Bertemu di Bis. Berpisah di Terminal

Bertemu di Bis. Berpisah di Terminal

 

Pagi ini adalah pagi pertama Arka kembali ke kantor setelah tiga bulan penuh bekerja dari rumah. Meskipun tidak lagi perlu menglaju, perjalanan satu setengah jam menuju kantor yang selalu penuh kemacetan itu ternyata sangat ia rindukan.

 

Tiga hari yang lalu, di penghujung Jumat sore, Arka mendapatkan panggilan sang bos, Denny, yang memintanya kembali masuk kantor.

 

“Emang udah aman, mas?” tanyanya..

 

“Gak tau, ka… pokoknya kita balik ngantor lagi lah. Katanya sih protokolnya lebih ketat dari biasanya. Link yang tadi gue kasih itu lo klik aja, nanti akan nongol formulir pendaftaran untuk bisa kembali ke kantor. Jadi sistemnya, kita akan balik ngantor seminggu seperti biasa, lalu minggu depannya kita WFH lagi. Selama seminggu itu kita akan dapat kode unik yang gak boleh lo share dengan siapapun ya Ka. Kalau lo nekat dateng di minggu sesudahnya, perusahaan kita bisa kena sanksi.”

 

“Oke mas…”

 

Dan pagi ini, Arka mendapati suasana terminal tidak seramai saat masa-masa sebelum pandemi ini terjadi. Meskipun cukup ramai, para calon penumpang harus berdiri mengantre dengan tetap menjaga jarak aman, setidaknya seratus duapuluh centimeter. Rasanya seperti berada di sebuah pabrik, semua mengenakan atribut yang serupa tapi tak sama, masker yang menutupi seluruh mulut dan dua per tiga bagian hidung. Bahkan ada beberapa yang mengenakan berbagai jenis sarung tangan, mulai sarung tangan yang biasa digunakan saat bersepeda sampai sarung tangan bedah yang biasanya digunakan dokter atau tenaga kesehatan lain saat menangani pasien.

 

Hmmm.. ini ya new normal itu? Batin Arka dalam hati. Selama tiga bulan terakhir, Arka benar-benar membatasi bepergian kemanapun. Biasanya hanya untuk ke mini market depan kompleks untuk mengisi dompet yang semakin hari semakin tipis, atau belanja kebutuhan sehari-hari.

 

Campur aduk rasanya. Ada rasa senang karena mengalami lagi sesuatu yang sangat ia rindukan, namun juga ada rasa khawatir yang sulit sekali ditaklukan. Apalagi setiap jam empat sore, pemerintah selalu mengumumkan berapa jumlah pasien baru di hari itu. Meskipun tidak setinggi di beberapa negara, tetap saja jumlah pasien yang terus bertambah tidak membuat kurvanya melandai. Artinya, penularan antar manusia masih terus terjadi dengan kecepatan yang luar biasa.

 

Arka menghela nafas yang sedikit tertahan. Dibetulkannya letak masker yang menutupi mulut dan hidungnya.

 

Tiba-tiba datang seorang berpakaian seragam biru, mengenakan masker dan tameng wajah, membagikan nomor kepada para calon penumpang.

 

“Selamat pagi Bapak-Ibu! Nama saya Rudi, saya ingin meminta waktunya sebentar. Nomor yang tadi saya bagikan adalah nomor kursi bapak-ibu di dalam bis. Mohon untuk tidak berpindah duduk demi menjaga agar tidak terjadi penularan lebih lanjut di dalam bis. Terimakasih.”

 

“Wah, berarti kalau besok gue gak kerja, berarti kursi gue kosong dong…” Kata seorang perempuan muda yang berdiri di belakangnya. Arka menolehkan kepalanya dan tersenyum di balik masker.

 

“Ya kan mas?” tanya si perempuan itu meminta persetujuannya. Arka menganggukkan kepalanya.

 

Tak lama mereka masuk ke dalam bis, setelah sebelumnya di pintu bis mereka membersihkan tangan mereka menggunakan hand sanitizer, dan kemudian mengambil tempat sesuai nomor yang sudah ditentukan.

 

Setelah bis terisi sekitar setengahnya, pintu bis ditutup.

 

Mungkin perjalanan pagi itu menjadi salah satu perjalanan bersejarah bagi Arka. Jarak yang hanya limabelas kilometer ditempuh dalam waktu satu jam, karena selain macet, bis juga tidak bisa melaju terlalu kencang saat jalan lengang. Tak ada satupun penumpang yang mengobrol, hanya terdengar sayup-sayup lagu jaman baheula yang diputar supir bis bertubuh sedikit tambun itu.

 

“Mas, ngantor dimana?” tanya si perempuan muda yang tadi berdiri di belakangnya. Kini si perempuan itu duduk di bangku belakang di kursi yang diagonal arahnya dari kursi Arka. Awalnya Arka pikir ia menggumam karena Arka tak dapat memahami apa yang ditanyakannya di tengah deru mesin bis.

 

“Maaf?”

 

“Ngantor dimana, Mas?” tanyanya agak dieja.

 

“Oh, di Graha Niaga, Mbak.”

 

“Wah kita turun di halte yang sama dong. Saya di Sequis Center mas. Gedung sebelah. Saya Vonny, mas. Mas namanya siapa?”

 

“Arka.”

 

Sepanjang perjalanan satu jam itu mereka ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari soal pandemi, kebiasaan baru, sampai hal receh seperti interaksi dengan pengemudi ojek online. Menyenangkan sekali berinteraksi dengan orang dewasa lain selain mbak Prita dan mas Adi. Vonny terasa jadi sahabat dekatnya meskipun mereka baru berkenalan 40 menit yang lalu.

 

“Biasanya pulang jam berapa, ka?” tanya Vonny sembari memainkan telepon pintarnya.

 

“Malam sih… tapi ngga tau ya setelah kondisi new normal begini… kabarnya sih jam kantor juga dipersingkat.”

 

“Oooh gitu… ya kurang lebih sama ya. Aku juga biasanya pulang jam 5-6 sore, tapi sejak masuk kantor minggu lalu, jam kantorku diperpendek, sekarang jam tiga juga udah pada pulang ya…”

 

“Boleh minta nomor telfon kamu? Yang ada Whatsappnya ya?” tanya Arka.

 

Vonny menganggukkan kepalanya. Dan mereka pun bertukar nomor telepon.

 

Dan hari-hari Arka pun terasa lebih menyenangkan. Sejak Senin itu ia jadi punya kawan baru, seorang gadis yang kelihatannya cantik juga, bernama Vonny, berkantor di sebelah gedung kantor tempat Arka bekerja. Setiap pagi pun Arka terlihat lebih sumringah dan bersemangat. Ia juga berusaha agar tidak terlambat supaya bisa duduk dekat Vonny lagi. Untung saja sistem penggunaan transportasi umum mengalami perubahan, dia jadi bisa yakin Vonny akan selalu berada di belakangnya.

 

Selama Arka bekerja di rumah minggu lalu, dengan intensif mereka berkomunikasi via Whatsapp. Namun Vonny menolak untuk video atau audio call.

 

“Aku ngga suka ngobrol via video atau telefon. Ngga bisa melihat dan mencium bau tubuhmu… Buatku itu penting…” tulisnya pada salah satu pesan Whatsapp yang dikirimkannya ke Arka minggu lalu setelah beberapa kali Vonny menolak panggilan video atau audionya.

 

Jumat lalu tiba-tiba Vonny sama sekali tidak membalas pesan Whatsapp-nya. Selama akhir pekan menjelang Senin ini, Arka gelisah. Ia khawatir. Tapi juga bingung kemana harus mencari Vonny. Obrolan intens tiap hari selama satu minggu itu sama sekali tidak menyentuh soal tempat tinggal. Vonny terlihat mengelak setiap kali Arka menawarinya untuk mengantarnya pulang hingga sampai ke rumah. Apakah Vonny tinggal di perkampungan kumuh yang lokasinya berdekatan dengan terminal? Arka menepisnya. Vonny terlihat lebih ‘rapih’ untuk orang-orang yang berasal dari kampung kumuh. Wangi tubuhnya terasa berbeda, tidak kampungan, tidak norak apalagi nyong nyong. Semoga Vonny ngga papa ya…

 

Sesampainya di terminal, Arka celingukan. Tak ada sosok familiar itu.

 

“Von, kamu dimana?” tulisnya pada pesan Whatsapp. Centang satu. Artinya Vonny tidak membaca.

 

Arka masih memupuk harapan bisa bertemu lagi dengan Vonny pagi ini. Tapi sepertinya harapan itu pupus saat Arka mendapati ada orang lain yang berdiri di belakangnya, bukan Vonny.

 

Rudi, si pegawai terminal yang selalu menyapa ramah para penumpang bis terlihat menghampirinya sembari memberikan nomor tempat duduknya.

 

“Hai, Mas!” sapanya.

 

Arka menganggukkan kepalanya.

 

“Terasa lebih sepi ngga sih, Mas?” tanya Rudi.

 

“Lho kenapa?”

 

Rudi berjalan mendekat, matanya terlihat tidak seceria biasanya, “Iya, kemarin kami dapat kabar, beberapa penumpang bis ini terinfeksi virus itu… Dan ada yang sampai meninggal… termasuk mbak-mbak yang biasanya berdiri di belakang Mas….”

 

Arka tersentak. Dadanya berdegup sangat kencang, “Hah?! Meninggal?!”

 

“Iya mas… jadi minggu lalu ada salah satu penumpang bis ini yang sudah terinfeksi, tapi dia tidak mau mengungkapkan statusnya kepada kami. Sepanjang perjalanan dia sudah terbatuk-batuk. Ketika dia turun di terminal, tiba-tiba dia jatuh pingsan. Mas tau lah gimana orang kita kalau ada kejadian gitu kan, bukannya menjauh eeeh tapi malah mendekat… Akhirnya ada lima orang di bis ini yang tertular. Kami semua pegawai di sini langsung dites. Syukurlah hasilku negatif mas… yang kasihan, mbak-mbak yang duduk di belakang mas itu. Ternyata dia ada asma… kondisinya jadi memburuk dengan cepat. Kasihan ya…”

 

Arka tercenung mendengar cerita Rudi. Tanpa ia sadari, air matanya luruh…

 

“Mas dekat ya dengan Mbak itu?” Rudi mengatupkan dua tangannya, “turut duka cita ya Mas… Maaf saya ngga tau kalau mas sedekat itu…”

 

Arka masih belum bisa menjawab. Dia hanya membalasnya dengan gestur yang sama dengan Rudi.

 

Pertemuan mereka akan selalu ia kenang. Demikian pula dengan perpisahan yang tanpa ucapan selamat tinggal di terminal…

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.