"Jangan lari kalau ada anjing. Bisa-bisa nanti kau dikejar lalu digigit". Demikian yang selalu diingatkan Ayah dan pamanku.
Satu kukecil dulu di komplek rumah kami ada seorang lelaki yang biasa dipanggil Bang Mardi. Tadinya, dia bekerja sebagai pembantu di salah satu rumah dalam komplek—mungkin itu yang disebut sebagai ngenger. Kemudian, dia bekerja di luar dengan tetap tinggal di rumah tersebut. Pekerjaan terarkhirnya yang kuingat adalah sebagai supir helicak.
Pada suatu hari, Bang Mardi menemukan seekor anak anjing yang sakit. Entah di mana, mungkin dalam salah satu perjalannya dengan helicak. Dirawatnya anak anjing itu sampai sehat dan besar. Kalau tak salah anjing itu betina, melihat kenyataan bahwa dengan cepat ia beranak pinak.
Jumlahnya pun menjadi berlipat ganda. Tiap sore, saat Bang Mardi pulang dengan helicaknya, pasukan anjingnya selalu riuh menyambut dengan salakannya. Berlari girang sambal mengiringi jalannya helicak sampai tiba di tempatnya diparkir.
Rumah tempat Bang Mardi tinggal ada di bagian dalam kompleks. Namun, sebuah gang kecil menghubungkannya langsung ke bagian depan kompleks di mana rumahku berada. Pemandangan anjing-anjing yang beramai-ramai keluar dari mulut gang menyambut Bang Mardi adalah pemandangan harian. Aku suka dengan pemandangan itu, mereka terlihat seru.
Di depan rumahku ada sebentuk bundaran yang tersusun dari semacam conblock. Di bunderan itu kami anak-anak kompleks sering berkumpul. Main bersama, atau sekedar duduk-duduk santai ngobrol, seperti yang suatu sore kulakukan bersama temanku Ema. Kami duduk menghadap ke mulut kompleks. Situasinya, rumahku ada di sebelah kiri, dan gang ke rumah Bang Mardi ada di sebelah kanan agak ke belakang kami.
Saat sedang asyik ngobrol begitu, kami lihat helicak Bang Mardi belok masuk ke kompleks. Bersamaan dengan itu, dari arah gang terdengat salakan kegirangan anjing-anjing yang menyerbu keluar. Ema dan aku sigap berdiri.
"Jangan lari!" kataku pada Ema yang kulihat sudah siap tinggal landas.
Peringatanku tak didengarkannya. Pada saat yang sama, ayah dari Ema juga terlihat berjalan masuk ke kompleks. Ema langsung kabur ke ayahnya itu. Meninggalkanku yang berjalan perlahan ke arah rumah, sambil berusaha menenangkan hati yang mulai cemas.
Waduh, pikirku. Pada saat yang bersamaan ada rasa nyeri menusuk pantat kananku. Kusegera tahu itu pasti ulah salah satu anjing Bang Mardi.
Entah apa yang terjadi berikutnya, semua jadi tak jelas lagi bagiku. Yang pasti, ada berbagai keributan. Aku juga tak ingat bagaimana aku bisa lepas dari gigitan si anjing. Ayah lalu membawaku ke IGD RSCM. Di mana luka gigitan anjing itu dibersihkan, diobati, diperban. Aku juga disuntik.
"Kita lihat bagaimana kondisi Nina besok," kata dokter pada Ayah.
Di perjalanan, Ayah menguatkan mentalku. Menjelasakan apabila ternyata aku kena rabies, maka aku harus siap untuk disuntik di sekeliling pusarku. Dalam perjalanan pulang itu kami juga mampir di kantor polisi, untuk melaporkan kejadian yang menimpaku.
Di rumah dan di bunderan kulihat banyak orang kompleks dan teman-teman yang menunggu kepulanganku. Banyak yang penasaran dengan lukaku, dan heran karena aku terlihat santai. Dengan santai juga, kuangkat rok-ku dan menurunkan sedikit celana dalamku untuk mempelihatkan luka yang diperban—perbannya tidak kubuka. Sempat kulihat beberapa anak laki-laki cekikikan. Dasar anak-anak! Kuyakin mereka pasti pakai kesempatan itu untuk ngintip celana dalamku (awas ya kalian, kalau kita reuni lagi, akan kuceritakan lagi kelakuan kalian ini hahaha...)
Kejadian ini mengguncang ketenangan kompleks. Kalau tak salah, akhirnya anjing-anjing itu sebagian besar atau mungkin semua lalu disingkirkan. Entah ke mana, entah bagaimana; kumerasa sebaiknya aku tak tahu. Di sudut hatiku, setiap kali mengingat mereka, selalu muncul rasa sedih. Kasihan sebenarnya…
Dari kejadian ini, aku makin yakin bahwa kata-kata Ayah dan paman sangat benar. Sudah seharusnya kita tak lari bila ada anjing. Bisa-bisa kita digigit. Yang sulit adalah, bagaimana caranya membuat teman seiring kita juga tak lari. Ia tak peduli, kita yang digigit. Duh… =^.^=