Tenun Baduy Adu Mancung
Tenun Baduy motif Adu Mancung dan kisah imajinatif yang menyertainya. Selalu ada cerita di setiap helai benang kain tenun nusantara.

Barangkali saya termasuk yang beruntung memperoleh kain tenun motif Adu Mancung Full, yang dibawa oleh Dulur Baduy Dalam saya, Asmin, ke Jakarta pada sebuah kesempatan. Pun, dia hanya membawa dua helai kain jenis itu. Yang satu berwarna merah muda, satu lagi berwarna biru. Warna merah muda dan biru (seperti lirik lagu Balonku ya? Haha) itu, tepatnya adalah warna benang yang dominan. Keseluruhan kain sebenernya didominasi warna hitam.
Beberapa waktu kemudian, ketika saya dan seorang sahabat yang hobby fotografi memiliki kesempatan bertandang ke Leuwidamar, tak tahan saya meminta sahabat saya mengambil beberapa jepretan di lokasi dengan tanaman ilalang yang rimbun mengelilingi saung petani. Di kejauhan, sebuah pondok berdiri tegak bagaikan istana yang dikelilingi tanaman aneka bunga. Tentunya dengan kain tenun Baduy motif Adu Mancung itu sebagai aksen utama. Saat itu pagi hari, sinar matahari belum terlalu kuat intensitasnya menyapa kulit ari.
Kata-kata adalah perekam kejadian. Begitu yang selama ini kukukuhi. Maka, inilah narasi untuk Si Adu Mancung yang kini terbang singgah di Puri Bitera Bali.
Maka, kuletakkan hakikat cinta sedemikian rupa hingga memenuhi ruang hatiku. Memenuhi seluruh abjad dan aksara pada bahasa apapun yang kuucapkan berupa kalimat, anak kalimat, maupun kata-kata. Memenuhi seluruh sorot mataku saat pandangku menangkap seluruh bayangan makhluk pada retina mata. Memenuhi seluruh rentang frekuensi bunyi yang sanggup ditampung oleh sanggurdi dan gendang telinga. Memenuhi seluruh rasa dan segala nuansanya. Sebab aku selalu ingat kata-katamu kepadaku di tepian kolam biru bertetangga dengan tanamam bunga Lotus merah muda.
Begini. "Dhiajeng, satu-satunya hal besar yang menjadi ujian terberat di perjalanan ini adalah cinta".
Seluruh cinta mengejawantah pada sentuh semesta. Kita lah yang harus mengejanya masing-masing menjadi daya. Air. Api. Tanah. Udara. Berpelangi restu Ayah dan Bunda.
Adu Mancung. Kain tenun Baduy motif ini mengembarakan pikiranku pada puncak gunung. Puncak gunung adalah sebuah pintu gerbang api yang merah. Dialah mula pertama kehidupan, sebagaimana bunga mawar merah penanda kelahiran sebuah bintang.
Kain tenun suku Baduy, ditenun dengan hati dan bibir yang tak banyak mengeluarkan bunyi pada rentang frekuensi dengar manusia. Barangkali di sana bahkan ada doa-doa tulus untuk tetap bersatunya negeri tercinta ini pada sebuah keabadian.
Hitam, perlambang langit malam. Pekatnya hitam memungkinkan kita menatap bintang-bintang. Bintang yang tak henti berkelap-kelip, yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi. Bintang selalu setia menemani manusia dengan salah satu perannya sebagai latar belakang untuk bulan dan matahari. Bintang menyediakan dirinya untuk dibaca oleh manusia. Agar setidaknya manusia mengerti tentang waktu dan penanggalan. Masa. Kala. Titi wanci. Titi mangsa. Batara Kala.
Bukankan Tuhan pun dengan Kasih Sayang-Nya, berfirman tentang waktu? Wal Ashri?
Demi masa.
Sesungguhnya, manusia itu berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
serta saling menasihati untuk kebenaran
dan saling menasihati untuk kesabaran
Warna. Warna ada karena cahaya. Mata tak akan mampu membedakan warna tanpa cahaya. Cahaya hadir bersama dengan panjang gelombang dan frekuensi. Cahaya di bumi, lahir dari matahari. Matahari adalah bintang.
Kau lihat kan? Matahari adalah bintang. Lalu pesan Eyang sejak dahulu, adalah untuk mengamati tiga benda langit: Matahari, Bulan, dan Bintang. Srengenge, Wulan, Lintang. Sun, Moon, Stars. Raditya, Candra, Kartika. Maka itulah perlunya kita selalu mengerti tentang konteks. Saat mana Matahari adalah Matahari, dan saat mana Sang Raditya adalah bintang. Begitupun dengan diri pribadi dan hubungannya dengan Tuhan, sesama (sak padha-padha), dan semesta.
Adu Mancung mengingatkanku pada gunung. Gunung perlambang Bapa. Laut perlambang Biyung. Tuhan, kepada-Mu lah aku berlindung.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.