Gara-gara Fairuz!

Gara-gara Fairuz!

"Lo belajar nulis, Vi? Masih kurang sibuk lo?"
"Ngapain belajar nulis? Mau nerbitin buku?"
Itulah yg sering dilontarkan teman-teman saya saat tahu kalo saya bergabung di komunitas menulis dan belajar menulis secara on-line. 
"Ini gara-gara Fairuz!," jawab saya.
Siapa Fairuz? Dia adalah anak pertama saya. Hobinya menulis. Cita-citanya menjadi penulis. Karena itu dia belajar menulis, baik secara privat maupun bergabung dengan komunitas. Sekali pun dia sudah menerbitkan beberapa buku, tapi dia tetap belajar untuk memperluas wawasan dan menambah pengetahuan.
"Yah anak lo aja yang belajar. Ngapain lo ikut-ikutan mau nerbitkan buku?"
Saya belum sanggup menulis buku solo. Tapi dengan bergabung komunitas penulis, beberapa tulisan saya sudah terbit di buku antologi. 
"Ini gara-gara Fairuz!"
Setiap kali dia selesai menyusun buku, dia ingin bukunya diterbitkan. Karena dia selalu ingin orang lain membaca hasil karyanya. Dia sudah memiliki blog untuk memuat tulisan-tulisannya, tapi itu tidak cukup karena ia juga ingin orang tidak sekedar membaca namun memiliki bukunya. 
Saya tidak pernah berurusan dengan masalah penerbitan sehingga saya tidak tahu bagaimana prosesnya. Mau-tidak mau belajar lah saya mengenai hal itu. Saya kenali tahapannya, nama penerbit, isi perjanjian, dan segala yang berkaitan dengan penerbitan buku.
"Apa sih spesialnya tulisan anak lo?"
"Emang buku anak lo ada yang mau baca?"
Anak saya spesial dalam arti yang harfiah. Fairuz is a special need individual. Bukan individu difabel tapi adalah penyandang autisme. Hambatan dia terutama pada interaksi sosial. Temannya tidak banyak karena ia memiliki kesulitan memulai dan mengembangkan pembicaraan, dan mengenali komunikasi nonverbal.
Diagnosa autistik pada Fairuz baru saya dapatkan di usianya ke 13 tahun. Sebelumnya psikolog mendiagnosanya ADD, atau Attention Deficit Disorder - kesulitan berkonsentrasi. Namun setelah ia masuk sekolah, ia lebih mendapatkan kesulitan dalam pergaulan.
“Ini gara-gara Fairuz!”
Saya, suami, dan adiknya Fairuz harus menerima kondisi yang dimiliki Fairuz. Kita sama-sama belajar mengenai High Function Autism (HFA), dan bagaimana membantu Fairuz menjalani kegiatan sehari-hari. Selain itu, kita juga harus membuat jadwal konsultasi dengan psikolog, dan menerapkan terapi sesuai arahan psikolog. Semua sepakat menjadikan Fairuz sebagai individu mandiri yang mengenal kekuatan dan kelemahannya. Kita memasukkan HFA nya sebagai keunikan pribadi Fairuz.
Sekarang ini Fairuz sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri pilihannya. Dia juga yang menentukan jurusan dan peminatan di kampus tersebut. Minatnya menulis masih terus dikembangkan. Bahkan melalui menulis, Fairuz belajar berinteraksi dengan orang banyak. Ia harus berhadapan dengan orang banyak karena di saat peluncuran buku, ia sendiri yang harus menjelaskan isi bukunya. Lalu ia juga bertanggungjawab mempromosikan dan menjual bukunya. Di bulan peduli Autisme, jadwal Fairuz biasanya padat dengan berpameran, menjadi narasumber dan meliput kegiatan-kegiatan peduli autisme. Kalau sudah begitu, jadwal saya pun ikut menjadi padat karena harus menemaninya.
Ini semua gara-gara Fairuz!


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.