Para Story Teller Yang Dasyat!
Peluncuran The Writers Book Club

“Nah sekarang gantian nih, kita sediakan hadiah buat yang bertanya.” Citra dan Emma, duo standup comedian yang menjadi MC sore itu mencoba mengajak para peserta peluncuran The Writers Book Club untuk mengajukan pertanyaan pada empat orang penulis handal yang sudah berjajar di depan bersama pembawa acara.
“Ayo siapa yang mau nanya, hadiahnya keren-keren loh.” Emma kembali menyemangati.
“Mbak Ida, mungkin mau bertanya?” sambung Citra.
Waduh, namaku disebut! Dan tanpa tau mau bertanya apa, tak sadar aku mengacungkan tangan dan tiba-tiba Citra sudah berdiri di hadapanku memberikan microphone.
“Bismillahirrohmanirrohim…” Aku mencoba menenangkan diri sambil berpikir pertanyaan apa yang akan aku ajukan.
Sekilas kulihat Kang Asep, Om Bud, Pak Chappy Hakim, Kang Maman yang berdiri di depan memperhatikan dengan seksama pembukaan yang kulakukan tadi. Dan seluruh ruangan tiba-tiba menjadi hening pula.
“Saya sudah lama mengenal Om Bud. Yang saya tau dia selalu kocak dan segar dalam bercerita. Nah, pertanyaan saya adalah: Kenapa Pak Chappy lebih lucu?” Meluncurlah pertanyaan konyol itu dari bibirku dan keheningan ruangan seketika buyar.
Gimana tidak, sejak awal penampilannya semua yang hadir dibuat cengar cengir lewat tingkah dan tuturannya. Ketika pertama hadir di panggung ada seseorang lelaki yang membantu Beliau mengatur microphone dan podium.
“Biasalah memang kalo ‘Pejabat’ kan ‘belagu’, apa-apa dibantuin.” Dengan santai Beliau mengomentari lelaki tadi dan membuat kita yang hadir menjadi ngakak ditahan dan akhirnya jadi ngakak beneran setelah Beliau melanjutkan penuturannya yang bergaya kocak.
“Alhamdulillah walau diliputi kegalauan karena isu demo, acara kita berjalan lancar karena ada wali dan nabi yang hadir di sini.” Candanya sambil menjelaskan kalau yang hadir ada yang bernama Pak Wali dan Pak Daud dan alhasil ngakakpun terus berlanjut.
Saat Beliau menyampaikan ada yang bertanya Kang Maman tuh siapa karena sering lihat di televisi? Beliau bilang, “Kang Maman itu Motivator.” Sambil tertawa Beliau mengatakan itu dan yang pasti kita pun ikut tertawa lagi.
“Tadi Kang Maman bilang bukunya satu lagi judulnya Ibuku Pertiwi, ya?” Tanya Beliau mengarah ke Kang Maman yang mulai serius dan menjawab.
“Iya, Pak Chappy.”
“Nah jual aja sama Ibu Pertiwi Bob Hasan yang hadir tuh di sana. Pasti dibeli banyak. Dia seneng semua buku yang ada Pertiwinya.” Sekali lagi punchlinenya bikin kita ngakak, sangkain bakal serius.
***
Baru kali ini aku hadir di sebuah acara yang bener-bener nano-nano rasanya. Ada canda gembira karena lama tak jumpa atau bahkan baru kali ini bertatap muka. Ada senda gurau yang menggelitik tawa bahkan air mata pun tak mau kalah untuk ikut serta. Beruntung ada para pembawa acara yang bersemangat dalam memancing gelak tawa.
“Menurut saya tulisan yang baik itu adalah tulisan yang berhasil menggugah emosi pembacanya.” Begitu kata Om Bud pada sesi bedah buku Abdul Hakim, Seorang Wartawan Antara.
Ternyata gak hanya tulisan, sebuah acara yang bagus pun adalah acara yang bisa membangun emosi pesertanya. Peluncuran The Writers Book Club ini bener-bener menciptakan situasi yang membangkitkan emosi jiwa dari gelak tawa hingga air mata. Coba saja simak apa yang disampaikan Kang Maman ini.
“Satu hal yang menjadi cita-cita orang Makasar adalah naik haji, Pak.” Begitu kata Kang Maman saat ditanya Pak Jacob Oetama apa yang diinginkan sebagai hadiah apresiasi ketika tabloid yang dipimpinnya meledak di pasar pada tahun 1992.
“Jadilah saya berangkat Haji Abu Bakar alias atas biaya kantor. Dan beruntung sekali saya bisa dibimbing oleh Ustad Zainudin M.Z. dan Gus Dur yang mau saya tanyai apa saja kapan saja. Dan Gus Dur selalu menjawab: ‘Gitu saja kok repot. Kalo sampeyan yakin ya lakoni saja.’ Jadi saya sudah mendengar ‘Gitu saja kok repot’ itu sejak tahun 1992.” Kang Maman memulai ceritanya tentang Naik Haji Bersama Gus Dur.
“Sampai saat wukuf di Arafah, Gus Dur bilang kalau saya punya keinginan, sampaikan saja, ungkapkan saja. Ada satu keinginan yang sebenarnya gak berani saya ungkapkan, tapi saya kepingin sekali. Saya ingin bertemu dengan almarhum Ayah saya.” Serak suara Kang Maman saat mengungkapkan ini.
Seperti yang dituturkan dalam bukunya Ayahku Indonesia, Ayahnyalah yang menanamkan pentingnya membaca. Bahkan sejak usia tiga tahun, Beliau membimbing Kang Maman untuk mulai mengeja koran hingga akhirnya bisa membaca bahkan kemudian saat SMP bisa menghasilkan pendapatan yang melebihi penghasilan ayahnya yang berpangkat Sersan hingga membuat heran.
“Iya, karena orang-orang meminta empat angka dari koran yang saya baca dan mereka gunakan untuk lotre. Rupanya tebakan saya lumayan jitu hingga mereka seringkali menang dan terus meminta nomor pada saya.” Kita yang mendengar jadi cengar-cengir membayangkan Kang Maman kecil yang meramal angka lotre.
“Tapi ketika ayah saya tahu, Beliau marah dan melarang saya untuk melakukan itu lagi.” Diam-diam aku ikut merasa lega mendengar penjelasan Kang Maman.
“Saya pernah dinyatakan sudah meninggal lo saat terkena penyakit tipes yang mematikan. Saat itu, Ayah saya membisikan, ‘Nak kalau kamu bangun Ayah janji akan memberikan keinginanmu beli televisi.’ Dan tak berapa lama saat tersadar kembali.” Kang Maman menceritakan sebuah peristiwa dalam hidupnya yang mengejutkan.
“Saya baru tahu beberapa tahun kemudian, ternyata televisi itu dibeli Ayah saya dengan mencicil selama bertahun-tahun hingga akhirnya lunas lima belas hari sebelum kepergiannya.” Terbata-bata Kang Maman menceritakan ini dan tak sadar mataku jadi berkaca-kaca.
“Dan saat wukuf di Padang Arafah, ada seorang laki-laki yang datang pada saya dan menepuk-nepuk kepala saya sambil mengatakan, ‘Terima kasih sudah mendoakan saya’. Ketika saya memandang wajahnya, laki-laki itu adalah almarhum Ayah saya.” Menangis Kang Maman menceritakan ini dan aimataku yang sejak tadi berkaca-kaca sudah tak terbendung lagi, meleleh sempurna.
Sebuah pengalaman luar biasa! Jadi kalau tadi Pak Chappy bilang kalau Kang Maman adalah seorang motivator, rasanya tak salah juga. Penuturannya bisa memotivasi pendengarnya untuk menghormati dan mendoakan orang tuanya. Aku sempat tertegun sejenak. Dan ternyata di ujung sana ada Nina yang sedang mengajukan pertanyaan untuk Pak Chappy Hakim.
“Pak Chappy, seperti yang OmBud sering sampaikan, ‘Sebelum mati buatlah minimal satu buku’ adalah petuah Ayah dari Bapak dan Om Bud yang sangat inspiratif. Pertanyaan saya adalah: Berapa buku yang akan Bapak buat sebelum mati?” Sebuah pertanyaan yang menarik buat seorang Jenderal yang sudah menghasilkan lebih dari 40 buku.
Dan yang lebih menarik adalah respon beliau, “Saya ingin menerbitkan satu buku setiap ulang tahun saya.”
Luar biasa! Sebuah closing statement yang sangat inspiratif dan menggugah semangat untuk berkarya. Jadi tak hanya ‘Sebelum mati buatlah minimal satu buku.’ tapi ‘Setiap ulang tahun buatlah satu buku.’
Siap Jenderal!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.