BUNGA UNTUK MANTAN

Tak terasa, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Kami berjanji bertemu di sebuah hotel di luar kota tempat favorit kami. Sosok pria yang mempesona hatiku saat masih kuliah dulu, nyatanya berjodoh denganku. Puji syukur tak terkira, ketika kami dipertemukan kembali dalam acara keluarga. Yang mana dia adalah anak dari saudara jauh ibu. Kami beda canggah. Pertemuan pertama di perpustakaan kampus kala itu, menyimpan rasa tak biasa ketika akhirnya mengetahui, dia ada hubungan kekerabatan denganku.
Empat tahun umur pernikahan kami. Kami dikaruniai seorang putri yang lucu. Cika nama balita itu. Bayi umur tiga tahun yang menggemaskan, menambah romansa bahagia pada keluarga kecil kami. Sepanjang jalan, dia berceloteh riang tatkala detik-detik bertemu papanya, akan terjadi. Beberapa pesan masuk dari Mas Aris, cukup membuat alis bertaut. Ah. Aku terkikik. Sepertinya dia ingin malam yang romantis.
***
“KITA PISAH!”
Kata pertama yang kudengar dari Mas Aris saat bertemu di kamar hotel terasa menggelegar. Bagai petir yang menyambar, meluluhlantakkan hatiku yang sudah berbulan-bulan tak bertemu. Berbagai khayalan akan kesenangan yang akan kami dapatkan karena rindu akhirnya tersampaikan, tiba-tiba musnah. Tak tersisa.
Ya, hari ini adalah hari pertama setelah kami berpisah jarak karena pekerjaan. Kami adalah pasangan long distance marriage. Mas Aris di Jakarta bekerja sebagai Manager Proyek dari sebuah perusahaan kontruksi dan aku di Malang sebagai banker. Pekerjaan yang menyita waktu membuat kami sepakat bahwa setiap dua atau tiga bulan sekali kami meluangkan waktu untuk bertemu. Seperti yang lalu-lalu, kami bertemu di hotel favorit kami di Surabaya. Waktu yang sedikit, harus menjadi waktu yang berkualitas untuk kami.
Namun, kali ini memang ada yang berbeda. Mas Aris berpesan ketika bertemu di kamar, tak ada Cika, anak kami. Kukira hal itu karena ingin waktu berdua yang lebih intim. Namun nyatanya, jauh di luar praduga.
“Ta-tapi, kenapa Mas? Tidakkah kau rindu dengan kami? Dengan putrimu? Putri kita?” tanyaku termangu. Aku masih tak percaya mendengar kata perpisahan darinya. Aku merasa semua baik-baik saja, meski memang waktu bertemu tidak seperti keluarga yang normal.
Sudah tiga bulan kami tak jumpa, tiba-tiba Mas Aris berkata tentang talak. Aku merasa duniaku runtuh. Ada apa gerangan? Untungnya di lobi, Cika belum bertemu papanya. Seandainya sudah, mungkinkah masih membicarakan hal yang sama?
“Aku sudah tidak bisa Anita. Maafkan aku. Aku sudah tidak merasakan cinta lagi terhadapmu jadi kita sudahi saja pernikahan ini."
Kata-kata yang keluar dari mulut Mas Aris seperti sesuatu yang tak pernah kuduga. Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu sementara dia sangat tahu, bahwa kondisiku memang seperti ini jauh sebelum ijab terucap.
“Maksud Mas apa? Bukankah kau sudah tahu di awal jika aku anak tunggal dan aku harus menemani Bapak karena ibu sudah tidak ada. Kamu juga paham, jika bapak tidak bersedia ikut ke Jakarta karena di sinilah tanah leluhur ada. Dan aku menjadi PNS juga, sebelum kita menikah. Kau sudah tahu juga jika ada ikatan dinas yang mengharuskan 10 tahun awal pengangkatan tidak bisa mengajukan mutasi. Lalu kenapa sekarang kamu jadi begini? Ha?!” Panjang lebar perkataanku membuat air mata semakin mengucur deras. Aku tetap masih tak percaya dengan keadaan yang tak pernah disangka.
Meski sikapku penuh deru yang bertumpah ruah, tapi sikapnya tak menunjukkan kelembutan. Dia seperti sudah tak peduli lagi pada diri ini yang benar-benar terlihat hancur. Terkejut luar biasa.
Sebelum aku bangkit kembali untuk melanjutkan perkataanku, aku melihat ponsel Mas Aris menyala. Mas Aris buru-buru mengangkat telepon dan menjauh dariku. Entah kenapa aku merasa Mas Aris berbeda, apakah ada yang lain? Sungguh aku tak mampu membayangkan jika sekilas pikiran buruk yang baru saja muncul dari alam bawah sadarku, adalah kenyataan pahit yang harus aku hadapi.
“M-Mas, ada Cika di kamar sebelah, tak maukah kau meme ….“ Aku mencoba berpikir positif dan menganggap hal yang baru saja terjadi hanya fatamorgana semata lalu tersadar dan melihat Mas Aris ternyata masih waras. Namun, ternyata ….
“Cukup Anita!” Mas Aris tiba-tiba memotong kata-kataku dan dia melanjutkan.
“Jangan sekali-kali menyebut nama Cika, biarlah dia hidup bersamamu. Aku akan bertanggungjawab untuk tetap menafkahi hidupnya setiap bulan lima juta. Namun, tolong jangan coba-coba kau ubah keinginanku untuk berpisah denganmu hanya karena alasan Cika!”
“Tolong segera tanda tangani ini, aku harus segera kembali ke Jakarta, besok pagi jam tujuh, jadwal penerbanganku dari Surabaya. Dan sekali lagi, aku tidak mau bertemu Cika. Hak asuh anak sepenuhnya kuserahkan padamu. Namun aku sepakat, setiap bulan aku sanggup mentransfer lima juta untuknya.”
Dokumen dengan map bewarna kuning cerah itu jatuh di kakiku, warna kuning yang menjadi warna favoritku ternyata menjadi saksi hancurnya hidupku.
Dengan masih bertahan dengan sisa kekuatan yang ada dalam diri, kuberanikan melihat matanya dan bertanya, “Mas, apakah ada wanita lain?”
Seketika Mas Aris membeku. Dia diam menatap jendela kamar yang dipenuhi rintik hujan. Dunia seakan mengetahui isi hatiku. Awan mendung menghiasi langit seperti hiasan bewarna kelabu yang menyelimuti kalbu, pilu. Mas Aris masih bergeming dalam diam.
Rasa di dalam dada ini meronta-ronta seperti badai yang siap menerjang di pantai yang tenang. Aku masih menunggu penjelasan darinya yang mungkin saja menggemparkan jiwa. Sorot matanya tetap tajam memandang hujan. Aku melihat tulang rahangnya mengeras menghapus kelembutan hati dari suamiku yang kukenal. Lalu tiba-tiba melunak tatkala berbalik melihat ke dalam mataku.
"Kupikir, kau akan berubah, tapi ternyata belum. Kuakui aku pernah mencintaimu, tapi aku tak bisa menjamin itu banyak. Dan sekarang semua hilang begitu saja."
Kata-kata Mas Aris terdengar lugas. Keputusannya sepertinya telah bulat. Dia, tak sedikitpun bertanya tentang putrinya. Berulang kali pula bilang tak cinta dan tak mau bertemu dengan darah dagingnya lagi. Sementara selama dua bulan terakhir, sang putri terus mengoceh tentang ayahnya, karena rindu belaian sang bapak. Tapi, di saat hari itu tiba, raut ceria yang seharusnya menghiasi wajah mungilnya, sang bapak malah membuangnya dengan keras. Rasa rindu itu telah karam.
“Kita sudah berakhir Anita.”
Hanya itu. Satu kalimat yang keluar dari mulut Mas Aris, menjadi kalimat terakhir darinya hingga ketok palu hakim mengesahkannya.
Beberapa hari pasca kejadian di hotel, aku mendapat map dari detektif yang kubayar dengan harga tak biasa. Foto yang meyakinkan diri, memang sudah waktunya untuk pergi dan sadar diri. Mas Aris menggandeng mesra seorang wanita yang kuingat selalu berada di sisinya kala masih kuliah dulu. Gadis yang telah terpatri dalam hatinya mengalahkan seorang putri yang dia ukir sendiri. Gadis berkebaya merah maroon yang juga diwisuda di hari aku datang memberi sebucket bunga untuk Mas Aris.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.