SINAR DI BALIK MATA ITU

SINAR DI BALIK MATA ITU

Hari ini adalah hari istimewa. Kami memasuki sebuah rumah bergaya minimalis dengan warna pastel yang lembut. Rumah yang mungkin terbilang sederhana di kawasan metropolitan ini, bagiku sudah lebih dari cukup. Ini adalah istana surga yang telah berhasil kami bangun dari hasil keringat sendiri setelah tujuh tahun pernikahan tinggal sebagai kontraktor. Istilah yang kubuat, manakala kami tinggal di sebuah kontrakan sepetak tak jauh dari hilir mudik riuhnya ibukota.

Tak salah mengira, jika pernikahanku dengan Mas Adi bisa berjalan sebaik ini.  Seperti kurva yang merangkak ke atas. Cinta pada pandangan pertama yang tak pernah disangka akan tersimpan lama di relung hati, nyatanya bisa berubah menjadi kisah yang manis. Meski begitu, semua juga tak berjalan mulus seperti jalan tol yang tak pernah macet. Pernikahan kami juga dibumbui beberapa drama air mata meski tak sedikit pula tawa canda yang menghias hingga sampai bisa seperti sekarang. 

Ketika selesai berbenah dan akan beristirahat, aku tersenyum memandangi foto-foto perjalanan hidup kami yang terpampang di dinding kamar. Saat sedang menikmati kenangan foto satu ke foto yang lain, kaki sedikit menjengit dengan mata terbelalak ketika ada tangan kekar tiba-tiba menyusup, memeluk dari belakang. 

“Ngira gak kalau akhirnya kita bisa seperti sekarang?” 

Pertanyaan yang keluar dari mulutnya, membuatku mengerucutkan bibir. 

“Ngiralah, aku percaya instingku dalam memilih kamu.”

Dia tertawa renyah. “Kenapa bisa gitu?” tanyanya. 

“Bisalah, karena ketika aku melihat sinar di balik matamu waktu itu, aku bisa melihat masa depanku ada di dalam situ.” 

Dia tertawa lagi, kali ini terbahak-bahak. Tawa yang membahana itu berhenti ketika telunjuknya menunjuk suatu foto. 

“Hei, Sayang, liatlah anak-anakmu, cantik-cantik seperti ibunya.” 

Kali ini ganti aku yang tertawa. 

“Tapi mata mereka, mata ayahnya dan tulang rahangnya, semua mirip dirimu, astaga.” Aku memutar bola mata seakan tak terima ketika melihat foto-foto anak-anakku. 

Dia terkikik geli, pelukannya semakin erat. Terlihat dari sudut mataku, dia tersenyum penuh syukur atas hasil kerja kerasnya melukis wajah-wajah ayu yang sekarang sudah kelas taman kanak-kanak dan balita itu. Aku menoleh pada pipi yang mendarat di bahuku. Ciuman seketika dari bibirku pada pipinya, memberinya isyarat untuk lebih baik dilanjutkan di pembaringan. Dia, tak ada yang berubah. Sikap dan perlakuannya yang lembut, masih sama seperti pertama kali kami memulainya tujuh tahun yang lalu. Sentuhan dan belaian sayangnya memberi dengusan kepuasan. Mengakhiri manisnya madu yang kami teguk bersama-sama. 

Setelah mengecup kening hingga dagu sebagai ucapan terimakasih. Dia tertidur pulas dengan tangan yang masih memeluk pinggang yang tak lagi ramping ini. Dengkuran halus yang keluar dari mulutnya, membuai hati. Membuat tangan sedikit bergerak naik, membelai pelan rambut hitam cepak yang pemiliknya sekarang terbaring lemas dalam rengkuhan. Mata ini masih belum bisa terpejam, membuat angan melayang-layang. Berselancar jauh pada kejadian bertahun-tahun silam. Teringat saat pertama kali kami bertemu dan pertemuan-pertemuan berikutnya. Di mana akhirnya terangkai manis menjadi kisah cinta selamanya.

*** 

15 tahun yang lalu. 

Saat itu, pulang sekolah. Aku dan ketiga temanku mencebik bersama tugas kimia yang terlalu banyak dan membahas dengan heboh tentang guru fisika yang sering tertidur di kelas setelah memberi tugas. Hawa siang yang panas tak menghilangkan riangnya tawa canda kami di masa remaja. Kami juga saling meledek satu sama lain dengan laki-laki kelas sebelah yang rupanya menarik hati. Membuat kami terkikik geli, menambah hiruk pikuk jalanan meski kami cuma berempat. 

Banyaknya siswa yang pulang sekolah menambah sederetan celoteh terdengar sehingga membuat suasana tiba-tiba penat. Mikrolet yang ditunggu untuk pulang juga selalu penuh, sesak. Hingga akhirnya, mikrolet terakhir yang dirasa muat untuk kami, mendekat. 

“Geser, geser!” perintah dari asisten supir yang terkesan ketus.

“Alhamdulillah, akhirnya kita jadi pulang. Panas banget ya,” keluh Sofi sambil membuka tas mengambil buku untuk mengipasi diri. 

“Iya nih, luar biasa. Tumben ramai banget!” Ida menimpali lalu meneguk air minum di botol minumnya. 

Sementara, Riska hanya senyum-senyum saja mendengar omelan Sofi dan Ida sambil mengucir rambut panjangnya. Namun, aku yang duduk di sebelah Riska berubah menjadi kaku seperti patung, membisu. Jika biasanya selalu nimbrung jika yang lain berbicara, kali ini berbeda. Mulut seperti terkunci. Diam, tak berkutik. 

Binar mata ini berhenti pada sosok yang duduk di ujung kursi. Entah kenapa udara panas yang dikeluhkan teman-teman, tak kurasakan. Angin sepoi dari jendela yang terbuka di belakang tengkukku, rasanya segar menyejukkan seperti sedang di bawah nyiur melambai. Waktu pun terasa melambat, ketika mata ini bertemu dengan netra itu. Diam dan terpaku akan keberadaannya yang membuat suasana terasa merah muda dan ungu. 

Tiba-tiba.

Ssstt … sssttt ….

“Apaan sih!?” Aku tersentak kaget oleh jailnya jari Riska mencowel tangan di balik tasku. 

“Idih, aku tahu. Mas yang duduk di pojok itu, kan?” Riska terkikik.

Raut wajah pias yang kupasang agar tidak menarik perhatian massa, membuat Riska semakin gencar menggoda. Seketika Riska berbisik,” namanya Adi.”

Dalam sekejap, aku langsung menoleh pada Riska. Riska menarik sudut bibirnya tersenyum mendapati wajahku yang berubah merona. Riska memberi kode. Seakan mengetahui isi hatiku yang penasaran akan nama laki-laki yang duduk sendirian di pojok mikrolet itu. Dia menunjuk tanda pengenal yang tersemat di kemejanya yang tertutup tas sekolah. Ada kelegaan yang tak bisa dipungkiri ketika mengetahui namanya, tapi tetap saja rasanya malu untuk mengakui.

“Oh, ternyata namanya Adi,” batinku. 

Kutermangu, mencuri-curi lihat pada tempat menempelnya tanda pengenal di balik kemejanya untuk meyakinkan diri kembali. Aku baru sadar, ternyata teman-teman berkode ria memberi senyuman nakal menggodaku. Dengan mencebik masam, aku mencoba memadamkan ramainya gurauan agar si empunya tidak merasa bahwa dia yang jadi topik pembicaraan. Sejuknya angin sepoi yang kurasakan tiba-tiba hilang musnah. Berganti hawa panas yang memerahkan pipi. Tak kuasa menahan malu, aku pun berlalu mencari arah pandang yang lain. 

Karena terlalu lama menatap jalan hingga melamun, aku pun tersadar. Ternyata sudah waktunya untuk turun. Tak disangka, ternyata kami berhenti di tempat yang sama. Astaga, debaran apa ini Tuhan? Jantung seketika bertalu-talu saat tubuh ini berdiri dan dia pun berdiri. Bibir merahnya tersenyum menatap mataku yang tergugu malu. Kami bergantian turun dan masih curi-curi pandang ketika dia akan menyebrang. Sesak nafas yang sempat tertahan akhirnya luruh ketika dia menghilang di suatu gang. 

*** 
Delapan tahun setelah itu. 

Lelaki yang sedang berdiri tegak di hadapanku ini, terlihat semakin tampan. Hanya matanya yang masih sama. Mata sayu yang tak sengaja bertatapan denganku di mikrolet saat pulang sekolah dulu. Entah kenapa paru-paru seperti sulit bernafas. Udara tiba-tiba pengap. Waktu seakan berhenti seiring dengan degup jantung yang berpacu dengan ulasan-ulasan kenangan saat masih remaja.

Mata kami masih saling pandang. Seperti ingin menembus garis batas pada netra yang berpendar. Ingin sekali hati memaksa masuk dalam pikiran. Seolah-olah, ini adalah pertemuan kembali dari sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terpatri. Meski ragu-ragu untuk menyapa karena malu, tetap saja rasa hati tak bisa menahan bibir untuk membuka suara. 

”Kayaknya, kita pernah ketemu ya, Mas?” 

Dia yang masih tak melepas rasa penasarannya terhadapku, seakan mulai sadar bahwa aku juga masih berdiri di depannya dan memandangnya. 

“Be-benarkah?” jawabnya sedikit tergagap. 

Seraya menyadari bahwa pandangan kami sama-sama masih belum berpaling. Sudut bibirnya sedikit naik memberikan seulas senyuman. 

“Ah, kita bertetangga ya, kita sering bebarengan saat pulang sekolah dulu,” 

Kubalas senyumannya yang entah kenapa, membuat jantung semakin tak karuan. Setelah mengangguk dengan malu-malu, aku memintanya sedikit bergeser untuk menjauhi motor yang akan kunaiki. Kemudian mengucap permisi, tatkala sudah waktunya untuk pergi. 

Sepanjang perjalanan, anganku terbawa pada saat masa-masa sekolah. Kurang lebih delapan tahun telah berlalu dan semua sudah berjalan begitu cepat. Laki-laki yang dulu membuat hati mengharu biru. Sekarang bertemu lagi. Kilasan kejadian saat di mikrolet, turun di tempat yang sama, lalu berpisah dengan saling curi pandang dan melempar senyuman seakan berulang seperti pita film yang tengah diputar. Pertemuan ini tak pernah diduga. Setelah sekian purnama tanpa mengharap rindu nyatanya kembali bertemu. 

Hati merasa lucu dan malu. Malu-malu tapi mau yang membuat bibir di balik kaca helm, tersenyum. Mungkin juga wajahku merona, entahlah. Selepas berpamitan dengannya, perasaan campur aduk mengalun-alun. Ah, Mas itu, masih memberikan kekaguman yang sama. Baik dulu maupun sekarang. 

Ya, pada akhirnya jalan jodoh memang seperti itu. Laki-laki yang duduk di pojok mikrolet saat itu sekarang sedang memelukku. Tujuh tahun sudah kami mengarungi samudera pernikahan dan akan terus melaju hingga sisa usia. Dia yang dulu berebut turun dari mikrolet dengan tatapan mata yang membuatku beku sekarang telah menjadi ayah dari kedua putriku.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.