Masak Yok Masak*

Masak Yok Masak*
Singkat cerita, aku berhasil menyeret Mbak Binny Buchori untuk bergabung dengan Eating Reorder, di batch 8 Coach Aline. Semakin mendekati waktu dimulainya program—tepatnya, dimulainya zoom orientasi, Mbak Binny semakin tampak semangat, Dengan semangat pula ia lalu berkata padaku.
 
“Aku lagi menyiapkan hati nih, untuk bisa selalu makan makanan tanpa rasa selama program ER,” katanya yang membuatku jadi bengong.
 
Saat masih menjalani program ER batch 6-nya Coach Aline, aku selalu membawa makanan yang sesuai dengan menu ER, ke manapun aku pergi. Ke pesta pernikahan saja kubawa, apalagi kalau sekedar nongkrong seru dengan Mbak Binny.
 
Pada suatu hari, di jam makan siang kami berakhir di food court Sarinah di Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat. Di sana, Mbak Binny sibuk memilih makan siangnya, di antara gerai
-gerai penjual makanan. Sementara, aku langsung membuka bekalku, menyuap sendokan pertama, dan lalu tanpa sadar keluarlah gerundelan-ku tepat di saat Mbak Binny kembali ke meja kami.
 
Nggak enak bener makanan gue, nggak ada rasa gini. Anyep!!!” demikian gerutuku, yang ditimpali oleh Mbak Binny supaya aku sabar.
 
Rupanya, dari peristiwa itu Mbak Binny berpendapat bahwa di ER makanan wajib untuk tidak ada rasanya. Sambil tertawa kemudian aku menjelaskan kepada Mbak Binny, bahwa di ER justru kita harus selalu makan enak. Dengan berbagai rasa yang bisa kita nikmati senikmat-nikmatnya, sepanjang itu semua sesuai dengan aturan dalam program. Misalnya, secara sederhana saja, tidak makan makanan deep fried, apalagi aneka gorengan dari gerobak si abang langganan di tikungan.
 
Nah, lalu kenapa makananku saat itu anyep? Hehe…, human error! Sebabnya adalah, aku lupa untuk memasukkan semua bumbu yang diperlukan, pada saat memasak di rumah pagi hari sebelum bertemu Mbak Binny. Bahwa aku lupa dalam urusan mempersiapkan makanan begitu, nggak hanya terjadi sekali itu saja lho. Cukup sering bahkan.
 
Di lain kesempatan, ketika menu siang dan malam ada telurnya, suatu hari aku memutuskan untuk membuat salad. Sayuran mentah warna-warni—kupilih kol ungu dan wortel, dicampur telur rebus, dan kentang rebus sebagai pilihan karbonya. Ringkas dan praktis, demikian idenya, sehingga mudah dibawa-bawa.
 
Pada hari itu lagi-lagi aku harus pergi dari pagi setelah sarapan, sampai malam. Artinya, dengan demikian aku harus bawa dua tromel. Untuk dua kali makan. Saat makan siang, kudapati bahwa ternyata aku lupa memasukkan telur yang telah kurebus khusus untuk salad ini. Ampun deh!
 
Supaya tetap bisa mendapat protein pada makan siang, kupikir tak ada salahnya bila mengambil sebagian telur dari jatah makan malam. Kubuka kotak tromel untuk makan malam. Haha…, tak ada telurnya juga!
 
Mengapa aku begitu optimis bahwa di tromel makan malam bakal ada telurnya? Sebab, aku tidak meracik salad siang dan malam sekaligus, melainkan satu per satu. Berhubung gramasi makan siang dan malam berbeda. Satu lupa dimasukin telur, siapa tahu satu lagi tak lupa. Ya sudahlah, ikhlas saja hari itu siang dan malam tak ada protein untuk tubuhku. Maafkan kekhilafanku ya, tubuhku.
 
Di rumah kemudian kutemukan dua buah telur rebus yang sudah kukupas itu. Mereka termenung sunyi dalam mangkok di atas lemari es.
 
Masak memasak memang bukan kepandaianku. Keterlaluan sih memang. Sehari-hari, sebelum ikut ER, makanku selalu makanan belian belaka. Agak sedikit kapok buat memasak, sebab aku tak bisa melakukannya dengan cepat. Sekedar memasak terong balado dan oseng pare saja, misalnya, 3-4 jam waktu yang kubutuhkan. Lelah saja yang kuperoleh, tambah kesal kalau ternyata lupa memasak nasi.
 
Kompor aku punya, yang satu burner saja cukup. Tapi, gara-gara sangat lama tak pernah memasak sama sekali, gas dalam tabung kecil berwarna hijau, yang populer disebut gas melon, selama entah sudah berapa tahun isinya tak kunjung habis. Akhirnya, kuberikan tabung gas melonku kepada tetangga yang lebih membutuhkannya. Buatku, cukuplah punya rice cooker dan wajan listrik. Ditambah teko listrik untuk bikin te panas.
 
Dalam menjalani program ER, rice cooker dan wajan listrik itu kemudian menjadi modal utamaku dalam menyiapkan makanan dan masakan. Meski secara minimalis, alias seada-adanya. Dan, seringkali lupa memasukkan ini atau itu, sampai bisa-bisanya makanan menjadi anyep. Membuat Mbak Binny menyangka bahwa program ER adalah makan makanan tanpa rasa sama sekali.
 
Di tengah perjalanan programku, pada suatu siang ketika hendak mulai masak, kudapati bahwa wajan listrikku tak kunjung memanas. Memang, sudah beberapa hari belakangan ini colokan listrik pada wajan sering melonggar sehingga listrik tak tersalur. Biasanya, cukup kugoyang-goyangkan saja ujung kabel yang tertancap di wajan sampai problem pun solved. Kali ini, tidak pengaruh mau kuapakan juga kabel itu.
 
Dengan panik sebab satu jam lagi aku sudah harus nge-klik jadwal makan siangku di app ER, kuboyong wajan listrik rusak-ku ke toko peralatan listrik dan elektronik tempatku dulu membelinya—entah setahun atau dua tahun lalu. Jarak si toko hanya sekitar 500 meter dari rumahku. Setengah berlari aku pergi ke sana, sebab tidak bisa lebih cepat lagi dari itu.
 
Harapanku, yang punya toko bisa membetulkan wajan kesayanganku itu. Sayangnya, dia tak bisa dan juga tak paham. Terpaksa, aku harus beli lagi yang serupa. Tapi, beruntung bagiku karena ternyata persediaan wajan listrik sejenis di toko itu masih ada, dan tinggal satu-satunya pula!
 
Di tengah keterpepetanku itu, aku masih sempat berharap semoga wajan yang baru warnanya berbeda dengan punyaku yang lama. Sehingga, apabila ada jalan entah bagaimana wajan lamaku bisa diperbaiki, maka aku punya dua buah dengan warna yang berbeda. Seru kan!?
 
Sayang, sekali lagi harapan tinggal harapan. Warnanya sama sekali persis dengan warna wajan lamaku. Ya sudahlah! Yang penting aku bisa melanjutkan memasak. Dengan lega hati karena sudah punya wajan listrik baru, aku balik arah menuju pulang dengan langkah tetap ngebut.
 
Sebelum sampai di rumah, kulihat Bang Mijo, lelaki paruh baya tetanggaku, yang sangat ahli dalam menangani barang-barang elektronik bermasalah. Tumben Bang Mijo ada, pikirku. Biasanya, selama matahari masih bersinar, ia sibuk dipanggil orang untuk memperbaiki mesin air, kipas angin, mesin cuci, atau apalah.
 
“Bang Mijooo…,” seruku pada Bang Mijo yang tengah duduk di depan warung nasi uduk Mak Midah, istrinya.
 
Kulaporkan permasalahan yang terjadi pada wajan listrikku. Tetap dengan nada panik meski sudah ada safety net di tangan—yaitu, wajan listrik baru.
 
Bang Mijo mengamati bagian colokan si wajan.
 
“Bisa diperbaiki, nggak, Bang?” tanyaku cemas.
 
Palingan kongslet,” katanya—maksudnya, mungkin korslet. “Dibongkar dulu ya. Kalau bisa dibenerin, nanti palingan beliin aja kabel baru,” katanya.
 
Aku mengangguk, lalu lanjut ngacir pulang. Syukurlah, aku bisa klik jam makan siang di app ER pada waktunya. Lucunya, meski situasaiku hari itu super panik dan super heboh penuh keringat, tak ada bahan maupun bumbu yang lupa kumasukkan. Lengkap semua meresap menjadi satu dalam masakanku untuk siang yang penuh kegawatan itu.
 
Selesai makan siang, aku menemui Bang Mijo lagi. Berita darinya adalah, wajan listrik lamaku memang korslet. Bagian yang korslet itu, baik pada si wajan maupun kabelnya, bisa diganti. Hanya saja, bila yang asli kabelnya bisa dilepas, kabel baru terpantek mati di wajan. Nah, aku kini punya dua wajan listrik deh.
 
Ngapain sik pake buru-buru beli baru segala, bukannya nungguin yang rusak dikerjain Bang Mijo aja,” omel penuh kasih sayang dari Mak Midah untukku.
 
Nggak sempet, Mak, aku harus cepat-cepat masak tadi,” kataku membela diri.
 
“Masak aja di sini kan bisa,” katanya lagi—maksudnya adalah, aku bisa masak di warungnya.
 
Sejak saat itu, aku malahan jadi lebih sering memasak di warungnya Mak Midah. Walhasil, selain punya dua wajan listrik, aku juga ‘punya’ dapur lengkap dengan peralatannya.   =^.^=
 
-----
Catatan:
*Plesetan dari judul lagu “Dansa Yok Dansa” oleh grup musik Indonesia The Rollies, 1977. Dinyanyikan oleh Delly Rollies, lirik ditulis oleh Titiek Puspa.
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.