Cafe The Elephant House

Cafe The Elephant House
Cafe The Elephant House

Kulihat jam tangan lawas pemberian mamiku. Jam menunjukan tepat pukul 15.00. Ku bergegas berjalan menuju George IV Bridge dan berenti di persimpangan. Kusentuh lampu penyebrangan khusus pejalan kaki, sambil menunggu tanda lampu hijau, kusempatkan menadahkan kepalaku ke atas langit sembari menunggu. Silaunya cahaya mentari bak gigi pepsodent yang putih cemerlang. Langit biru bersih tanpa noda awan. Angin sepoi-sepoi di pertengahan bulan September menerpa rambut hitamku. 

 

"Ahhh.. sungguh menyegarkan kepenatanku." Bisikku dalam hati. 

 

Terlihat trafik lalu lintas terlihat lancar dan beberapa anak sekolah berseragam keluar dari pintu gerbang sekolah dan berpencar ke tujuannya masing-masing. 

 

Kemudian lampu berubah warna dari merah ke hijau, sekejap berbunyilah sinyal suara dari lampu lalu lintas pejalan kaki yang menandakan boleh menyebrang jalan. Aku pun bergegas menyebrangi jalan raya bersimpang lima. 

 

5 menit kemudian tampak terlihat cafe mungil dengan cat merahnya yang menyala bak warna sang jago merah. Cafe itu bernama The Elephant House. Kucoba intip dari balik kacanya yang mengkilap, bersih tak berdebu. 

 

"Yess, ada tempat kosong!" teriak ku dalam hati. 

 

Lonceng kecil diatas pintu berbunyi nyaring saat kubuka pintu cafe itu. Kupercepat langkah kakiku menuju kursi kosong itu. Deritan kursi berbunyi saat kutarik kursi itu, dan ketika aku hendak duduk nampak papan kecil di atas meja, tertulis reserved. 

 

"Aaah… kecele nih" batinku kesal. Meja itu ternyata sudah di booking. 

 

Mataku secara refleks bergerilya mengamati ruangan dan setiap sudut cafe. Kupertajam lagi penglihatanku sambil berharap sebuah kursi kosong untuk diriku. 

 

"Nihil" desahku. Aku pun jadi makin kesal sendiri. 

 

Alunan merdu musik cafe yang bersenandung menjadi penghiburan sementaraku. Ku benahi syal jambon dengan motif bunga yang mulai berantakan dan kutepiskan poniku sambil merapikan tatakan rambutku. Lalu kumantapkan langkahku, kali ini menuju pintu keluar. Gagang pintu berwarna emas itu kusentuh dan kubuka, hingga kaki kananku menyentuh teras luar cafe. Separuh badanku mulai meninggalkan cafe itu. 

 

Kemudian…… 

 

Terdengar suara sayup-sayup dari arah belakangku. 

 

"Excuse me, I'm just 'bout to leave." Do you want to sit here?" Seorang pemuda dengan logat kental Skotlandia menawarkan kursinya padaku. Pemuda itu menyeret kursinya ke arahku dan mempersilahkanku duduk. 

 

" OHH.. Thank you so much! " jawabku cepat sambil tersenyum dan menunduk hormat ke arah pemuda tersebut. 

 

" You're welcome!" balasnya sambil tersenyum manis padaku. 

 

"Ohhh Gusti Allahku, rejeki nomplok anak sholeha" batinku dalam hati kecil. 

 

Tanpa sepengetahuanku, ternyata beberapa pengunjung mengantri tepat di belakangku. Beberapa diantaranya tersenyum kecut padaku sembari melontarkan mata mereka ke arah kursi yang hendak aku duduki.

 

"Hmm.. kasian deh lu, engga kedapetan tempat duduk" batinku gembira, segembira orang yang habis menang lotre.

 

Jaket kulitku yang berwarna coklat muda, kuselampirkan ke kursi antik. Kudapati menu Patisserie dengan aneka minuman hangat dan dingin di atas meja. Seperti biasa aku memesan cranberry scone dengan selai stroberi serta clotted cream dan cafe latte. Kuroggoh dompet mini dari dalam tas hitam kulit yang kubeli dari Santorini dan kuberikan uang kertas 10 poundsterling ke pelayan yang berada di belakang kassa. Seorang gadis langsing, berambut merah dengan senyum yang lebar dan bersuara ramah. Dia mengembalikan beberapa recehan di tangan kananku. Tepat di samping kanan kassa ada sebuah toples bening dengan tulisan tips. Kontan kumasukkan recehan tersebut ke dalam kotak itu.

 

"Beramal sedikit ahh, kan barusan dapet rejeki kursi kosong dan servis ramah pelayan". Batinku. 

 

"Thank you!" seru gadis langsing berambut merah dari belakang kassa itu tersenyum ketika recehan masuk ke dalam toples tips.

 

Kulemparkan senyum manisku membalas senyumannya sambil menganggukan kepalaku. Aku berjalan menuju meja bundar kecil berwarna coklat tua setelah menerima pesananku. Ku angkat kursi antik itu dengan hati-hati tanpa membuat deritan suara kursi, kemudian duduk menyeruput caffe latte hangat yang sudah kucampur dengan brown sugar

 

"Hmmm…. nikmatnya kopi ini" kataku sambil melepaskan rasa penatku. 

 

Meja dan kursiku pas menghadap ke arah jendela luar. Di seberang jalan aku bisa melihat Grevfriar Kirkvard. Nama yang menurutku cukup keren ini sebenarnya adalah nama sebuah komplek kuburan yang di bangun di abad ke 15. Letaknya kuburan persis di ujung sisi selatan, tak jauh dari kota tua Edinburgh. 

 

Ku iris cranberry scone menjadi dua, ku oles dengan clotted cream dan selai manis stroberi. Aroma manis dan harum khas stroberi dengan paduan serasi rasa gurih dari clotted cream hampir meneteskan air liurku. 

 

"Hmmm… enaak banget scone ini." Bisikku sambil memejamkan mataku saat aku menikmatinya.

 

Ku santap scone-ku seiris demi seiris. Ku lontarkan pandanganku ke arah kuburan lawas itu bak seorang J. K Rowling yang sedang termenung dan berhayal akan Harry Potter. Terlihat beberapa nisan tua berwarna kelabu yang mengusik pandanganku. Pikiranku di sore ini pun berhayal ke alam khayalan bak seribu aneka dongeng anak, terlintas dan berjalan seperti adegan pemutaran film action di benakku. 

 

"Bisakah aku menulis?" tanyaku dari hati lubuk kecilku.  

 

Pertanyaan yang sama terucap oleh J. K Rowling saat dia duduk di kursi antik berwarna coklat tua dengan meja mungil itu. Kursi dan meja yang sama saat aku duduk termenung menatap kuburan Grevfriar Kirkvard. Membayangkan misteri dan cerita di balik kuburan di abad ke 15. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.