Selagi Bisa Memeluk

Jangan tanya apapun pada Ninik, karena dia pasti sudah lupa kejadian pada detik terdekat dalam hidupnya, tapi coba tanyakan tentang kisah masa lalunya hampir semua dia ingat. Jadi saya berkesimpulan Ninik hanya ingin hidup di masa lalunya untuk saat ini. Dia nyaman dengan kehidupan dan semua kisah masa lalunya, membuatnya bahagia. Sangatlah gampang duduk berhadapan dengannya sambil mengerjakan apapun pekerjaan rumah bersamanya sambil mendengarkan Ninik bercerita tentang kisah yang sudah diulangnya jutaan kali, atau mendengarkan dendang lagu jaman lampau dari bibirnya yang selalu merona karena gincu.
Seperti pagi ini, saya duduk di hadapannya sambil menikmati secangkir kopi, Ninik bercerita tentang saudaranya yang sudah lama meninggal. Dalam benaknya saudara yang dia ceritakan itu masih hidup, dengan semangat dia bercerita seluruh detail kejadian yang masih membekas di ingatannya.
"Besok kalau kamu senggang, bonceng Mamak ke rumah Bibi Sulatmu, ya. Buatin dia kue, sama es campur ... dia suka sekali," ujarnya dengan mata berbinar.
"Siap, beres. Pokoknya Mamak sehat biar kita bisa pergi naik motor ke sana," balas saya sambil tersenyum.
Saya paling tidak tega bila membuyarkan angannya tentang kunjungan ke saudara tercintanya, walau sebenarnya ingin berujar bahwa bibi Sulat yang ia sebut itu sudah lama sekali meninggal.
"Sini, kalau cuma potong kangkung Mamak sih, masih bisa. Masa kamu gak percaya? Biar Mamak yang potong, kamu beresin yang lain," pintanya dengan antusias.
"Iya sudah, Mamak yang potong, ya. Jangan pendek banget, ntar hancur kalau dimasak," sahut saya sambil berlalu.
Di dapur mulailah saya sibuk dengan segala macam bumbu. Berperang dengan merica, ketumbar, jinten, kayu manis, pala dan semua pasukan rempah. Persiapan untuk membuat bumbu gulai.
Cuma gulai sekedarnya, karena besok adalah Idul Adha, jadi patutlah menyiapkan hidangan istimewa untuk pagi harinya setelah sholat ied.
Langkah pelan mendekati saya. Saya tahu itu langkah kaki Ninik. "Ini kangkungnya," ia berujar sambil menyodorkan wadah plastik padaku.
"Siipp makasih, ya. Mamak duduk di depan aja jangan di dapur."
"Udah adzan, ya? Kok suara orang takbiran?" tanya Ninik dengan wajahnya yang awas mendengarkan suara takbir yang disetel dari masjid kompleks perumahan.
"Belum adzan, itu suara speaker dari masjid. Besok kan, lebaran haji, Mak," sahut saya santai sambil menggoreng ikan untuk persiapan buka puasa.
"Apa? Lebaran haji? Berarti sore nanti anterin gula, telur, terigu ke Bibi Sulat biar dia buatin kita bolu buat besok, ya," titahnya gelisah seperti teringat akan sesuatu.
Dulu, bila menjelang lebaran bibi Sulat adalah koki yang paling andal membuat kue, semua jenis kue bisa dibuatnya dan rasanya luar biasa enak. Terutama bolu sarang semut, itu kue terenak yang rasa karamelnya menyisakan rasa yang susah dilupakan. Jadi Ninik selalu mempercayakan bibi Sulat untuk membuat kue. Dan hari ini, Ninik merasa harus mengantarkan bahan kue agar dibuat oleh saudara terkasihnya untuk hidangan esok hari.
Karena saya sudah terbiasa dengan hal ini, maka saya menanggapinya hanya dengan senyum dan anggukan kepala. Akan menjadi terbiasa untuk melupakan apapun yang menjadi obrolan dengan Ninik karena sesaat kemudian dia pasti juga akan lupa.
Tapi tidak dengan hari ini, sejenak saya tertegun melihat wadah plastik yang penuh dengan rajangan kangkung yang tadi dipotong Ninik. Antara sedih, marah, emosi tertahan, ingin protes, tapi semua bermuara pada helaan napas dan tamparan keras pada diri sendiri, bahwa harusnya saya sadar Ninik sudah bertambah pikun. Daya ingat yang jauh menurun, melambatnya semua fungsi otak yang mengakibatkan Ninik jauh ditarik ke masa silam.
Hari ini adalah pembuktian, bahwa potongan kangkung yang ada di wadah plastik ini tidaklah sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan Ninik dari dulu. Bahkan Ninik adalah koki terhebat yang kami miliki. Dari tangannya akan tercipta banyak masakan yang sangat kami sukai. Untuk kami sekeluarga sangatlah susah berpaling dari masakan Ninik, apalagi Opung tak akan pernah sanggup makan di luar karena masakan Ninik adalah obat untuk segala letih dan lelah.
Potongan sayur adalah penentu indahnya sajian Ninik. Ada banyak standar untuk ini, setiap sayuran yang diolahnya memiliki ukuran tertentu untuk dipotong. Kacang panjang dan buncis haruslah dipotong miring agar tampak cantik. Sawi dan kangkung pun demikian, ada batas khusus pemotongannya, hingga saat disajikan di piring tampak cantik dan menggugah selera, bahkan potongan cabai untuk tumisan selalu dipotong miring. Entahlah, tetapi jurus dan rumus itu sudah turun temurun hingga saya pun menerapkan standar yang sama.
Tetapi tidak untuk kangkung yang dipotong Ninik hari ini, semua di luar standarnya. Tak pernah seumur hidupnya Ninik memotong kangkung seperti ini. Membayangkan saja saya sudah ngeri bila itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Mungkin amarah Ninik sendiri akan berkobar saat mendapati potongan kangkung seperti itu untuk di masak.
Saya menghampiri Opung yang duduk membaca di bawah pohon jambu.
"Opung, Mamak lupa bagaimana cara memotong kangkung, semua dirajang halus kaya bikin sayur urap," ujar saya terbata-bata menahan air mata.
"Iya, dia lupa. Masaklah kangkung itu, jangan lihat bentuknya tapi rasanya," sahut Opung dengan suara pelan.
"Bukan gitu, tapi Mamak beneran sudah lupa ya, Pung," sahut saya dengan suara yang sama pelannya dengan Opung.
"Sudahlah, kamu jangan marah, maklumi saja. Bersyukurlah kamu bisa ada di dekatnya untuk saat ini. Kamu bisa merawatnya dengan kesabaran, kamu bisa tetap melihatnya sepanjang hari, kamu bisa mendengar ceritanya, dengerin dia nyanyi, tetap bisa buatin dia kopi, terus kamu tetap bisa mendenger omelannya. Untuk saat ini, kamu yang paling beruntung dari semua anaknya. Jadi syukuri dan sabar ya, turuti saja maunya selagi kamu masih bisa memeluknya," ucapan Opung sangat menusuk hati saya.
Tak pernah ada yang mampu membuat saya menangisi rajangan kangkung, selain kenyataan bahwa saya adalah anak yang beruntung masih bisa menemani Opung dan Ninik di hati tuanya. Walau sebagai anak saya banyak kekurangan, bahkan emosi yang bermuara pada tangis dan sakit hati terpendam bila menghadapi sikap Ninik yang luar biasa.
Kenyataan bahwa Ninik sudah menjadi pikun, kondisi yang sangat jauh menurun membuat saya merasa tertampar. Apa yang sudah saya lakukan selama ini untuk kedua orang tua saya? Hanya ngedumel bila dia rewel, hanya bersungut bila dia sedang marah, bahkan mendiamkannya bila dia sedang emosi. Sungguh anak tak tahu diri, saya selalu merasa menjadi anak yang di posisi salah bila berhadapan dengan emosi Ninik.
Hari ini rajangan kangkung dan pesan Opung menyadarkan saya bahwa saya adalah anak yang beruntung bisa merawat Ninikk meski dengan segala keterbatasan.
***
Tengah malam saya terbangun, entah gelisah yang sangat sayup suara takbir dari masjid yang sangat jauh.
Beranjak dari tidur, seperti ingin menyempurnakan lebaran Idul Adha hari ini tangan sibuk berlumur tepung, cekatan menimbang butter, gula aren, membuat caramel, menikmati suara deru mixer di dapur sendirian. Hingga tersadar aroma karamel yang menyeruak dari dalam oven, bahwa tengah malam ini saya terbangun membuat bolu caramel untuk Ninik. Rasanya mungkin tak pernah sama dengan bolu karamel buatan almarhum bibi Sulat adik kesayangan Ninik, tapi saya membuatnya dengan cinta yang sama untuk Ninik.
Tengah malam ini saya benar-benar hanya ditemani suara takbir, melakukannya dengan cinta yang sangat untuk wanita yang juga sangat istimewa untuk kami.
Selagi bisa membahagiakannya, apapun itu akan saya lakukan.
Selagi bisa memeluknya, akan saya peluk dirinya dengan dekapan penuh kasih.
***
"Icil, kok ada suara takbir? Ini hari apa?" tanya Ninik menghampiri ke dapur.
"Ini lebaran Idul Adha, tapi kita sholat di rumah aja, ya," sahutku sambil menghangatkan masakan.
"Lebaran? Kalau gitu Mamak mandi dulu," ujarnya bergegas ke kamar mandi.
Hidangan tersedia di meja kecil tepat di bawah pohon jambu di depan rumah, tempat kami biasa berkumpul.
"Nik, cicipin bolu karamelnya," ujarku sambil menyodorkan piring kue.
"Kapan kamu ke rumah Bibi Sulatmu? Sehat dia? Hhhmmm ... rasanya enak sekali," sahutnya sambil mengunyah kue bolu.
"Ini kue terenak buatannya, dia paling pinter buat kue karena dulu dia yang selalu jadi asisten Nenekmu kalau buat kue. Semua kue dia bisa, bolu karamel ini paling enak buatannya," ujarnya mulai bercerita tentang almarhum adik kesayangannya.
Seperti biasa kami tak pernah sanggup membuatnya patah hati bila mengetahui kenyataan bahwa adiknya sudah lama tiada. Maka kami sepakat untuk mendengarkan ceritanya sambil menikmati hidangan diiringi suara takbir. Berikan kami waktu lebih lama untuk selalu bersama menikmati suara takbirMu, dengan apapun kondisi Ninik, saya sanggup menghadapinya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.