Seledri & Ceker Ayam

Setiap sup buatan ibu, pasti memakai seledri dan ceker ayam, bukan?

Seledri & Ceker Ayam
"Seledri! Ih, geli!!!" seru abangku.
 
Wajahnya horor begitu. Dia memang benci sekali dengan seledri. Dan, ya ampuuun…, telitinya saat mencari potongan seledri dalam masakan ibu. Sekecil apapun bisa dilihatnya. Sedikit saja seledri tampil, takkan dimakannya.
 
Itu sebab dalam memasak ibu tak pernah mengiris seledri. Ibu hanya akan mengikat tanaman hijau itu seperti simpul. Saya yang suka seledri, malah sebaliknya dari abang. Saya gemar sekali mengisap-isap buntelan seledri itu.
 
Saya justru merasa diuntungkan bahwa ibu tak mengiris halus-halus si seledri. Biasanya saya minta buntelan seledri itu ke ibu. Ibu lalu menyuruh saya ambil sendiri di panci di dapur.
 
Hmmm..., nikmatmya mengisap buntelan seledri yang pekat dengan rasa kaldu sup. Surga banget rasanya. Sampai merem-melek.
 
Mulai besar, mungkin sekitar usia akhir di sekolah dasar, saya mulai suka iseng membantu ibu. Misalnya, menata masakan/makanan di meja makan. Ibu tentu senang dapat asisten. Selalu memberi instruksi supaya saya handal dalam cara menyajikan makanan/masakannya di meja makan.
 
Soal menyajikan makanan di meja makan, memang lumayan kencang tuh aturan dari ibu. Piring dan alat makan lainnya seperti sendok yang untuk dipakai perorangan, berbeda dengan piring dan sendok samba. Dalam Bahasa Minang, samba itu artinya lauk.
 
"Eh, itu kan piring samba, koq dipakai makan!" protes ibu pada kami yang sembarangan.
 
"Diwadahi piring samba yang kecil saja". Kalau ibu sudah berkata demikian, kami tau piring mana yang dimaksud.
 
Haram juga hukumnya untuk mehidangkan makanan di meja makan sepanci-pancinya. Cobek pun dilarang naik panggung, eh, meja makan. Pemakaian sendok sup juga ada aturannya. Ada sendok sup khusus di dapur. Yang dipakai saat memasak dan untuk memindahkan sup dari panci ke mangkok sup. Di meja makan nantinya harus pakai sendok sup yang berbeda.
 
"Sup-nya diwadahkan di mangkok yang cukup besar ya. Sendok sup dapur-nya jangan bawa ke meja makan!" perintah ibu sampai saya sebal karena sudah bosan dengernya.
 
Lalu yang ini akan menyusul diperintahkan...
 
"Daun seledri dan cekernya jangan ikut dikeluarkan ya".
 
Itu juga sampai hafal. Tapi, pertama kali dengar, reaksi saya adalah, “Eh?”
 
Waktu itu saya baru perhatikan soal yang ceker yang dilarang jalan-jalan ke meja makan. Kalau soal seledri, saya tahu. Karena, kalau sampai abang melihatnya, pasti dia tak akan mau makan sup sayur yang segar dan menyehatkan itu.
 
"Kenapa ceker nggak dikeluarin?" saya pun bertanya.
 
"Karena kamu. Kan kamu geli sama ceker. Selalu bilangnya bentuknya kayak tangan bayi," jelas ibu.
 
Ya ampun ibu!!! Sedetil itu perhatiannya. Senang rasanya bahwa ibu memikirkan perasaan saya. Padahal sih, kalau ada ceker di mangkok sup, saya tinggal pura-pura tak melihatnya saja.
 
Semakin dewasa dan beranjak tua, meski saya tak punya anak, saya semakin faham esensi dari perhatian ibu itu. Apalagi kalau bukan cinta!?
 
Aaah..., jadi kangen ibu...   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.