Kangen Jakarta

Wow sudah seratus delapan puluh hari kita tidak jumpa, tidak ribut, tidak bercanda juga tidak minum kopi bersama sambil menunggu kopi hitam pesananku kuseruput tanpa sisa juga menunggu ritual sebat yang akhirnya berbat-bat baru selesai.
Matahari sudah mulai menyengat, sepertinya dia telah mencuri start dariku, hingga pagi ini dia berhasil membuat eksotis dan sedikit manis wajahku.
Aku tambah kecepatan agar aku masih bisa menghirup segarnya udara sekitar Ragunan juga menyusuri jalanan menuju Kebagusan yang belum terlalu padat.
“Selamat pagi kamu, ngebut amat nyetirnya. Mau kemana sih?”
“Mau tahu saja kamu. Sudahlah tugasmu menyinari bersama pagi, tidak usah ganggu aku!”
“Loh bukannya dalam do’amu maunya ditemani aku terus?. Bahkan jika senja sudah mau pamit, kau tetap memintanya untuk tinggal?”
“Ya namanya juga manusia, kadang begini maunya begitu.”
“Manusia?. Atau kamu saja?”
“Manusia…”
Entah apa penyebabnya, hatiku tiba-tiba berbunga-bunga. Padahal tanggal gajian masih lama, uang di dompet makin tipis, Kartu ATM sudah tidak bisa digunakan dan aku harus banyak menelan ludah agar perut tetap kenyang sebelum jam makan siang tiba.
Jam delapan kurang delapan menit, setidaknya angka yang tercatat di bill parkir membuatku tenang. Artinya dalam hitungan tidak lebih dari delapan menit aku harus tiba-tiba di depan mesin absensi. Sebetulnya sih bisa saja agak kesiangan sedikit, tapi kalau melihat angka merah di raport absenku, kok rasanya ada yang tidak elok dilihat.
“Selamat pagi kamu, tumben pagi-pagi sudah berkeringat. Kesiangan ya?”
“Mau tahu saja. Sudahlah tugasmu bukan memperhatikan aku, tidak usah ganggu aku!”
“Loh bukannya dalam do’amu maunya aku temani terus?. Bahkan jika senja sudah mau pamit, kau tetap memintaku temani minum kopi?”
“Ya namanya juga manusia, kadang begini maunya begitu.”
“Basa-basi maksud kamu?”
“Bukan, hanya sekadar mencari cara saja.”
“Untuk?”
“Mau tahu saja kamu.”
Dru dari dulu benci dengan Jakarta.
Bahkan sempat bersumpah serapah, seumur hidupnya tidak akan pernah mau injak Jakarta.
“Nih ya, kalau nanti aku kerja. Maunya di Bandung saja.”
“Memang kenapa sih Dru, kan kamu bisa tengokin aku kalau kerja di Jakarta?”
“Tengok saja boleh lah. Tapi kalau cari uang di sana . No way. Ya macet, ya panas, ya ribet, ya rebut, ah pokoknya no way.”
“Awas loh Dru, tahu-tahu kamu jatuh cinta.”
“Dih, Bandung is the best. Yang ada kamu kali Met yang tidak pernah bisa lupakan Bandung.”
Dru lupa persisnya kapan dan apa alasannya.
Tiba-tiba Dru menjadi keranjingan untuk memuji Jakarta. Dan sekarang, dua tahun sudah Dru menikmati indahnya Jakarta.
“Gue tunggu di Sagaleh ya.”
“Ih nyebelin kamu Dru, baru tahu PIM aja sok banget langsung ajak nongkrong.”
“Ya bukan begitu Met, Sagaleh kan murah meriah, jadi aku masih bisa traktir bergelas-gelas kopi buat kamu.”
“Alah, masih saja pelit kamu.”
Perjalanan dari kantor menuju PIM hanya perlu dua puluh menit menggunakan ojek dari TB Simatupang.
Dru jarang belanja sebetulnya. Karena menurut Dru PIM ini bukan untuk belanja tapi untuk tempat refreshing atau sekadar luapkan emosi ke dalam tulisan. Di sini Dru bisa berjam-jam nulis tentang segala hal yang dirasakan Dru atau sekadar luapkan emosi ketika sangat rindu dengan Bram dan bisa segera bergegas balik ke kantor jika Bram tiba-tiba tanya posisi Dru.
“Kamu dimana sih?. Jam sepuluh sudah tidak ada di kantor?”
“Aku di sini.”
“Iya di mana?. Di taman?”
“Iya di taman.”
“Aku kesana.”
Dru masih cemberut. Dru bingung dengan apa yang dirasakan. Kenapa Dru harus marah, harus kesal dan bahkan harus cemburu toh Bram bukan siapa-siapa untuk Dru.
Lalu kenapa juga Bram harus nyusul, apa urusannya?
“Kamu dimana sih?. Aku di taman kok kamu tidak ada?”
“Aku di pojok, deket kolam.”
“Hah kolam? Sejak kapan kantor kita ada kolam?. Kolam dekat mushola?”
“Bukan, mushola mah di lantai dua deh kayanya, aku di atas.”
“Kamu ini di taman mana sih?”
“Taman-tamanan di Sagaleh.”
“Ya salam, Druuuuuuuuuuuuu”
Dua tahun Dru di Jakarta, dua tahun pula Dru mengenal Bram.
Dru paling benci sama Bram, tingkahnya yang sok cool kadang minta dijambak sama Dru. Hingga suatu hari Dru pernah bersumpah serapah, amit-amit jabang bayi, kalau sampai punya pacar kaya Bram, banyak ngelus dada kali ya, ya cuek, ya dingin, ya nyebelin.
Tapi seperti yang disampaikan sama Metta. Hati-hati membenci sesuatu, yang ada kamu malah jatuh cinta.
“Dru, lepas dari Ambon, kamu langsung ke Bandung saja. Tiga minggu keliling kamu perlu istirahat.”
“Oke Bram, tidak ada meeting kan setelah itu.”
“Belum, paling review saja nanti. Itu juga minggu depan saja. Biar kamu tidak terlalu lelah ya Dru.”
Ah Bram, aku itu tidak lelah kalau untuk bertemu kamu. Satu sisi aku senang bisa istirahat sebentar, sisi lain aku sedih karena rupanya sampai hari ini pun kamu tidak pernah simpan rindu untukku.
Bram tidak pernah tahu jika Dru sudah menaruh hati jauh sebelum ritual pagi dibuat menjadi rutinitas oleh Dru.
Bram juga tidak tahu jika Dru sering menyengaja seolah tidak sengaja agar Dru bisa berlama-lama menatap Bram.
Bahkan Bram tidak tahu jika ada banyak hal yang Dru sembunyikan agar Dru dapat wujudkan mimpinya.
Pesan singkat sampai di iphone jadulku.
“Dear all, karena penyebaran Covid yang semakin tinggi maka dengan ini kami sampaikan bahwa mulai hari Senin, aktivitas kantor tetap berjalan seperti biasa namun dikerjakan dari rumah masing-masing alias WFH.”
Duh, kok WFH. Padahal tiga minggu tidak bertemu Bram rasanya menyiksa sekali. Semoga WFH nya tidak berlama-lama.
Seminggu, dua minggu. Sebulan dua bulan.
Hampir enam bulan.
Rinduku makin menggebu.
Rindu yang tidak bisa aku sampaikan, karena Bram tidak tahu jika aku selalu menantinya di setiap pagi.
Matanya yang seksi, senyumnya yang manis, tutur kata yang tertata rapi dan perlakuan tak sengajanya yang membuatku akhirnya jatuh cinta.
Bram tidak pernah tahu, jika aku selalu cemburu saat Bram bercanda dengan temanku. Bram tidak pernah tahu jika harum tubuhnya selalu melintas sampai otakku hapal dengan baik. Bram tidak pernah tahu jika yang membuatku semangat adalah dia. Dan Bram tidak pernah tahu jika yang membuatku jatuh cinta pada Jakarta adalah dia.
“Dru, apa kabar?”
“Hey Bram. Baik. Aku sangat baik.”
“Oh, dikira kamu sedang kesal.”
“Kok kesal?”
“Kesal karena di rumah terus. Kamu happy ya di Bandung?”
“Biasa saja sih Bram, toh kerja-kerja juga dan tidak bisa jalan-jalan juga. Tumben nih kamu telpon aku, ada project baru kah untuk kita kerjakan Bram?”
“Ada.”
Aku sudah mengira, tidak mungkin Bram hubungi aku kalau bukan soal pekerjaan.
Ah Bram, aku itu perempuan, bagaimanapun aku belum punya keberanian penuh untuk menyampaikan bahwa aku sayang kamu.
“Project apa Bram?”
“Hmm, project urgent Dru.”
“Oh, sudah biasa kan Bram, kalau pekerjaan kita suka datang tiba-tiba.”
“Iya, tiba-tiba. Tiba-tiba aku kangen kamu.”
“Eh, bagaimana Bram?”
“Kamu Dru, memang kamu tidak pernah merasakan ya?. Kalau aku suka sama kamu?”
“Suka?. Kamu suka aku?. Tahu lah aku, kalau tidak suka mana mungkin kita masih kerja sampai sekarang ini.”
“Duh Dru, bisa tidak kita tidak bahas pekerjaan. Aku sayang sama kamu. Ternyata lama tak jumpa kamu membuat aku ingat kamu terus. Dan ternyata aku jatuh cinta sama kamu.”
Wow, rasanya aku mau jumpalitan. Kuping masih normal, semua terdengar jelas. Hati deg-degan dan rasanya dunia bertepuk tangan menyaksikan adegan tadi.
Oke Jakarta, maaf ya kalau aku sempat tidak suka sama kamu.
Kali ini, aku mau kita bertemu. Bertiga.
Aku, kamu dan dia.
Aku kangen sama kamu.
#Bandung, 03 Agustus
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.