Cinta Bukan Segalanya
Hampir semua orang percaya bahwa cinta adalah segalanya, apapun dapat terjadi bila ada cinta, tapi tidak dengan ku

Penyesalan memang tidak dapat mengubah masa lalu tapi aku yakin, penyesalan itu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masa depan, pemikiran ini membuatku mengubah keputusanku dan melanggar sumpahku sendiri dengan menikah. Banyak harapan dan rencana yang terpaksa kurelakan pupus demi menyesuaikan diri dengan kehidupan baru setelah menikah.
Aku mengenal suamiku sejak kami kuliah, meskipun ia bukan pacar pertamaku, tapi aku sangat terkesan pada sifat, sikap dan prinsipnya, yang kusukai dari suamiku adalah ia tipe laki-laki sederhana yang gaya hidupnya sangat bertolak belakang denganku, cenderung pendiam kalau dibandingkan denganku, humoris sepertiku, sabar menghadapi ketidak-sabaranku dan pintar serta rasional, walau agak cemburuan dan tidak romantis, namun satu hal yang menjadi pertimbanganku memilihnya adalah karena ia sangat berbeda dengan papaku, dan sangat religius.
Orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami pada awalnya karena alasan perbedaan latar belakang yang tidak masuk akal menurut pemikiran modernku, saudaraku mendukungku seperti aku mendukung mereka dengan pilihan hidup dan pasangan mereka. Kami semua tinggal terpisah di kota yang sama dan tetap berhubungan baik walau jarang bertemu. Orang tuaku tinggal berdua, di rumah mereka, ditemani perawat dan assisten rumah tangga yang mengurusi keperluan mereka, kami sesekali mengunjungi mereka saat hari-hari besar atau perayaan keluarga dan tetap mengurusi kebutuhan mereka,
Mereka bertahan hidup bersama dengan pertimbangan itu sudah menjadi bagian dari takdir dan tidak mengubah kebiasaan lama hingga kematian menjemput mereka satu persatu. Papaku meninggal pada saat berusia 65 tahun, karena jantungnya berhenti mendadak(sudden cardiac arrest), yang disebabkan kelainan dan disfungsi pada sinyal elektrik yang mengatur detak jantung. Keterangan dokter menyebutkan papa menderita hipertensi/darah tinggi dan kolestrol yang diperparah kebiasaan merokok, minum dan hidup tidak teratur serta stres yang berlangsung cukup lama, papa meninggal sendirian di kamarnya. Saat pemakaman aku diam-diam melirik mamaku yang tidak meneteskan airmatanya, mungkin airmatanya sudah habis saat papa masih hidup, pikirku.
Mamaku meninggal 5 tahun kemudian, beberapa hari setelah kami merayakan ulang tahunnya yang ke 60. Dokter keluarga mengatakan bahwa penyebabnya adalah gangguan tidur apnea(sleep apnea) yang terjadi saat seeorang berhenti bernapas selama 10 detik atau lebih, berulang hingga 5 kali atau lebih dalam satu jam tidurnya. Kami semua diam sampai acara pemakaman selesai dan langsung pulang ke rumah masing-masing bersama keluarga. Kami melanjutkan hidup dengan tekad tidak akan meniru orang tua kami dan berusaha yang terbaik untuk persaudaraan dan keluarga serta meninggalkan jejak kenangan dan warisan kasih sayang untuk generasi penerus kami. Kami bertemu lagi di rumah orangtuaku pada hari ketiga dan berbincang tentang masa kecil dan rencana masa depan kami bersama keluarga dan saling menguatkan dengan mengulang janji kami bertiga saat kecil.
Papaku adalah laki-laki eksentrik yang selalu jadi pusat perhatian karena kepribadian dan pembawaannya sangat menyenangkan, ia sangat pandai bicara, cepat akrab dengan siapa saja, humoris, romantis dan sangat diplomatis, saking kagumnya aku pada papa yang selalu bisa membuatku tertawa, waktu kecil aku pernah bersumpah kalau aku takkan menikah dengan laki-laki yang kurang dari papa. Mamaku adalah tipe wanita yang sangat memperhatikan penampilannya dan cantik, lembut dan penyayang. Mereka berdua adalah pasangan yang ideal dimataku.
Masa kecilku yang bahagia berakhir saat beranjak remaja, papa dan mama sering bertengkar, mereka mengeluarkan perbendaharaan kata-kata yang hampir tidak pernah kami dengar dan saling menyalahkan. Kami tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis berpelukan, kadang sampai tertidur dan terbangun karena suara orang tuaku atau barang pecah. Papa sering keluar dan pulang dalam keadaan mabuk kemudian berteriak sepanjang malam, kami tidak bisa tidur dan aku sering berdoa agar papa tidak pulang. Kadang-kadang papa tidak pulang karena berpesta dan berjudi bersama teman-temannya. Kami sering tidak masuk sekolah dan diejek karena kelakuan orang tua kami, akibatnya kami kerap berkelahi dengan teman-teman di lingkungan sekolah dan rumah makanya kami lebih sering main dirumah atau pergi jauh dari rumah. Kami hidup terkucil dari lingkungan dan keluarga papa maupun mama, temanpun bisa dihitung dengan jari.
Aku mempunyai seorang kakak lelaki dan seorang adik perempuan yang usianya terpaut setahun dariku, kami selalu melakukan hampir semua aktifitas bersama, bermain dan berpetualang bersama, termasuk kekonyolan dan kenakalan yang membuat kami dihukum, sekolah bareng dan memiliki koleksi baju dan potongan rambut serupa, karenanya kami sering dikira kembar, padahal muka kami berbeda.
Kakakku sering menceritakan percakapan orang-orang tentang keluargaku kepada kami berdua, aku sering menangis diam-diam, aku membenci papaku yang bertengkar dan memaki kami semua, melihat mamaku menangis karenanya dan aku membenci mamaku yang sering menyalahkan dan memaki bahkan memukuliku tanpa alasan hanya karena mukaku mirip papa, hanya aku, tidak ke saudaraku. Saudara bagiku adalah segalanya, mereka tidak pernah jahat dan mengasariku walaupun sering jahil padaku tapi kami sangat dekat dan saling menyayangi. Kami berjanji, apapun yang terjadi kami bertiga akan selalu bersama dan tidak ada yang dapat memisahkan kami.
Hidup pernikahanku memang tidak seindah cerita dongeng H.C Andersen, tapi tidak seburuk orang tuaku. Entah apa yang yang kurang, tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang, dan aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku dan suamiku kadang bertengkar, pada awal pernikahan kami aku selalu berteriak dan menghancurkan barang-barang, suamiku lebih banyak diam dan pelan-pelan mengajariku dengan sikapnya aku agar aku bisa belajar untuk menahan emosi dan tidak melampiaskannya pada barang yang tidak ada hubungannya, menyelesaikan masalah dengan berbicara baik-baik dan belajar untuk tidak berbicara yang tidak perlu, atau lebih baik mengambil sikap diam. Tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan baik tapi kami akan membahasnya dan mencari kesepakatan(walaupun tidak sepaham).
Sejak remaja aku sering tidak bisa tidur berhari-hari, namun setelah menikah, aku tidur lebih teratur, jarang begadang. Alergi yang kuderita sejak kecil perlahan-lahan membaik, aku bersyukur sifat perfeksionisku yang tidak masuk akal pun mulai berkurang, dulu aku bisa begadang semalaman hanya untuk membersihkan rumah, dan sangat terganggu melihat sandal berantakan(bahkan di rumah orang), pakaian yang ditata tidak diurutkan dari warna yang paling muda ke warna tua, bahkan membuang barang-barang yang tidak seragam atau tidak ada pasangannya, suamiku biasanya hanya tersenyum dan mungkin menahan nafas. Hidup berjalan cukup normal buatku.
Anehnya belakangan ini, aku sering merasa gelisah dan sulit tidur, saat kuceritakan ke suamiku, ia hanya menanggapi dengan senyum, memelukku dan mengatakan kalau aku kesepian, kupikir mungkin juga, karena sejak menikah aku berhenti bekerja atas kemauan suami dan mengurus ketiga anak kami sendiri, aku jarang berhubungan dengan teman-teman dekatku yang hanya beberapa orang itu dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, suamiku sering pergi untuk tugas keluar kota. Sarannya sederhana, kontak teman-teman dekatku dan luangkan waktu untuk diriku sendiri, seperti ke salon, ke mall atau sekedar ngopi bareng teman. Patut dicoba pikirku, tidak ada ruginya mencoba hal baru.
Ia bahkan menyarankanku untuk meneruskan kuliah yang kutolak dengan halus karena malu balapan dengan anak-anakku, lucunya anak-anakku mendukung papanya dan berhayal kuliah bareng mamanya. Akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan hobi membaca dan menulisku, bergabung dengan beberapa club, suamiku mendukungku dengan membantuku mengedit tulisan-tulisannku, anak-anak membantu mengajariku menggunakan laptop, membuat email, Facebook, Instagram dan mendownload program yang dirasa perlu, serta tidak berhenti menggodaku kalau mulai panik atau bingung.
Aku juga disarankan mendaftar kursus bahasa Inggris dan Belanda, dengan alasan biar fasih cas cis cus kalau keluar negeri, suamiku bahkan memberi surprise dengan mendaftarkan aku di salah satu tempat kursus mengemudi dan menghadiahkan mobil saat ulang tahunku yang ke 40, what a big surprises, buat seseorang yang tidak romantis dan tak pernah merayakan ulang tahun atau anniversary selama 17 tahun pernikahan kami. Aku bersyukur dan tak henti-hentinya berdoa buat kebahagiaan keluarga kecil kami.
Aku menikmati waktuku bersama keluarga kecilku dan mulai menjalin hubungan dengan orang-orang baru dari tempat kursus, club dan organisasi sosial yang kuikuti. Suami dan anak-anakku terlihat gembira, aku mempunyai banyak kegiatan namun tetap mengatur waktu bersama mereka. Aku bahkan lebih sering mengunjungi saudara-saudaraku dan kami menghubungi keluarga papa dan mama, menjalin kembali tali persaudaraan yang sempat terputus lama, keluarga papa dan mama menerima kami semua dengan baik, walau canggung pada awalnya namun seiring berjalannya waktu semuanya mencair, kami sering diundang bila ada acara keluarga dan sebaliknya.
Seminggu lalu aku mengajak mengajak suamiku dan anak-anakku menemaniku ke mall untuk menghadiri acara sosial dari organisasi yang kuikuti, namun mereka ternyata sudah punya acara sendiri, jadi aku memutuskan tidak jadi pergi, namun yang mengherankan perasaanku mengatakan mereka semua sengaja mendorongku untuk pergi bersama sahabatku, aku pergi dengan masih bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Sejak saat itu baik suami maupun anakku terlihat perlahan secara halus menolak menemaniku keluar dan sering sibuk sendiri-sendiri. Aku sempat bertanya pada suamiku, tapi katanya ia lagi sibuk menangani banyak project dikantornya.
Suatu saat aku pergi bersama temanku dan bercerita padanya tentang keanehan keluarga ku belakangan ini dengan perasaan curiga, mulai dari paksaan mereka secara halus untuk ikut berbagai kegiatan sampai kursus mengemudi. Apakah mereka merencanakan sesuatu? atau menyembunyikan sesuatu? entahlah. Aku sampai malu karena mengecek handphone suami dan anak-anakku, sebenarnya hal itu lumrah di keluargaku, tapi aku merasa bersalah karena memeriksanya dengan perasaan mereka menyembunyikan sesuatu atau yang terburuk kemungkinan suamiku selingkuh seperti papa dulu?. Temanku tertawa dan menggodaku tentang kecemasan post power syndrome-yang kami pelesetkan untuk menyebutkan wanita yang sudah memasuki premenopause, menenangkanku sembari menyalahkan hormon yang tidak stabil, bahkan menghibur dengan mengatakan mungkin mereka merencanakan sesuatu, seperti surprise ulang tahun ku tahun lalu. Aku manggut-manggut menerima alasannya dan lebih banyak bengong hingga kami mengganti topik pembicaraan.
Aku pulang lebih cepat dari rencana, karena anak sulungku menelpon dan minta ketemu di rumah sakit, tanpa menjelaskan apapun, temanku memaksa mengantar karena melihat mukaku berubah pucat. Aku langsung menuju unit gawat darurat, karena mereka semua sudah menunggu disana, aku panik dan mencari suamiku karena yang kulihat hanya anak-anakku, mereka berusaha menenangkanku dan menemani aku menemui papa mereka.
Aku hampir pingsan melihatnya terbaring disana, ia hampir tidak pernah sakit, kesehatannya prima, rajin berolahraga, makan dan tidurnya teratur walau kadang bekerja terlalu keras menurutku, mukanya pucat dan ia kelihatan kecil dikelilingi peralatan medis canggih, senyumnya masih sama saat aku berpamitan dengannya dua jam yang lalu, ia bahkan mengangguk kecil dan mengedipkan mata menggodaku. Susah payah ia mengulurkan tangannya dan mendorong halus tubuhku yang memeluk dan menangis sesunggukan, matanya seolah memintaku diam dan bagaikan tersihir aku duduk dengan tegang disamping tempat tidurnya, menggengam tangannya dan menciuminya berulang kali tanpa memikirkan anak-anak, dokter dan perawat yang sibuk mondar mandir di ruangan kecil bersekat korden tempat kami berada.
"Ssssshhh!"
"Papa, kenapa?"
"Ssssshhh! aku tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja, diamlah."
"Maafin mama pa, kalau aku tahu papa sakit, tadi aku tidak,.."
"Sssshhh! jangan begitu, ini bukan salahmu, aku minta maaf ya ma, jangan dipotong dulu ucapanku, aku mencintaimu, percayalah!"
"Aku percaya."
"Aku mencintaimu ma, aku titip anak-anak ya."
"Jangan pa,..."
Itu percakapan terakhir yang kuingat, aku masih bisa merasakan kehangatan genggaman tangannya, tatapan menggodanya dan kenyamanan pelukannya. Aku masih menatap tidak percaya pemandangan dihadapanku. Aku menguatkan diriku memandangi wajah dan senyum bekunya, kenangan melintas silih berganti, merunut perlahan kejadian dan pristiwa yang terjadi. mencoba menarik benang merah semua yang telah lewat dan meragu akan kebenarannya.
Saudara-saudaraku datang menghibur dan menenangkanku, anak-anak tidak beranjak dari sisiku dan bergantian menemaniku sambil membisikkan kata-kata yang tidak kudengar dan tidak dapat kutanggapi. Sahabat, keluarga, teman dan rekan kerja bahkan tukang parkir datang melayat dan masih banyak wajah tak kukenal datang mengucapkan turut berduka cita yang lebih banyak ditanggapi dengan baik oleh anak-anak.
Aku seperti kehilangan separuh jiwaku, aku mendengar suara-suara, melihat pemandangan bergerak namun pikiranku selalu padanya. Setelah selesai pemakaman dan semua saudara pulang, suasana rumah terasa mencekam dan aku bersama anak-anak berpelukan tanpa kata, mereka meminta maaf dan menjelaskan kalau papanya mengatur semua rencana termasuk menyuruhku kursus mengemudi karena ingin membuatku mandiri dan tidak hanya bergantung padanya atau anak-anak, seperti hendak bepergian jadi aku bisa menyetir sendiri, menganjurkan aku ikut club baca tulis agar aku bisa menyalurkan bakat dan hobiku yang membuatku lebih merasa berharga karena bisa menghasilkan uang sendiri, ia bahkan memaksaku kursus bahasa agar aku bisa mengorol dengan fasih saat traveling.
Ternyata dibalik semua itu ia menyiapkan surprise tiket keliling dunia untuk kami semua agar aku tidak menyesal suatu saat aku meninggal cita-citaku sudah terlaksana, aku menangis tak tertahankan karena ia masih ingat semua detil dan hal remeh temeh yang kami bicarakan saat pacaran dulu, yang bahkan aku sendiri sudah lupa.
Ia merasa bersalah terlalu keras mendidikku padahal aku tidak pernah merasa seperti itu, menempatkanku pada kondisi yang sulit secara materi dan membuat kami hampir berpisah karena emosi. Ia bekerja dan tidak mau mengandalkan bagian warisanku padahal aku tak pernah memikirkan semua itu, aku terlalu sibuk mengurus rumah dan anak-anak. Aku menilai semuanya terlalu sederhana dan kurang memperhatikan kedalaman makna.
Ia mengatur dan menyiapkan semuanya dan lebih ajaibnya ia bahkan sudah menyiapkan wasiat untukku dan anak-anak. Ia mengalami kecelakaan saat kembali dari perusahaannya dan berjanji untuk menyiapkan sentuhan akhir surprise mereka, dan makan siang bersama anak-anak di restaurant yang akan mereka booking untuk perayaan ulang tahunku.
Anak-anak ikut mengambil bagian dalam kehebohan mempersiapkan surprise, seperti memesan tiket dan hotel, menetapkan initiary perjalanan, mengurus visa dan belanja, itu sebabnya mereka selalu menolak menemaniku seminggu ini, karena papanya selalu bercanda bahwa ini perjalanan perdana seorang perfeksionis jadi semuanya harus perfecto, ah aku ternyata kurang jeli, padahal aku sering mendengar mereka saling menggoda dengan kata itu, ternyata itu kode rahasia untuk saling memastikan semua sudah sesuai rencana, pantasan mereka terbahak-bahak kalau mendengar aku ikut menyebut kata perfecto.
Kehilangan adalah kehilangan dan tidak akan tergantikan, tapi segala cinta dan nilai luhur kehidupan seperti kepercayaan, keyakinan dan kasih sayang akan selalu tinggal didalam hati dan pikiran. Hidup akan terus berjalan, semua makhluk bernyawa akan mati dan kembali kepada Sang Empunya Kehidupan. Tidak ada yang abadi, yang abadi adalah perubahan.
Surprise ulang tahun ini adalah surprise yang paling berkesan dan akan tetap terkenang selama hayat masih di kandung badan. Waktu yang telah pergi tidak akan pernah kembali, kecuali dalam penyesalan. Dan aku tidak akan menyesalinya, aku akan hidup saat ini untuk masa kini dengan penuh kesadaran dan rasa syukur, bersiap menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan dan selalu berterima kasih pada waktu. Perjalanan perdana keliling dunia kami berlima, menyisakan satu kursi kosong disampingku, perfecto!
"Kau bagiku, berarti dalam hal-hal kecil, yang membahagiakan hati dan menghangatkan hari"-ANC
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.