Telpon biru pengobat rindu

Asyiknya menulis surat dan menelpon di saat belum ada internet dan smart phone

Telpon biru pengobat rindu
Foto oleh Lina Kivaka dari Pexels

 

Entah teman mana yang mengatakan kepada saya, dan entah kapan mengatakannya, namun yang disampaikannya begitu jelas dalam ingatan saya : "salah satu ciri orang sudah tua adalah selalu ingat hal-hal yang lalu, dan selalu memulai kalimat dengan:  “ dulu..."

Tahun ini saya sudah masuk dalam kategori "tua", karena umur sudah sampai pada masa being so sweet ( ucapannya swit kan?) a.k.a sewidak ( ucapannya swidak) dalam bahasa Jawa yang artinya 60 an.  Kalau jaman dulu, nah lho, dulu lagi kan? Saya adalah pemilik KTP seumur hidup. Untunglah dengan e-KTP, semua WNI adalah pemilik KTP seumur hidup.

Di usia ini,  ternyata saya secara spontan seringkali teringat masa-masa lalu, terutama apabila udara mendung dengan awan kelabu diiringi hujan rintik-rintik.  Atmosfir dan ambiance  seperti ini mengingatkan saya pada masa kecil saya di Bandung, dan juga masa saya kuliah di Inggris, tepatnya di Wales, di akhir tahun 80 an. 

Lamunan ke masa lalu ini terjadi lagi sore ini. Ingatan saya melayang ke saat musim gugur ketika saya masih kuliah di sebuah kota kecil di Wales, Inggris. Yaitu kota   Aberystwyth. Kota  dengan  penduduk 10.000 ini  hanya memiliki  1 gedung bioskop, transport publik yang terbatas dan hanya ada  sekitar 5 telpon umum yang bisa digunakan untuk percakapan internasional. Di saat itu belum ada hp, e-mail, internet apalagi WA. Jadi bisa dibayangkan betapa bahagianya saya dan ratusan mahasiswa internasional di kota tersebut dengan  adanya telpon ini. Telpon berwarna biru ini mampu memutuskan jarak yang ribuan mil jauhnya. Tetapi karena biaya percakapan internasional ini sangat mahal, maka komunikasi yang paling jamak pada saat itu adalah dengan surat menyurat.

Komunikasi dengan surat menyenangkan juga. Perjalanan surat Inggris-Indonesia memakan waktu sekitar 10 hari lebih saat itu. Jadi sensasi menulis dan menunggu jawaban surat sungguh  luar biasa:  membuat kami panas dingin seperti orang jatuh cinta. Mobil model pick-up  dengan cat merah dengan tulisan berwarna gold "Royal Mail" adalah seperti pacar yang selalu ditunggu kedatangannya.  Kami berebutan mengambil surat-surat yang datang diantar pak pos yang selalu ramah, seolah mengerti perasaan mahasiswa rantau ini.

Kabar dari tanah air, berita dari keluarga serta sahabat, merupakan obat kangen yang tiada taranya.  Saya biasanya membaca lebih dari sekali surat-surat yang dikirim. Lembaran surat yang penuh dengan tulisan tangan ibu, sampai lecek karena saya bolak-balik. Seringkali surat yang saya terima hampir sobek, karena basah dengan air mata saya, di saat rindu rumah, rindu tanah air tidak tertahankan. Menerima surat itu sangat menyenangkan, namun pada saat yang sama menimbulkan sakit yang menusuk sampai ke hulu hati karena menerbitkan rasa rindu yang tak tertahankan. Kangen akan pelukan hangat  ibu dan masakan ibu yang bagi saya rasanya hanya ada 2: enak dan enak sekali, kangen  dengan pedagang kaki lima, bahkan kangen berdesak-desakan di mikrolet. Tidak rasional, tetapi sejak kapan rasa itu rasional? Di saat tidak rasional ini lah biasanya – kalau ada uang tentu saja—saya lari  ke tempat salah satu telpon yang bisa menyambungkan saya ke Indonesia. Telpon umum dengan gagang biru menjadi incaran mahasiwa rantau di kota kecil ini.

 Kalau sedang beruntung, tanpa harus mengantri, saya bisa langsung terhubung ke rumah. Ada 2 cara untuk menggunakan telpon ini, dengan memasukkan koin atau dengan kartu telpon. Saat itu dengan 10 pound, kita bisa melakukan percakapan ke Indonesia sekitar 5 – 7 menit. Meski pun singkat, saya selalu merasa mendapatkan energi baru, setelah gagang telpon saya tutup. Energi ini saya simpan dengan baik, sehingga terus menjadi bara dalam pengembaraan saya di dalam kampus dan juga dalam menjelajahi kehidupan di kota kecil nan cantik namun dingin ini. Saya selalu rindu dengan si telpon biru ini.  Banyak cerita  tentang telpon biru ini. Salah satunya adalah pengalaman unik, lucu sekaligus menjengkelkan, yang tidak bisa saya lupakan.

Ceritanya dimulai saat saya bersama  kawan-kawan saya: Wati dan Nanik diminta oleh universitas untuk  menjemput tamu dari Indonesia yang akan mengikuti kuliah singkat selama 6 minggu. Namanya Pak Bambang, bekerja di salah satu instansi pemerintah di Yogya. Umurnya sekitar 50 an, dengan perawakan sedang, berkacamata dan wajah khas Jawa.  Ia tersenyum gembira melihat kami. “Ndak nyangka ada mahasiswa Indonesia di sini,” katanya dengan suara bariton dan aksen Jawa yang medhok.   “Senang saya bisa ketemu orang Indonesia. Saya ini bingung kalau ke luar negri, lha jaarang banget keluar Yogya. Eee ini malah sampai Inggris,” katanya. Setelah berkenalan, kami pun mengantarkannya ke guest house yang terletak di kampus. Karena sudah menjelang makan malam, kami sekalian mengantarkannnya ke kafetaria. Tetapi melihat pilihan makanan yang tidak ada nasi nya, Pak Bambang mengurungkan niatnya.

Sambil sedikit bersungut-sungut, ia berjalan menuju kamar, berhenti sebentar melihat telpon umum di kampus. Kami terus saja berjalan pura-pura tidak melihat telpon, karena sungguh cilaka  kalau Pak Bambang tiba2 ingin telpon ke Indonesia. Karena pesawat bergagang biru untuk telpon internasional itu tidak ada di kampus, tetapi di dekat stasiun kereta. Yang artinya berjalan kaki sekitar 20 menit atau panggil taksi yang  sangat mahal.

Karena disibukkan dengan kuliah dan berbagai tugas, untuk beberapa hari saya lupa dengan Pak Bambang, dan juga lupa dengan ekspresi wajahnya ketika memandang telpon. Pada hari ke 3 setelah kedatangan Pak Bambang,  Wati mengajak saya menemuinya.  “Kita gak lama-lama ya, soalnya aku mau nelpon keluargaku di Jakarta. Anterin ya,” kata Wati. Saya pun mengiyakan.  Pak Bambang sedang minum teh  sembari menonton TV ketika kami datang.  “Wah ada tamu istimewa,” katanya gembira. “Gimana Pak, sudah mulai kerasan?’ tanya Wati. “Kok gak ada nasi ya mbak, susah makan saya,” katanya. “Ya sudah besok saya bawakan nasi goreng ya pak,” kata Wati, yang memang jago masak dengan tersenyum manis. Masakan Wati, perempuan tinggi langsing berumur 30an, selalu enak.  Dengan bahan yang seadanya, Wati selalu berhasil menghidangkan masakan Indonesia: sayur lodeh, gado-gado, soto, lumpia goreng dan seterusnya. Pak Bambang tersenyum gembira.  

Sesuai dengan janji saya pada Wati, kami tidak berlama-lama di tempat Pak Bambang. Setelah hari  mulai gelap, kami berpamitan. “Kami pamit ya Pak,” kata saya, sambil menerangkan bahwa kami mau menelpon ke Indonesia. “Telpon ke Indonesia?” tanya Pak Bambang. “Iya Pak, “ jawab saya. “Lho bisa ya telpon ke Indonesia?” sambungnya seolah kurang yakin. “Jadi saya bisa bicara dengan istri saya di Yogya ya? Ah saya ikut ya, saya juga mau telpon.” Jadilah kami bertiga berjalan menuju stasiun. Wati menerangkan bahwa untuk menelpon ke Indonesia diperlukan koin, dan biayanya cukup mahal. “Waduh, saya ndak punya  koin mbak,” katanya. “Nanti saya pinjami dulu Pak, gampang,” kata Wati. Saya senggol lengan Wati. Sambil berbisik saya menanyakan, apa dia cukup punya uang? Wati kembali berbisik, menyampaikan bahwa dia membawa 20 pound dalam bentuk koin. Jadi aman.

Untunglah, tidak ada antrian saat kami sampai di depan pesawat telpon.  “Saya dibantu ya, ini caranya gimana?” tanya Pak Bambang. Wati dengan sigap mengambil gagang telpon, meminta nomer rumah dan menghubungkan dengan Yogya. “Monggo Pak, nah ini koinnya dimasukkan ya,” kata Wati menyerahkan gagang telpon dan memasukkan   5 pound sekaligus. PaK Bambang dengan wajah sumringah memegang gagang telpon dan  terjadilah percakapan yang tidak bisa saya lupakan:

 “Bu Bambang…. Haloo.. . haloo bu Bambang? Iki Pak Bambang..” Pembicaraan berlangsung dalam tempo yang lambat, setiap kata diucapkan dengan suara keras namun perlahan: h a l o o.. sehingga memakan waktu setidaknya 2 menit. Saya dan Wati berpandangan, karena khawatir koin tidak cukup. Entah apa yang diucapkan bu Bambang di Yogya sana, tetapi Pak Bambang mengulang kalimatnya dan tiba-tiba telpon berbunyi “tuuut …tuut,” tanda koin hampir habis. Pak Bambang terlihat bingung, Wati dengan sigap  memasukkan 5 pound lagi. Wati mulai terlihat gelisah, wajahnya yang manis dengan rambut model bob mulai manyun. Betapa tidak, 10 pound sudah habis.  Meski pun demikian percakapan antara Aberystwyth dan Yogya tidak mengalami kemajuan.

“Iyo iki Pak Bambang .. seko Inggris .. lho tenan iki, … bu Bambang.?? ..”  terdengar suara Pak Bambang meyakinkan istrinya bahwa yang menelpon adalah suaminya. Semua kalimat masih diucapkan dengan nada lambat, menghabiskan waktu bermenit-menit.  Dengan wajah mulai cemberut Wati sibuk memberi isyarat supaya Pak Bambang segera menyelesaikan percakapannya. Saya juga ikut memberikan berbagai isyarat mendukung Wati. Tetapi nampaknya Pak Bambang tidak mengerti. Kembali terdengar kalimat yang sama:

“Lho kok ora percoyo, to..  iyo..  iki Pak Bambang.  Iki aku bu… … iso  telpon seko kene …, iyo…” Wah tidak ada perubahan nih, pikir saya, dengan rasa was-was, jangan-jangan sebentar lagi perlu koin lagi padahal Pak Bambang belum sempat memberi kabar, bahwa dia sudah sampai di Inggris dan  dalam keadaan baik-baik. Dan benar saja,  Wati terpaksa memasukkan 5 pound lagi. Saya sudah geregetan, ingin rasanya gagang telpon saya rebut dan menjelaskan kepada ibu di Yogya itu, bahwa telpon ini mahal, dia harus percaya teknologi sudah memungkinkan adanya pembicaraan antar benua. Tapi rupanya kegelisahan saya tidak tertangkap oleh Pak Bambang.

Tetap saja saya mendengar suara bariton pak Bambang:

Tenan iki Pak Bambang, seko Inggris, lho ko ora percoyo… tenan....” dan 5 pound terakhir pun habis, pembicaraan terputus. Pak Bambang kaget dan bengong, heran mengapa sudah putus padahal belum bicara apa-apa. Wajah Wati merah, menahan kejengkelan karena uangnya 15 pound sudah habis sia-sia.  Saya memalingkan muka dan menekan  perut agar tidak pecah ketawa saya. Bagaimana tidak, di depan saya ada laki-laki setangah baya yang jarang ke luar negri, memandangi pesawat telpon dengan kecewa, tidak paham apa yang terjadi;  dan di sampingnya berdiri Wati yang kejengkelannya sudah naik ke ubun-ubun. Karena jatah telponnya sudah diambil Pak Bambang, yang tidak bisa berdialog dengan istrinya.

Walhasil, sore itu, baik Pak Bambang dan Wati sama-sama tidak bisa melepas rindu melalui telpon. Sejak saat itu, setiap kali saya melihat pesawat telpon betrwarna biru, saya selalu teringat peristiwa dengan Pak Bambang dan Wati. “H a l o o o, b u B am ba n g?  I k I Pak B a m b a ng…. t e n a n…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.