Yuk Saatnya Menebar Cinta Via Media Sosial!
Era kini, teknologi sudah mempermudah gaya komunikasi kita terhadap orang di sekitar kita, lewat beragam aplikasi media sosial. Dan akhirnya kita –harusnya- tersadar, jika komunikasi non-verbal dan gestur yang sudah terbiasa diajarkan oleh media sosial tadi, harus segera direvisi.
Teringat Pameo lama, jika cinta itu datang dari mata, lalu turun ke hati. Terlepas benar atau tidak, namun –pastilah- sudah membuat kita pernah merasakan lezatnya perasaan jatuh cinta itu kan?
Lantas, membayangkan indahnya masa itu -sekali lagi- tentu mengajarkan betapa nikmatnya khayalan indah bersama orang-orang lain -siapa saja- yang kita cintai di masa depan nanti? Namun khayalan tadi, dalam perjalanannya, pastilah rentan mengalami sumbatan untuk mewujudkannya.
Salah satu penyebabnya adalah abainya cara berkomunikasi kita, dan jua cara penerimaan kita terhadap komunikasi yang disampaikan orang lain. Dan akhirnya rasa cinta -dalam konteks luas- yang kita ingini tadi, kapan saja dapat terancam berubah menjadi benci kan?
Nah menyoal perbedaan, jelas bisa menjadi biang-keladi dalam mempengaruhi gaya komunikasi kita tadi. Padahal kita –pastilah- sadar jika perbedaan adalah hal yang sengaja tercipta semenjak kita lahir dahulu. Mengulas Perbedaan sendiri tentu berkonteks sangat luas sekali, dan pastilah gampang untuk kita kenali.
Era kini, teknologi sudah mempermudah gaya komunikasi kita terhadap orang di sekitar kita, lewat beragam aplikasi media sosial. Dan akhirnya kita –harusnya- tersadar, jika komunikasi non-verbal dan gestur yang sudah terbiasa diajarkan oleh media sosial tadi, harus segera direvisi.
Nah, membahasakan komunikasi kita, serta gaya menafsirkan komunikasi yang disampaikan orang lain kepada kita, akan menjadi kata kunci dalam menyemaikan rasa cinta sesungguhnya untuk orang-orang yang kita paling sayangi kan? Dan niatnya adalah untuk segera mewujudkan khayalan indah kita dulu, ketika pertama kita ‘jatuh cinta’ kepada orang lain.
Lalu sanggupkah kita memulainya sekarang dan jua mempertahankannya di masa yang akan datang? Jika belum sanggup, ya mari lanjutkan saja membacanya deh!
Berkomunikasi di Media sosial sebuah tantangan zaman?
Dan pastilah kita tersadar. Jika kemajuan teknologi digital semakin kemari sudah menyulap ragam rupa kemudahan guna berinteraksi sosial dalam kehidupan ini ya? Sebut saja, hadirnya aplikasi media sosial yang hinggap di ponsel kita ini, dan sudah mengajarkan rupa-rupa gaya komunikasi baru itu.
Dan –memang- sih harus jujur, jika aplikasi media sosial itu sudah memberikan kesempatan luas jua guna menyipta pertemanan dimana saja dan kapan saja. Niatan awal bermedia sosial dalam konteks itu, bisa kita rasa sungguh amat mulia dilakukan.
Dalam survei katadata Insight, menyebut jika masyarakat Indonesia ternyata –memang- cenderung lebih aktif dalam memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi, satu sama lain. Lihat saja hasil survey itu, dimana 1670 responden di 34 provinsi di Indonesia, 76%-nya mengakui sudah menyandarkan aplikasi media sosial sebagai medium berinteraksi hariannya.
Namun sebagai turunan aktivitas itu, rasa cinta dan benci –memang- selalu hadir dan pergi, dalam medium media sosial kan? Dan tak jarang masalah yang hanya terjadi di dunia maya –otomatis- bisa merembet ke dunia nyata pula. Di sinilah bara konflik hadir dan terlihat rumit untuk segera dipadamkan.
Dan –memang- tidak dipungkiri juga jika banyak jua sebenarnya hal positif yang kita panen dalam memanfaatkan platform komunikasi maya aplikasi mediasosial ini. Utamanya, bisa menjadi jendela informasi dunia, untuk melihat dinamika manusia semakin dekat dan jelas.
Namun bahasa komunikasi yang terbiasa digunakan yang –hanya- berupa text tersusun dalam status, cuitan yang singkat, serta –hanya- unggahan gambar saja, bisa melahirkan banyak persepsi yang beragam, dan menuai pro dan kontra lho. Hal ini menunjukkan jika tantangan berkomunikasi semakin kemari, menjadi kian rumit saja kan?
Terlebih lagi, kita hidup di alam demokrasi, dimana aspirasi, kritikan, makian serta nyinyiran sebagai bahasa komunikasi persepsi, yang diungkapkan dengan bahasa text –non-verbal- menjadikan mereka sulit dibedakan. Nah jika penerimaaan kita terhadap bahasa komunikasi orang lain di media sosial juga sama negatifnya, tentu saja aktivitas bermedia-sosial yang berniatan mulia menjadi sia-sia belaka.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat terjadi peningkatan jumlah kasus yang menjerat pengguna media sosial dalam beraktifitas di media sosial yakni sebanyak 59 kasus,pada medio january-oktober 2020. Jumlah kasus yang berujung pada konflik hukum, merupakan jumlah tertinggi dalam 3 tahun terakhir.
Oleh sebab itu, harapannya bagaimana ya kedepan, kita dapat menciptakan konsistensi cara berkomunikasi positif menjadi modal utama guna memanfaatkan kemajuan tehnologi informasi saat ini? Terutama menyeleksi semua diksi berkomunikasi, yang dipicu lewat gaya komunikasi non-verbal dan diketik ketik via text kepada orang lain lewat media sosial tadi.
Artinya, ya gaya komunikasi yang lebih dominan di media sosial semacam itu ya –memang- harus benar-benar ditinjaui lagi deh. Terutama menggunakan cara elegant dalam memanfaatkan banyak fitur digitalnya lainnya, seperti menyilahkan kita untuk berbagi berbagai informasi tadi, yang sebenarmya jua berpotensi memberikan persepsi komunikasi kita menjadi terbuka kepada publik lebih luas lagi.
Ini seakan menjadi wanti-wanti bagi kita untuk bisa menggalakkan kembali gaya berkomunikasi verbal yang jauh lebih baik nan efektif lagi kan? Namun apakah bisa di tengah himpitan kesibukan harian yang kita jalani kini?
Menjadikan Persepsi sebagai energi positif kita!
Pribadi kita semenjak lahir tentulah tertanam sikap skeptis yang mudah melahirkan persepsi atau sudut pandang, sebagai bentuk aktivitas interaksi berkomunikasi. Jika didefinisikan, Persepsi sendiri yakni tindakan menfasirakan suatu informasi dengan memberikan gambaran dan pemahaman pada suatu komunikasi.
Jika berinteraksi di dunia nyata saja, terkadang kita sulit mengupayakan untuk mengelola Persepsi kita tadi sebagai buah komunikasi dalam aktivitas dialog. Bagaimana mengungkapkan komunikasi terbaik kita, lewat media sosial yang memiliki ruang sempit dengan beragam persepsi itu ya?
Oleh sebab itu, bagi saya penting mengupayakan untuk terus melatih lagi gaya berkomunikasi kita lewat tiga arah komunikasi lainnya, agar bisa menjadi terapi dan selalu berhati-hati dalam mengelola komunikasi di lingkungan sekitar kita. Terutama berkomunikasi bermedia sosial tadi. Apa saja ya itu, mari!
1. Selalu berkomunikasi aktif kepada diri-sendiri, melatih berintrospeksi
Masalah –memang- adalah hal yang –pasti- melekat dalam kehidupan kita kan? Berat dan ringan kadar masalah itu, tentu terkait dengan seberapa fasih sih kita dapat mengelolanya. Mendapati proses ini, tentu bisa mengajak kita agar lebih aktif berkomunikasi kepada diri sendiri lewat bahasa verbal kepada diri sendiri kan? Meski ya komunikasinya dalam hati saja.
Dan output dari proses latihan berkomunikais pada diri sendiri ini, tentu akan bermuara pada penyiapan hal apa saja, untuk menangkal kesalahan yang sama dan bisa berpotensi terulang kemblai di masa depan.
Nah dengan aktif berkomunikasi pada diri sendiri setiap saat, tentu saja, kita akan mudah memulai proses mengoreksi semua kelemahan diri. Utamanya hal berkomunikasi tadi. Dan kita bisa lekas menemukan jati diri, serta idealisme yang seyogyanya harus dapat memproduksi kebajikan dalam kehidupan kita.
Muaranya adalah ya sikap untuk mudah memaafkan, yang harus mampu dikeluarkan dalam diri kita, guna meredam semua penafisran negatif apa saja dan dari siapa saja, sebagai respon komunikasi dari orang lain.
Nah bagi saya, percayalah jika modal sikap mudah ‘memaafkan’ ini kita bisa lekas kita peroleh atas terapi komunikais ini. Dan akan bisa memberikan bekal bermanfaat dalam mengarungi keseharian kita berinteraksi sosial di dunia maya dan nyata sekalipun.
Di mana -sekali lagi- kita pastilah akan mudah UNTUK menyadari sebenar-benarnya, jika kebajikan bisa saja terbungkus dalam rangkaian komunikasi yang kita keluarkan, baik verbal dan non-verbal.
Dan semuanya itu akan bertujuan mulia dengan memproduksi banyak cinta kepada orang lain kan? Dan akhirnya –lagi- bisa mengurangi kesalahan persepsi komunikasi orang lain kepada kita, guna mereduksi konflik sesama, lewat prasangka positif saja.
2. Aktif Berkomunikasi kepada Tuhan YME
Dalam keyakinan beragama tentulah kita selalu didoktrin sedetail mungkin bagaimana seharusnya berinteraksi sosial di tengah masyarakat kan?
Artinya, dengan menghayati semua perintah Tuhan yang kita yakini itu, bisalah menjadikan kehati-hatian dan latihan efektif, guna menafsirkan hal positif yang terlontar dari komunikasi orang lain, terutama mampu menanggalkan persepsi negatif di dalamnya.
Komunikasi dengan Tuhan YME lewat lantunan doa dan menjalankan doktrin perintah agama, pastilah efektif menjadikan kita lebih berfikir. Selanjutnya menerapkan langkah tentang bagaimana mewujudkan keselamatan, cinta kasih diri sendiri dan sesama manusia.
Dan akhirnya bisa menjadikan terang-bederang soal hal mana yang salah dan benar yang ditafsirakan dalam sisi keyakinan agama kita tadi.
3. Berkomunikasi lewat keberhasilan adaptasi lingkungan di Masyarakat
Nah sampai titik ini, dua latihan berberkomunikasi diatas akan diuji keefektifitasnya dalam kehidupan harian kita. Dimana akhirnya kita bisa terlibat untuk tampil tangguh mengelola komunikasi kita terhadap orang lain di sekitar kita, dan dimana saja kan?
Terlebih kini kita hidup dalam alam demokrasi, yang sengaja memperlihatkan perbedaan untuk dikelola. Adaptasi pada pola berdemokrasi ini menjadi penting. Dimana penyampaian dan penerimaan komunikasi menjadi kunci untuk sama-sama mendapatkan persepsi yang sama.
Nah gaya-gaya berdialog secara verbal dalam berdemokrasi harus jua dipahami, dimana aktivitas ‘mendengarkan’ harusnya juga lebih dominan dan menjadi sangat berharga diterapkan.
Dan akhirnya ya bisa diharapkan menjadi jalan keluar sebagai cara pengelolaan masalah. Dalam hal ini memberikan potensi keberhasilan kita dalam beradaptasi pada lingkungan kita. Terutama adapatasi alam demokrasi yang menuntut komunikasi secara elegant dan dapat mudah ditafsirkan secara positif bersama-sama.
Yuk katakan cinta sekarang! Berani?
Nah akhirnya, kolaborasi terapi atas tiga komunikasi di atas, saya anggap bisalah memberikan pelajaran utuh, dan berhasil menjadi filter tangguh untuk segera menemukan hal negatif yang biasa ditularkan atas komunikasi bermedia sosial yang kita selalu andalkan kini.
Artinya, dengan komunikasi yang selektif memilah diksi-solutif akan menjadi alternatif terbaik dalam menyampaikan komunikasi non-verbal dan gestur kita tadi di media sosial.
Dan lewat komunikasi insentif tiga arah di atas, harapannya bisa lekas jua membiasakan kita pada gaya komunikasi tradisonal yakni verbal daripada non-verbal. Jika dihadapkan pada medium media sosial tentu hal ini juga mudah dilakukan kok, yakni memanfaatkan fitur digital, semisal video call atau voice-note selain fitur ngehit berbagi infomasi saja kan yang cenderung pasif.
Dengan pemilihan fitur berkomunikasi berbicara langsung –voice note- dan bertatap muka –video call- kepada lawan bicara kita. Semua pesan komunikasi tentu akan tertangkap utuh pada lawan bicara kita. Dan memudahkan kita untuk menyatakan ‘cinta’ kepada orang lain. Ya dalam konteks memberikan komunikasi solutif yang tidak menimbulkan potensi konflik kan?
Nah artinya, dengan hadirnya teknologi digital yang katanya menjadi tantangan kita kedepan. Pastilah kini kita akan sepakat, jika semua kecanggihan teknologi itu hadir memang untuk mempermudah komunikasi kepada orang lain. Bukan sebaliknya kan?
Mulai sekarang, tidak ada alasan lagi untuk tidak memulai katakan ‘cinta’ lewat media sosial yuk! Dan terus mempertahankan cinta tadi yakni pertemanan kita, guna terus menjalin keharmonisan kepada siapa saja. Tentunya dengan melakukan komunikasi verbal positif, lewat energi terbaik kita, yang mencipta persepsi positif, sebagai buah manis komunikasi kita. Bisa?
Credit Photo : Pexels.com
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.