Pesan yang Tersampaikan

Dikayuhnya sepeda mini merah yang catnya sudah memudar itu dengan kecepatan tinggi, angin kencang tidak mampu membuat kecepatannya menjadi berkurang. Jilbabnya terbang bagai sayap burung, melambai ditiup angin kadang menyingkap hingga memperlihatkan rambut panjangnya yang dikepang satu.
Masih dengan napas terengah-engah wanita itu memarkir sepedanya di balik rimbun semak rumput gajah yang tinggi, sesuai petunjuk pesan yang diterimanya tadi pagi dari Mas Samuji penjual dawet suji di pintu masuk pasar. Tiap pagi Wulan selalu ke pasar untuk membantu Mbakyu Pur berjualan kelontong, Wulan bertugas membuka kios di pasar, sambil menunggu karyawan Mbak Pur datang barulah Wulan berangkat ke sekolah jadi hampir semua pedagang di pasar mengenalnya sebagai gadis cantik dan pintar adik bungsu Mbak Pur pemilik kios grosir terbesar di pasar desa itu.
Hingga pagi tadi saat Wulan memasuki gerbang pasar dia dipanggil oleh Mas Samuji, sambil menyunggingkan senyum
Wulan disodorkan kertas yang dilipat sambil berkata, "Nduk, ini daftar pesanan ya, nanti diambil jam 3. Jangan lupa ya jam 3 ditunggu, lho," ujar Mas Samuji dengan mata berkedip.
Sambil bengong Wulan menerima kertas itu, lalu sesampainya di kios dibukanya perlahan dan betapa terkejutnya Wulan saat membaca pesan yang tertulis dengan pensil yang sepertinya terburu-buru.
"Tolong datang ke ladang tebu paling ujung, sepedamu parkir di balik semak dekat kawat, jalan terus sampai dekat sumur. Abang ada di sana. Jam 3 sebelum adzan asar. Penting!"
Sungguh pesan yang membuat penasaran, tapi tak pernah ada lelaki lain yang Wulan kenal yang meyebut dirinya Abang kecuali seorang lelaki bernama Ali Usman. Tak biasanya Abang Ali mengajaknya bertemu sembunyi seperti ini. Jadilah Wulan tak tenang menunggu jam 3 sore seperti waktu yang dijanjikan untuk bertemu. Di sekolah Wulan banyak diam hingga membuat teman sebangkunya menjadi penasaran.
Jam 14.00 Wulan bersiap untuk pergi, dikenakannya jilbab yang biru panjang, dan dipolesnya wajahnya dengan bedak tipis, ia berputar di depan cermin untuk kesekian kalinya seolah memastikan penampilannya pantas untuk bertemu dengan Abang Ali, pemuda desa yang selama ini tinggal di masjid sebagai pengurus masjid dan mengajarkan anak-anak di desanya mengaji.
Selama ini tak pernah ada yang tahu bahwa Abang Ali dan Wulan sering ngobrol, biasanya mereka berjumpa pagi hari di pasar. Sebab bila berjumpa di masjid mereka berdua tampak seperti tidak pernah akrab. Wulan dan beberapa pemuda di desanya juga aktif dalam mengurus masjid yang tergabung dalam himpunan pemuda masjid desa mereka. Abang Ali adalah ketua yang menjadi penasihat mereka semua. Tegur sapa dan salam biasa layaknya orang dalam organisasi, tidak ada yang memperlihatkan bahwa mereka berdua akrab lebih dari sepantasnya.
Bahkan Abang ali yang terkenal pendiam lebih senang berkomunikasi dengan sesama pemuda daripada pemudi.
Tetapi kedekatan dan keakraban berbeda ditampakkan Abang Ali bila berjumpa Wulan di pasar, sapaan dan obrolan mewarnai perjumpaan mereka hampir tiap pagi. Bahkan tak jarang Abang Ali membantu Wulan membuka kios menemani Wulan sambil berbagi cerita sampai salah satu karyawan Mbak Pur datang. Dan semuanya mereka rahasiakan agar tidak menjadi bahan gunjingan di desa terutama teman-teman di organisasi.
Berusaha tenang Wulan pamit pada Ibu yang sedang merajut di ruang tengah. Tak perlu penjelasan panjang, Ibu memberinya ijin untuk pergi dengan alasan mau fotokopi tugas di kios Pak Hasan di ujung desa. Maka dengan cepat Wulan mengayuh sepeda menuju tempat yang sudah ditentukan dengan perasaan harap-harap cemas.
Sambil berjalan ke arah sumur, sesekali ditengoknya ke belakang untuk memastikan tak ada orang yang menguntitnya.
Sepi dan hening hanya suara angin dan gesekan daun pada dahan yang tertiup angin. Dari jauh tampak di dekat sumur tak ada orang, terasa menakutkan maka Wulan memperlambat langkahnya. Diliriknya jam tangan terlihat jam 13.45 WIB. Masih kurang 15 menit lagi dari waktu yang ditentukan oleh Bang Ali. Lega bahwa ia tidak terlambat dari waktu yang ditentukan.
Kurang dari 10 langkah Wulan sampai di dekat sumur, dari balik timbunan kayu di ujung ladang Abang Ali muncul sambil melambai dengan posisi badan membungkuk seolah tak ingin ada yang mengetahui keberadaan mereka. Terkejut melihat kemunculan Abang Ali, tetapi sekilas tampak senyum lega dari wajah Wulan.
"Sini ... cepat sini," lambaian tangan Ali sebagai penunjuk arah untuk Wulan.
Setengah berlari Wulan menuju tempat Ali duduk, sesampainya di dekat Abang Ali, Wulan ikut duduk sambil mengatur nafas.
"Udah lama? Maaf menunggu, tadi Wulan ke kios Pak Hasan dulu buat fotokopi biar Ibu gak curiga," ujarnya sambil menyodorkan setumpuk kertas putih.
"Gak apa, Abang baru sampai juga kok. Nih minum, kamu capek, ya?" ujar Abang Ali sambil menyodorkan botol air mineral pada Wulan. Tanpa basa-basi botol itu dibuka dan langsung diteguknya air dalam botol sampai setengah. Lalu ditutupnya dan diberikannya kembali pada Abang Ali yang duduk di sampingnya.
"Ada apa, Bang?" tanya Wulan setelah dia mampu menguasai diri dan mengatur nafas agar tenang.
"Abang mau ngomong, hari ini Abang mau pergi keluar kota. Mungkin akan lama, jadi Abang mau pamit dan mau menitipkan sesuatu pada Wulan," ujar Abang Ali dengan suara berat.
Wulan tampak kaget dan tak percaya dengan apa yang didengarnya, hingga masih melongo berusaha mencerna ucapan Abang Ali.
"Maksud Abang? Mau pergi meninggalkan desa? Gak kembali lagi? Abang mau kemana?" Pertanyaan yang beruntun diajukannya dengan intonasi suara terkejut dengan informasi yang baru didengarnya.
"Jangan nangis, Abang pasti kembali. Tapi selama Abang pergi Wulan harus tetap mengaji, urus kegiatan masjid dengan baik, belajar dengan rajin dan yang utama jaga ibadahnya, ya." Suara Abang Ali sangat menyentuh hati.
"Abang ingin Wulan tetep mengaji, carilah guru ngaji yang benar-benar punya ilmu yang luas, pahami semua ilmu dengan benar, Abang juga pengen Wulan kuliah seperti cita-cita Wulan mau jadi perawat, kan? Naah, jadilah perawat ya? Pergi keluar dari desa menuntut ilmu yang berkah," ucap Abang Ali panjang dengan menatap Wulan di hadapannya.
Keduanya duduk berhadapan di hamparan rumput di ladang tebu. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing.
Wulan merasa ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Abang Ali, maka tak terasa air matanya menetes tanpa bisa dibendung. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menikmati pertemuan ini dalam diam penuh dengan pertanyaan dalam hati apakah mereka bisa berjumpa lagi.
"Kapan Abang kembali? Abang mau pergi ke mana? Haruskah Abang merahasiakan kemana tujuan Abang pada Wulan?" ucap Wulan lirih sambil terisak.
"Insyaallah Abang kembali, dan kita bertemu lagi. Tapi Abang benar-benar tidak tahu berapa lama Abang pergi, doakan saja semoga kita bisa segera berjumpa, ya?" ucap Abang Ali lirih.
"Masa Abang gak tau tujuan Abang mau ke mana? Pastilah abang akan pergi ke suatu tempat. Wulan pengen tahu Abang ke mana." Masih dengan suara lirih di antara isak tangis.
Abang Ali di sampingnya hanya menghembuskan napas panjang, dia paling tidak tega melihat wanita menangis tetapi dia tidak bisa mengatakan sejujurnya ke mana tujuannya akan pergi.
"Bila ada kesempatan Abang akan memberi kabar, yang penting berjanjilah pada Abang Wulan akan melanjutkan sekolah, tetap taat pada agama dan jangan lupa doakan Abang, " kali ini Abang Ali mengucapkannya sambil menatap wanita di depannya.
Diambilnya tas punggung hitam di belakangnya, lalu dibukannya perlahan. Diambilnya tas kecil berbahan kulit dan diberikannya pada Wulan.
"Ini adalah barang pribadi Abang, di situ ada beberapa foto, ada beberapa surat penting yang Abang simpan, ada beberapa buku yang boleh Wulan baca, serta ada amplop cokelat itu uang tabungan Abang. Itu gaji Abang selama menjadi penjaga masjid Abang kumpulkan dan itu halal. Wulan bisa pakai untuk keperluan sekolah besok. Belanjakan apapun yang Wulan inginkan, Abang ikhlas. Tolong jangan ditolak," ujar Abang Ali sambil menyodorkan tas kulit pada Wulan.
Dengan masih terisak Wulan menerima tas itu, tak mampu dicerna apapun yang dikatakan Abang Ali dia hanya mampu mengangguk saat pemuda itu berbicara. Tak ada daya untuk berdebat karena Wulan merasa pertemuan mereka saat ini dikejar oleh waktu.
"Lalu yang terpenting, jangan pernah bercerita kepada siapapun tentang pertemuan kita ini, ingat untuk diam. Ini adalah rahasia kita berdua. Bila perlu lupakan kalau kita pernah berjumpa sore ini. Semua demi kebaikan Wulan. Abang percaya bila saatnya nanti, Wulan pasti akan mengerti maksud Abang," ucapnya penuh penekanan hingga suaranya menjadi terdengar misterius.
"Abang ... mengapa Wulan menjadi takut? Ada apa sebenarnya? Kenapa Abang pergi?" Masih dengan pertanyaan yang sama, tentang kebingungan dengan kepergian Abang Ali yang tiba-tiba.
"Jangan takut, bukankah Abang tidak berbuat jahat pada Wulan? Ketahuilah Abang memilih Wulan karena Abang tahu Wulan gadis baik, pintar dan sholeha. Mungkin Abang harus berani mengatakannya bahwa Abang suka pada Wulan. Jadi tolong Wulan jaga diri, belajar agama pada orang yang tepat agar bisa menjadi berkah dan menebar kebaikan, insyaallah kita akan berjumpa lagi," ujar Abang Ali yang sepertinya tak memiliki waktu lama sore ini.
"Abang ... Wulan harus berkata apa? Wulan juga sayang pada Abang, kenapa Abang harus pergi?" Isaknya sambil terus memegang tas kulit hitam pemberian Abang Ali.
"Satu hal lagi, apapun yang terjadi tolong rahasiakan tentang tas hitam ini, jangan sampai ada orang yang tahu, Abang titipkan semuanya dan semoga kita bisa berjumpa lagi. Jaga diri baik-baik ya, Wulan," ujar Abang Ali dengan suara berat.
Wulan masih terisak dan duduk membeku.
Menatap pria yang di depannya dengan tatapan nanar, entah apa yang dipikirkannya tetapi nuraninya berkata ia akan kehilangan Abang Ali.
"Sebentar lagi adzan asar, kita harus pergi tetapi tidak boleh bersama. Pergilah duluan, Abang menjagamu dari sini, setelah itu baru Abang," perintah Abang Ali tegas.
Sambil menghapus air matanya Wulan berdiri diam, lalu Abang Ali meraih tangan Wulan dan menciumnya sebagai tanda perpisahan. Tak ada yang mampu berkata, mereka hanya ingin menikmati pertemuan sore ini dalam diam.
"Kita masih berjumpa di masjid kan, maghrib nanti?" tanya Wulan sambil menunduk.
"Insyaallah," jawab Abang Ali.
Entah mengapa jawaban kali ini meyakinkan Wulan bahwa hal itu tak akan terjadi, hatinya berkata Abang Ali tak akan pernah muncul di masjid. Tak ada lagi suara adzan yang dirindukan Wulan, tak ada lagi suara kerekan timba yang selama ini menjadi musik terindah yang menemani Wulan di sepertiga malam. Karena suara kerekan timba saat Abang Ali mengisi penampungan air untuk wudhu selalu menjadi alarm sebagai penanda Wulan mengerjakan sholat malamnya. Tak pernah ada yang tahu bahkan Abang Ali sendiri tak pernah mengetahuinya. Selalu merasa berkah rumah Wulan berdekatan dengan masjid hanya dipisahkan oleh tembok maka apapun aktivitas masjid pasti terdengar jelas.
Kali ini dipuaskannya matanya untuk merekam sosok lelaki alim yang berdiri di hadapannya, pemuda yang sopan dan penuh wibawa, pemuda bijak dan baik hati yang selama ini diam-diam mengisi hatinya, ditatapnya dengan sedih sambil berdoa untuk keselamatannya.
"Semoga kita bisa berjumpa kembali ya Bang, jaga diri baik-baik dan doakan Wulan," ucap Wulan lirih sambil membalikkan badan dan berlari menjauh menuju semak untuk mengambil sepedanya.
Dikayuhnya sepeda dengan kekuatan untuk menjauh dari ladang tebu, tanpa menoleh ke belakang, tas kulit hitam di taruhnya di keranjang bersama kertas fotokopi. Ia terus mengayuh sambil terisak sedih.
Sementara Abang Ali menatap gadis yang diam-diam dicintainya itu pergi menjauh. Sedih dan hancur hatinya, bahwa dia tidaklah pantas mengharapkan Wulan karena dia bukan lelaki yang seperti Wulan kira. Ada kelegaan setelah menitipkan semua barang pribadinya pada Wulan, paling tidak semua masa lalunya diberikan pada wanita yang dicintainya. Semoga Wulan bisa memahami posisi Ali saat ini.
Dengan bergegas Ali melangkah pergi menyusuri tengah ladang tebu menuju ujung desa yang perbatasan sungai. Di pinggir sungai sudah ada rakit yang menantinya, diperkirakan sebelum adzan isya Ali sudah tiba di ujung desa. Dengan melewati tengah ladang tebu di jam seperti ini, sudah dipastikan tak ada warga desa yang mengetahuinya. Ali juga sudah mengganti baju dengan kaos hitam dan celana hitam. Baju yang dikenakannya tadi dan yang dibawa dari masjid sudah ditanamnya di pojok ladang tebu dan ditimbun dengan daun-daun serta kayu lapuk hingga tidak meninggalkan jejak.
"Perjalanan baru akan dimulai," bisiknya dalam hati.
*****
Pagi ini tidak seperti biasanya Wulan bangun dengan mata sembap, hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata, hanya berdiam diri di kamar, sambil memandang tas kulit hitam titipan Abang Ali. Tanpa mampu membuka untuk melihat apa isinya, dalam benaknya dia tak akan pernah bisa berjumpa dengan lelaki pujaan hatinya lagi.
Dengan langkah gontai Wulan menyusuri jalan menuju pasar, sepagi ini pasar sudah mulai ramai. Beberapa pedagang yang mengenalnya menyapa dengan ramah dan Wulan membalas sapaan dengan senyuman. Di depan gerbang sudah dilihatnya gerobak dawet suji milik Mas Saliman tetapi pedagangya tidak tampak. Wulan berkeyakinan Mas Saliman pasti sedang berada di sekitar pasar untuk membeli sesuatu. Bila memungkinkan Wulan ingin menemui Mas Saliman untuk sekedar berbagi kegundahan.
Sesaat Wulan berhenti di depan gerobak tetapi yang dilihatnya hanya gerobak kosong tanpa isi mungkin hari ini mas Saliman libur berjualan batinnya. Ia lalu meneruskan menuju kios Mbak Pur.
Wulan berusaha untuk tampak biasa saja, sore harinya semua pengurus masjid dikumpulkan oleh Haji Anwar mereka mengadakan rapat darurat mengenai kepergian Abang Ali yang tiba-tiba tanpa pamit, kamar yang biasa digunakan untuknya dibuka paksa dan tak ada yang mencurigakan. Tak ada barang yang hilang semua tetap sama, dan tampak rapi.
Semua pemuda yang dekat dengan Ali ditanyai apakah mengetahui perihal kepergiannya tetapi tak ada satupun yang dipamiti oleh Ali.
Maka Haji Anwar meminta semua berpikiran postif tentang menghilangnya Ali secara tiba-tiba agar tidak menimbulkan fitnah.
Wulan hanya mampu diam, tak ingin mengkhianati janjinya pada Abang Ali untuk diam. Dia bertekad merahasiakan apapun yang diketahuinya tentang kepergian pemuda itu.
*****
Hari ini pemberitaan di televisi semua tentang berhasilnya Densus 88 membekuk beberapa orang yang disangka teroris di sebuah rumah kontrakan di kota Semarang. Hampir semua televisi menyiarkan hal yang sama, bahkan siaran didominasi oleh aksi teroris tersebut.
Di ruang tengah Ibu dan Wulan duduk menonton berita dengan perasaan geram oleh aksi teroris tersebut. Untung Densus 88 berhasil mengamankan dan menggagalkan aksi mereka yang diperkirakan akan beraksi di malam tahun baru. Dilayar televisi reporter cantik yang tampak kelelahan karena semalaman tanpa henti meliput hebatnya Densus 88.
"Pemirsa sekalian, di rumah kontrakan yang ada dibelakang saya ini telah ditemukan 5 orang pemuda yang diperkirakan adalah komplotan teroris kelompok Syaif, dimana kelompok Syaif ini adalah bagian dari kelompok teroris yang selama ini dicari oleh pemerintah Malaysia dan Indonesia. Semalam Densus 88 berhasil membekuk kelompok ini tanpa perlawanan, dari dalam rumah ditemukan barang bukti 50 bom rakitan, beberapa VCD dan buku tentang teroris, serta ribuan amunisi yang diperkirakan akan diledakkan di malam tahun baru besok."
Suara penyiar seakan menghilang saat Wulan melihat di layar kaca tampak 5 orang pemuda yang ditangkap itu berjalan tertunduk dengan tangan diborgol. Salah satu dari tahanan itu adalah sosok yang sangat dikenalnya. Postur tubuh, rambut dan tatapan mata itu, Wulan tak mungkin salah. Sontak batinnya menolak untuk percaya atas apa yang dilihatnya, tetapi dia sangat hapal dengan peci yang lelaki itu kenakan. Orang itu tak mungkin salah. Sekujur tubuh Wulan lemas serasa tak bertulang, tiba-tiba dingin sangat menusuk Wulan berusaha kuat untuk bertahan menyaksikan televisi yang terus menyiarkan berita seputar teroris.
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia berusaha fokus mendengar nama-nama yang dibacakan oleh reporter itu dan benar saja nama Ali Usman disebutkan dengan jelas. Seketika dunianya terasa gelap.
Dengan kekuatan yang tersisa Wulan nerusaha tetap bertahan untuk menyakinkan apa yang dilihatnya.
Di layar tampak polisi dan Densus 88 berjajar. Di barisan kedua tampak 5 pemuda yang saat ini sudah memakai topeng penutup wajah, hanya tampak bagian mata saja yang terbuka. Kelimanya berdiri menunduk tetapi seorang dari mereka tetap mencari kamera wartawan, tatapannya tanpa takut justru menatap ke depan dengan berani, seolah ingin menyampaikan pesan pada seseorang melalui kamera yang akan disiarkan oleh seluruh televisi nasional pesan yang ingin disampaikan bahwa dia baik-baik saja, tetaplah tenang di sana, aku akan mempertanggung jawabkan semuanya dan inilah aku sesungguhnya. Pesan itu dapat ditangkap oleh Wulan yang menonton televisi, ia yakin bahwa itu adalah Abang Ali yang dikenalnya, yang beberapa waktu lalu memintanya bertemu di ladang tebu sebelum ia pergi untuk bergabung dengan komplotan teroris yang tertangkap ini.
Tak mempercayai apa yang dilihatnya, mengingat sosok Abang Ali adalah pemuda baik, sopan dan sangat beradab. Tak mungkin tergabung menjadi teroris yang kejam, dengan niat mengebom pusat perbelanjaan dengan menyisakan korban yang tak berdosa. Membayangkannya saja Wulan tak sanggup.
Di dalam kamar yang sepi, Wulan mengambil tas kulit hitam yang belum sempat dibukannya. Di dalam sana tampak beberapa foto masa kecil Abang Ali sedang naik sepeda, duduk di pangkuan seorang wanita yang mungkin saja ibunya. Kemudian ada Ali yang berkumpul bersama teman-temannya bermain bola, Ali yang memancing di kolam dengan tawa bahagia, bahkan ada foto Ali memakai pakaian seragam sekolah dengan tas ransel yang tampak sangat muda. Puas memandang foto Abang Ali yang semua tampak senyum dan tawa bahagia.
Wulan membuka buku harian dengan banyak sketsa pemandangan, tampak gambar sepeda kuno dengan keranjang penuh bunga, di lembar berikutnya sketsa perahu besar dengan layar terkembang seolah berlayar di tengah samudra, bahkan ada sketsa gunung berapi yang mengeluarkan asap tebal. Wulan takjub dengan sketsa yang dibuat oleh Abang Ali, semua tampak sangat hidup.
Ada beberapa buku tuntunan sholat dan doa-doa yang banyak dijual di pasaran tetapi buku ini tampak sudah sangat lama terlihat dari sampulnya yang sudah lusuh. Wulan memejamkan mata seolah mengingat pesan Abang Ali sore itu. Ia mengijinkan Wulan untuk membaca buku-buku dalam tas itu, didekapnya buku itu dalam dadanya sambil berbisik, "terima kasih Abang ... aku akan membaca semua buku ini." Tak terasa butiran air mata menetes di pipinya.
Tak ada yang menyiratkan keanehan dalam tas ini, kecuali amplop coklat yang terasa sangat tebal. Dibukanya amplop dan dilihatnya segepok uang yang masih bertuliskan tanggal terima uang itu dengan staples yang sudah menguning, ini yang dimaksud Abang Ali sebagai uang halal, yang diikhlaskan untuk dipakai oleh Wulan besok saat melanjutkan kuliah. Uang ini sangat banyak. Wulan membayangkan Abang Ali menyimpan uang ini dengan sangat rapi, bahkan tak ada yang terlepas dari staplesnya yang menandakan setiap bulannya masih utuh.
Untuk saat ini Wulan belum berpikir menggunakan uang ini untuk apa, hatinya masih sangat terkoyak oleh kenyataan yang ada.
Maka dimasukkannya semua yang berserakan di meja ke dalam tas kulit kembali, dan tas itu ditaruhnya di bawah tempat tidur bersama tumpukan buku-buku yang tak terpakai lagi. Di sana pasti aman dari jangkauan orang rumah, karena selama ini tak pernah ada yang mau repot mengurus tumpukan buku bekas miliknya.
Dengan lelah yang sangat, malam ini Wulan ingin menikmati kenangan bersama Abang Ali, setiap kata yang terucap pada pertemuan terakhir itu adalah pesan yang tersirat atas kejadian hari ini.
"Tetaplah mengaji, belajarlah pada guru yang menyebar kebaikan dan kedamaian."
"Jangan lupa ibadah, jangan takut abang gak akan menyakitimu, semoga kita bisa berjumpa kembali."
Wulan berusaha mengingatnya bahkan berusaha untuk menggapai alunan suara Abang Ali sore itu, Wulan tak ingin melupakan semuanya, ia berusaha menyimpannya secara utuh karena Wulan yakin Abang Ali adalah orang baik.
Keyakinan itu tetap ditanamnya dalam jiwa, sebab selama ini tak ada ajaran yang melenceng yang diberikan oleh Abang Ali kepada anak-anak yang mengaji. Tak pernah ada sesuatu ajaran aneh yang disebarkannya bahkan semua yang ditunjukkannya adalah kebaikan dan kepedulian.
Mungkinkah saat Abang Ali berada di kampungnya ia sedang menjalankan misi yang menyimpang di paham yang selama ini mendoktrinnya? Apakah kemarin sebenarnya Abang Ali sedang dalam masa pergulatan batin? Tetapi demi janji pada kelompoknya maka ia pergi untuk mempertanggungjawabkan pilihannya yang salah?
Semua teori bermunculan di kepalanya, tetapi ada satu hal yang dia pegang kuat-kuat, bahwa Wulan menyakini Ali Usman yang dikenalnya adalah lelaki baik dan Wulan masih sangat mencintainya sebagai Ali Usman yang dikenalnya selama ini.
Ia tidak lagi peduli semua hal yang dituduhkan dunia pada lelaki itu, Ali Usman yang ia kenal adalah lelaki yang ia cintai. Kemarin, hari ini, dan untuk seterusnya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.