Sawah dan Tirakat Papa Muda
Bermain di alam bebas tidak lagi menjadi pilihan anak-anak sekarang. Mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan gadget yang menyuguhkan banyak Game pilihan. Mengajak anak jalan-jalan melewati dan menikmati sawah adalah langkah saya untuk mengajarkan anak, bahwa ia hidup berdampingan dengan alam.

Hampir setiap sore, saya mengajak anak dan istri untuk jalan-jalan menikmati pemandangan sawah. Rutinitas ini kami lakukan sudah hampir kurang lebih sebulan terakhir.
Mengapa harus ke sawah? Sederhana saja, tujuannya ya jalan-jalan aja, refreshing.
"lha refreshing kok nang sawah?"
Lha yang mengharuskan refreshing harus ke Mall dan ke Batu, Malang, siapa? Wkwkwkw...
Begini. Ini agak serius lho, ya. Sebenarnya tujuan saya mengajak anak dan istri melihat pemandangan sawah setiap sore itu agak sedikit lucu. Tujuannya adalah; saya ingin, anak saya bertumbuh menjadi manusia yang sadar bahwa ia hidup berdampingan dengan alam; mencintai alam; dan peduli dengan alam ini.
Lha piye? Katanya "hablum minal alam", tapi nengok sawah dianggap gak mbois. Katanya "hablum minal alam", bersentuhan dengan tanah pun gak pernah, dan merasa jijik. Teoritis belaka.
Di lingkungan kami, agak sulit menemukan satu area yang ditumbuhi pepohonan besar nan rindang yang mudah dijangkau. Seandainya ada, tentu saja saya akan mengajak Zavi (nama anak saya) ke sana. Setidaknya, sawah dengan tanaman yang tumbuh di atasnya, bisa memberikan pemahaman pada Zavi; bahwa dunia ini tidak hanya berurusan dengan manusia saja; ada organisme lain yang turut menopang keberlangsungan hidup di bumi ini.
Jika ada waktu senggang, sebelum berangkat mengajar, saya biasa menggendong Zavi ke sungai yang ada di depan kampus Unhasy, Tebuireng. Di atas jembatan selatan kampus itu, saya sering bercakap-cakap dengan Zavi sambil mengarahkan telunjuk ke arah air yang mengalir membawa sejumlah sampah, dan berpesan:
"Nak, besok kalau sudah besar tidak boleh buang sampah ke sungai, ya. Sebab kalau sampah dibuang ke sungai, akan membuat lingkungan menjadi rusak. Zavi juga tidak boleh membuang sampah sembarangan."
Dalam pikiran kebanyakan orang, dan mungkin salah satunya Anda, pasti akan mengernyitkan dahi kemudian mbatin, "Anak dengan usia 5 bulan mana paham diajak ngobrol begituan, bro."
Saya tidak peduli dengan hal itu. Yang saya tau, membangun komunikasi dengan anak sejak dini itu, penting bagi orang tua. Biarlah ia menangkap bahasa orang tuanya dengan bahasa rasa, walau ia belum bisa berbicara.
SIBUK DENGAN GADGET DAN JIJIK DENGAN TANAH
Di zaman sekarang, rasanya sulit melihat anak-anak berlarian di alam bebas dan bersentuhan langsung dengan alam. Pilihan orang tua masa kini lebih tertarik untuk memberikan anaknya gadget agar si anak tidak rewel, dan orang tua akan leluasa menyelesaikan tugas-tugasnya, jika si anak sibuk dengan gadget yang di dalamnya terdapat banyak game pilihan.
*sok-sokan jadi orang tua idealis. Wkwkwkw....
Sebentar sebentar. Saya sendiri juga meragukan diri saya, terkait hal tersebut. Ya. Saya meragukan apakah nanti saya mampu untuk tidak menyibukkan anak saya dengan gadget, kemudian sepenuhnya bisa menemani sang anak bermain dan belajar selama tumbuh-kembangnya di usia yang biasa disebut "The Golden Age" itu?
MENTIRAKATI ANAK
Tadi pagi, sambil menunggu aktivitas pagi siswi selesai, saya berbincang dengan salah satu ustadz senior dan lumayan sepuh di lingkungan sekolah tempat saya mengajar. Beliau berpesan:
"Anak dijaga, itu amanah dari Allah. Anak saya itu saya tirakati dengan sungguh-sungguh."
Saya menyimak dengan mendekatkan telinga ke arah beliau tanda hormat dan takzim.
"Alhamdulillah sekarang anak saya sukses semua. Sudah ada yang jadi Doktor juga," lanjut beliau.
Saya kenal betul dengan anak beliau yang dimaksud. Sebab dulu kami satu komplek saat di MAK Tebuireng. Tak selang lama, bel madrasah berbunyi, tanda jam pelajaran dimulai. Kemudian beliau menutup perbincangan dengan kalimat:
"Pokoknya anak kudu ditirikati, didoakan. Itu semua nanti kembalinya ke kita sebagai orang tua, dan akan memudahkan orang tua."
Memang, banyak orang tua yang kerepotan karena ulah dan kelakuan anak. Kasus Mario Dandy, misalnya. Bukan hanya merepotkan, tapi sampai pada level di mana; orang tua dipecat dan dijebloskan ke KPK karena kelakuan anak tercinta.
Lalu? Apa hubungannya dengan ngajak anak dan istri main ke Sawah?
Lha ini. Seenggaknya, saat di sawah, saya lebih khusyuk mendoakan anak saya untuk menjadi manusia yang bisa bermanfaat untuk alam dan seisinya, tentunya dengan keilmuan dan kashalihan yang ia miliki.
Tak hanya itu, nanti saat ia dewasa, anak saya ini memiliki memori dan kenangan yang kuat dengan sawah dan alam bebas. Ia akan selalu mengenang bahwa dulu saat masa kecilnya, sang bapak selalu mengajaknya ke tempat yang oleh sebagian orang dianggap "ndeso" itu.
"Doa kok nang sawah. Piye to iki?"
Bukankah berdoa tidak harus di atas sajadah dan di rumah ibadah? Asal tidak di tempat yang kotor, ya sah-sah saja.
Oh iya, semoga saat besar kelak, ia tidak menyesal saat tersadar bahwa masa kecilnya sering diajak blusukan ke sawah oleh bapaknya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.