang mereka lakukan biasanya.

Namun apa yang ia lihat membuatnya melolong dalam jeritan panjang. Ia benar bahwa itu adalah Leandros, tapi Leandros yang ia lihat saat itu tak mungkin lagi memeluknya. Kekasihnya itu datang dalam keadaan pucat, tubuhnya membiru akibat dingin. Tubuhnya kaku, terbaring tak berdaya di atas pasir pantai. Hero jatuh terduduk, meratapi tubuh Leandros, memeluknya tanpa menghiraukan ombak yang menampar tubuh mereka.

Tangis Hero pecah, bersamaan dengan turut berdukanya lautan. Air matanya menetes, menjadi satu-satunya yang hangat di atas tubuh dingin Leandros. Hero sungguh tak sanggup melihat wajah kekasihnya yang tampak tenang namun terkulai tak berdaya. Hero akhirnya mendaratkan kecupannya pada kening Leandros, tanda kasih terakhirnya, sebelum ia bangkit dan berjalan menuju menara.

Angin berembus hangat, menerpa punggung Hero yang berdiri di balik pagar pembatas menara. Sambil mengucap doa untuk dipertemukan kembali dengan kekasihnya, Hero menutup mata, membiarkan hatinya menuntunnya untuk menyusul Leandros ke alam keabadian. Begitulah pada akhirnya, tubuhnya ditemukan bersanding dengan tubuh Leandros pada pagi hari. Keduanya tampak damai, karena terus bersama hingga akhir hayat.

Saking larut dalam cerita, Luna baru menyadari kalau itu adalah halaman terakhir ketika sesuatu jatuh ke pangkuannya. Sebuah kertas kecil, bertuliskan,

081xxxxxxxxx

p.s Salah satu cara yang lebih bagus untuk minta rekomendasi buku.

Luna terkekeh kecil. Dia jadi ingat apa yang diucapkan oleh pengantar makanan tadi. Rupanya ini maksudnya.

Luna segera mengambil ponselnya yang tergeletak di kasur dan kembali duduk di depan meja belajarnya. Nomor itu ditambahkannya ke dalam daftar kontaknya dengan nama ‘Kala’.

Luna:

Terima kasih atas usulannya, tentang cara yang lebih bagus untuk meminta rekomendasi buku.

Sambil menunggu balasan, jemari gadis itu mengetuk-ngetuk mejanya. Irama yang dihasilkan berhasil membuatnya berpikir bahwa cerita Hero dan Leandros diakhiri terlalu cepat. Biasanya akan ada pesan moral atau nasihat yang terselip di bagian akhir. Tapi untuk kali ini, Luna menemukan bagian itu telah disebutkan sebelum ceritanya dimulai.

Tetap saja, Luna pikir pembaca akan lebih senang jika kisahnya tidak diakhiri dengan kesan menggantung seperti itu.

Ponselnya bergetar, menampilkan sebuah balasan bernada jenaka.

Kala:

Hahaha!

Emang cuma lo doang yang begitu.

Gue kaget, tiba-tiba Masnya tau nama gue.

Luna baru menyadari, Kala itu cerewet sekali. Maksudnya dalam artian yang menyenangkan, yang membuat Luna juga terbawa dalam nada riangnya.

Luna:

Itu pujian?

Aku tersanjung.

 

Kala:

Gimana bukunya?

Ah, makanan sama minumnya juga, hehe.

 

Luna:

Aku suka Iced Cappuccino-nya, dan Potato Wedges-nya.

Juga bukunya.

Pesan terakhirnya belum mendapat balasan dari Kala hingga lima menit berikutnya.

Kala:

Hei!

Lo ada waktu luang nggak, besok?

Luna merasa sedikit heran. Apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan waktu luangnya?

Luna:

Kuliahku dimulai pukul delapan dan selesai pukul dua.

Ada apa?

Ketukan jemari Luna di permukaan mejanya menjadi semakin cepat. Lagi-lagi butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan balasan. Tapi, tunggu … untuk apa ia butuh pesannya dibalas cepat-cepat?

Luna menggigit bibirnya ketika layar ponselnya kembali menyala.

Kala:

Mau temenin gue pergi gue besok?

Luna mengerjapkan matanya beberapa kali.

Kala:

Eh, kalo lo mau aja.

Gue nggak maksa, kok.

Luna mendapati lelaki itu sangat lucu. Tentu saja ia mau. Tak ada yang aneh, bukan?

Luna:

Tentu saja aku mau.

Pergi ke mana?

Satu, dua, tiga, empat, lima. Luna menghitung sampai sepuluh, tepat ketika pesan baru masuk.

Kala:

Hmm, rahasia!

Besok kelas lo di gedung mana?

Biar gue samperin ke situ.

 

Luna:

Ah … oke.

Gedung D, kelas B.

 

Kala:

Hmm, ada bangku di taman luarnya, kan?

Gue tunggu di sana.

Berikutnya, entah bagaimana, Luna mendapati dirinya tersenyum lebar. Luna tak tahu bagaimana cara bekerjanya, tapi malam itu ia dapat tidur lebih awal.

[*****]

Sepanjang kelas, Luna beberapa kali bolak-balik mengecek jam di layar ponselnya. Sekali waktu, ia malah kepergok oleh dosennya dan berujung ditegur. Untunglah ia mahasiswa yang cukup disanjung oleh para dosen, sehingga teguran saja sudah cukup baginya.

Beberapa teman sekelasnya saling bisik-bisik heran. Tak biasanya Luna bersikap seperti itu di kelas, bahkan sampai mendapat teguran. Ah, Luna sendiri bahkan heran. Ia jadi merutuki dirinya sendiri karena telah bersikap tak seperti biasanya. Ia tidak suka dirinya yang keluar dari karakternya karena hal-hal sepele.

Seperti janji pergi bersama Kala, misalnya.

“Baik, sekian dulu kelas hari ini. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya.”

Kelas ditutup dengan salam, membuat Luna segera bangkit dari kursinya dan cepat-cepat membereskan buku-buku di mejanya. Dengan menyandang tas di bahu kanan, Luna keluar dari kelas tepat setelah dosennya. Kala mungkin sudah menunggu lama.

Sayang sekali, langkah gadis itu terhenti oleh getaran ponsel di kantong celananya. “Aduh,” keluhnya kesal, tapi tetap mengeluarkan ponselnya dari sana.

Sebuah panggilan masuk dari Gara. Sejenak menimbang-nimbang untuk menjawab, akhirnya gadis itu menggeser tombol hijau dan mulai bicara. “Halo?”

“Lun, udah selesai kelas? Aku masih di UKM  sama anak-anak, nih. Tunggu bentar gapapa, kan?”

Merupakan kebiasaan Gara untuk mengantar dan menjemputnya kuliah ketika lelaki itu tidak sibuk. Terkadang, beda jurusan membuat jam kuliah mereka berbeda, sehingga lelaki itu harus menunggu kelas Luna selesai atau sebaliknya agar mereka dapat pulang bersama.

“Eh, Ga, jangan jemput,” ucapnya tanpa sadar. Sedetik kemudian Luna mengumpati dirinya.

“Lah? Kenapa?”

“Aku … aku tidak langsung pulang.”

“Hah? Kamu mau ke mana?”

Bola mata Luna bergerak liar. “Eh, mau ke perpus kota.”

“Sama siapa? Nggak sama aku?”

“Um, sama teman.”

Luna mendapati jawabannya sama sekali tak masuk akal. Gara tahu ia tak punya teman selain Gara sendiri.

“Hah? Siapa—“

“Sudah dulu, ya, Ga. Aku sudah ditunggu.”

Telepon diputusnya secara sepihak. Sekali lagi Luna menyadari bahwa dirinya bersikap di luar karakternya. Luna kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dengan gontai, gadis itu melanjutkan langkahnya menuju gedung sekretariat mahasiswa.

Di sana, di bangku taman yang ada di bawah pohon, duduk Kala dengan ransel di pangkuannya. Sepertinya ia melihat Luna dari kejauhan, melambaikan tangannya pada gadis itu.

“Hei,” sapanya ketika Luna berdiri di depannya.

Luna tersenyum dan duduk di sebelahnya. Kala menyodorkan sebuah gelas plastik berisi minuman yang diterima Luna dengan heran. “Apa ini?”

“Kesukaanmu,” jawab Kala. “Tadi gue mampir dulu ke kafe, sekalian minta ijin cuti dadakan, hehe.”

Luna sekali lagi kagum oleh wajah jenaka itu. Kala bahkan bisa tertawa akibat candaannya sendiri. Dia tampak seperti matahari. Cerah dan ceria sepanjang waktu.

“Terima kasih. Tapi memang boleh begitu?” Luna menyeruput minumannya.

Kala meletakkan kedua lengannya pada sandaran kursi. Ia menyibak rambutnya ke belakang karena merasa gerah. “Bolehlah. Gue ‘kan, ibarat Zeus gitu,” celetuknya. “Mana ada yang berani nolak.”

Luna mendecih. “Apa-apaan ….”

Kala terbahak-bahak. Gadis itu terlalu jujur. “Ya enggaklah. Nanti gue harus masuk malem. Karena ini malam Minggu, kafe buka sampe pagi. Shif-nya tukeran gitu.”

Luna mengangguk paham atas penjelasan Kala. Namun sedikit banyak ia khawatir. “Kamu tidak lelah?” tanyanya. “Maksudku, jangan sampai kamu repot karena harus mengganti jadwalmu dengan acara mengajakku-pergi-entah-kemana ini.”

Kala mengangguk-angguk asal. “Ribet banget bahasa lo. Tenang aja, gue yang mau, kok.” Lelaki itu tersenyum.

Dengan begitu, sedikit banyak Luna tak lagi merasa khawatir dan mulai santai. Mereka terdiam sejenak, menikmati minuman masing-masing sambil menatap orang-orang berlalu-lalang di depan mereka. Sekretariat sepertinya tidak pernah mengenal sepi.

Kala melirik Luna di sebelahnya. Ia tak menduga begitu mudah mengajak Luna pergi bersamanya. Ia sendiri juga bingung, dirinya dianggap apa oleh gadis itu? Bagaimana bisa gadis itu percaya begitu saja kalau Kala orang baik-baik?

Yah, bukan berarti Kala akan mencelakainya juga.

“Kita berangkat kapan?” celetuk Luna tiba-tiba. Kala memandangnya sesaat sebelum memeriksa jam tangannya. Luna tak tahu apa yang membuatnya tersenyum.

“Sekarang.”

[Fiksi ini adalah pengembangan dari mitologi Yunani tentang kisah Hero dan Leandros.]

9520, ©ranmay.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.