[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #12
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #12](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Dua Belas
Seutas Benang Nyawa
Dalam hening malam yang sangat rapat melingkupi Bawono Kinayung, Paitun duduk diam di tepi pembaringan Pinasti. Menatap perawan sunti itu sembari membuang jauh-jauh kesedihan yang membelit hatinya.
Orang-orang yang pernah singgah di Bawono Kinayung selalu datang dan pergi. Selalu ada pertemuan dan perpisahan. Tapi Wilujeng dan Pinasti adalah sosok-sosok yang sangat istimewa baginya. Sosok-sosok yang sangat mengesankan.
Wilujeng sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Citra itu sudah muncul dengan jelas dalam benaknya. Membuatnya merasa lega. Tugasnya yang satu sudah selesai. Tinggal satu tugas lagi saat ini.
Pikirannya kemudian mulai bergerak. Menelusuri lorong-lorong kosong pikiran Pinasti. Dalam lorong-lorong kosong itulah ia mulai meninggalkan pesan-pesannya. Satu demi satu. Tapi sebelum ia mulai, terdengar beberapa kali dengking pendek dari arah luar pondok. Paitun mengerjapkan mata.
‘Masuklah, Janggo,’ ujar pikirannya.
Dalam hitungan detik, ajak raksasa itu sudah ada di samping pembaringan Pinasti. Janggo duduk dan menatap Paitun.
‘Nini tidak bohong, kan? Aku tak akan kehilangan Pinasti, kan?’
Paitun tersenyum sembari mengelus kepala Janggo.
‘Tentu saja tidak. Mana pernah aku berbohong padamu? Sebentar lagi prosesnya akan dimulai. Kamu boleh tetap di sini. Tapi kamu diam, ya? Sampai benar-benar selesai!’
Janggo pun mengangguk patuh. Paitun kembali mengheningkan diri dan menjelajahi pikiran Pinasti. Ia sama sekali tak boleh salah kali ini.
* * *
Taruno dan Misty sama-sama tersentak ketika mendadak saja ada kesibukan di dalam ruang ICU selewat tengah malam. Jantung keduanya berdebar kencang. Apalagi ketika tirai jendela viewing gallery ditutup dari dalam. Tanpa sadar, Taruno dan Misty saling menggenggam tangan. Keduanya tergeragap ketika seorang dokter keluar dari dalam ruang ICU dan datang menghampiri.
“Bapak, Ibu....” Dokter perempuan itu berucap halus. “Kami mohon maaf, kondisi Alma saat ini sangat kritis. Kami masih berusaha menstabilkannya. Tapi bila Bapak dan Ibu berkenan ingin mendampingi, kami persilakan.”
Misty tak tahan lagi. Tangisnya pecah dalam pelukan Taruno. Laki-laki itu memeluk erat istrinya. Membiarkan air matanya sendiri meleleh membasahi pipi sembari meratap dalam hati.
Ya, Tuhan... Jangan ada kehilangan lagi!
Keduanya belum lama memakamkan si sulung Alda. Baru beberapa hari lalu. Dan, kini si bungsu pun harus jatuh ke masa kritis setelah stabil berhari-hari?
Jangan, ya, Tuhan.... Jangan!
Dengan menguatkan hati dan menegarkan diri, Taruno kemudian membimbing Misty masuk ke dalam ruang ICU. Setelah melapisi diri dengan jubah steril dan masker, keduanya pun mendekati ranjang tempat putri bungsu mereka terbaring dengan berbagai alat medis tersambung ke tubuh.
Misty segera menggenggam tangan kanan putri bungsunya. Taruno berdiri di seberang Misty, menggenggam tangan lain sang putri. Dengan sedikit gemetar, Misty mengusap lembut kepala putrinya.
“Jangan pergi, ya, sayang...,” bisiknya. “Jangan tinggalkan Ayah dan Ibu. Jangan menyusul kakakmu.”
Sementara itu Taruno tak lagi sanggup mengatakan apa-apa. Ia masih belum bisa menerima seutuhnya kepergian si sulung karena ulah gadis tak waras yang ngebut dan membuat mereka berempat celaka, tepat pada hari ulang tahunnya. Kado yang teramat sangat pahit untuknya. Pelan, ia membawa tangan kecil itu ke depan wajah. Dengan lembut, dalam hening, ia hanya bisa menciumi punggung tangan anaknya yang masih tersisa seorang saja itu.
Tiba-tiba....
TIIIT....
Sebelum menyadari apa yang terjadi, dua orang perawat dengan lembut membawa Taruno dan Misty keluar dari ICU, agar dokter lebih leluasa melakukan tindakan. Misty sempat berontak dan meneriakkan nama putri bungsunya berkali-kali. Sekuat tenaga Taruno berusaha memeluk dan menenangkan Misty, kendati ia sebetulnya juga ingin melakukan hal yang sama.
Di luar ICU, keduanya kemudian berpelukan erat dan menangis tersedu.
* * *
Pinasti seolah-oleh melayang dalam ruang kosong luas dan gelap. Tak ada sedikit pun cahaya di sekitarnya. Tapi ada suara-suara yang terus berdengung dan menggema di telinga. Suara yang sama sekali tak dikenalnya, namun terasa akrab di hati.
‘Pinasti sayang, kamu akan segera kembali ke atas.’
Hah?
‘Pinasti sayang, tempatmu ada di dunia atas, bukan di sini.’
Maksudnya?
‘Pin, kehidupanmu akan berubah. Akan ada dua orang yang sangat menyayangimu. Ayah-ibumu. Kembalilah pada mereka.’
Ah....
‘Tapi kamu bukan lagi Pinasti. Namamu Zervia Almandine Garnet.’
Siapa?
‘Kamu akan mulai membiasakan diri dengan kehidupanmu yang baru. Selamat jalan, Pinasti sayang....’
Apa lagi ini?
‘Tapi sebagian jiwamu masih akan tertinggal di sini. Hanya sebagian kecil. Selebihnya milik kehidupanmu yang baru. Selamat belajar. Selamat jalan....’
Bersamaan dengan itu, ia melihat ada setitik cahaya di depan sana. Ia mencoba ‘berenang’ ke sana. Tapi tak perlu mengeluarkan tenaga. Cahaya itu seolah menyedotnya. Sangat kuat. Sekaligus terlihat makin terang dan makin terang.
Pada suatu detik cahaya itu begitu menyilaukan mata. Lalu kembali gelap begitu saja. Namun, tak lagi hening. Ada suara ritmis yang terdengar sangat teratur di dekatnya.
Ah! Kenapa lagi aku?
Dicobanya untuk membuka mata. Tapi sulit sekali. Seolah ada beban sekian ton membebani kelopak matanya. Maka, ia memutuskan untuk diam. Pada saat itu, terasa sekali ada udara segar yang disemburkan secara teratur memenuhi dadanya. Sekitarnya masih juga gelap.
Aduh.... Di mana lagi ini?
* * *
Paitun menghela napas lega ketika proses itu selesai. Sebagian besar jiwa Pinasti sudah menempati raga yang benar. Perawan sunti itu akan baik-baik saja, seperti yang dijanjikan Gusti. Perempuan itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tersenyum ketika melihat Janggo masih setia di tempatnya duduk tadi, di sisi pembaringan.
‘Nah,’ Paitun menatap Janggo. ‘Sekarang giliranmu untuk mendapatkan kembali Pinasti. Pesan Nini, jagalah Pinasti baik-baik, seperti kamu selama ini sudah menjaganya. Sayangi dia dengan segenap jiwamu. Janji?’
Janggo mengangguk sembari mendengking girang. “Aku janji, Ni. Akan kujaga Pinasti selamanya.’
Paitun kembali tersenyum sambil menepuk lembut kepala Janggo. Perempuan itu kemudian kembali memejamkan mata. Kedua tangannya terangkat, dan membuat lingkaran besar di udara. Kabut putih pun datang memenuhi bilik itu. Tebal, membuat segalanya tak lagi terlihat. Selama beberapa saat kabut itu mengambang di udara, sebelum akhirnya menipis dan menghilang.
Janggo hampir saja tak bisa menahan dengking riangnya ketika kabut itu seutuhnya bersih dari dalam bilik. Dengan mata berbinar, ia menatap pembaringan. Tangan Paitun turun perlahan. Berakhir dengan gerakan mengusap lembut kepala Pinasti.
Lalu, perawan sunti itu membuka mata. Bentuknya sudah berubah menjadi seekor ajak berwarna putih yang sangat cantik.
‘Selamat datang kembali, Pinasti sayang....’
Paitun memeluk ajak putih yang ukurannya sedikit lebih kecil daripada Janggo itu.
‘Nini? Janggo?’
Pinasti mengerjapkan mata sambil beringsut turun dari pembaringan. Janggo kini mendengking senang. Dengan kedua cakar depannya yang besar, dipeluknya Pinasti.
‘Pin, ayo, main!’
Pinasti pun menyambutnya dengan dengking riang. Paitun tersenyum lega ketika sepasang ajak itu berlari keluar dari pondok setelah berpamitan.
‘Semua berjalan dengan baik, Gusti. Saya siap menerima tugas baru lagi.’
Sayup-sayup, terdengar bunyi gemuruh guntur di kejauhan, diikuti lolongan bersahutan Janggo dan Pinasti.
* * *
Saat Dokter Kana memberitahu bahwa kondisi Alma kembali stabil, saat itu juga Taruno percaya bahwa keajaiban itu masih ada. Bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan dan mengabaikan permohonannya. Dipeluknya Misty erat-erat.
“Kita tidak akan kehilangan Alma,” bisik Taruno. “Perasaanku mengatakan begitu.”
Misty hanya mampu mengangguk-angguk tanpa suara. Malam yang baru saja mereka lalui benar-benar seperti malam terpanjang yang pernah mereka rasakan. Malam yang penuh kecemasan, malam bertabur harapan. Sekaligus malam yang menggulirkan kenyataan bahwa batas antara hidup dan mati Alma hanyalah setipis benang saja.
“Jujur, saya tidak bisa memperkirakan kapan Alma bisa sadar seutuhnya,” ucap Dokter Kana, halus. “Hal terbaik yang bisa kami semua di sini usahakan adalah mempertahankan kestabilan kondisi vitalnya. Melihat perkembangannya, saya tetap optimis. Tetap berdoa, ya, Bapak, Ibu.”
Taruno dan Misty sama-sama mengangguk dan menggumamkan terima kasih. Tirai jendela viewing gallery sudah kembali dibuka. Pelan-pelan, Taruno dan Misty melangkah mendekat. Dari balik kaca, keduanya bisa melihat cukup jelas bahwa Alma masih terbaring tak bergerak. Masih tetap tersambung dengan berbagai alat monitor dan penunjang kehidupan.
Misty menghela napas panjang. Tapi sebelum napasnya terembus habis, napas itu hampir berhenti. Misty membelalakkan mata. Diikuti dengan gerakan mengerjapkan dan mengucek matanya berkali-kali. Tapi apa yang dilihatnya tetap sama.
“Yah...,” bisik Misty, penuh getar, sekaligus menggoyangkan bahu Taruno beberapa kali. “Alma... melek...?”
Seketika Taruno menajamkan penglihatannya. Dan, Misty benar. Gadis kecilnya sudah membuka mata di dalam sana. Nyaris tanpa terkendali, Taruno meneriakkan nama Dokter Kana yang belum jauh meninggalkan mereka.
“Dokter Kana! Dokter! Alma bangun! Dokter Kana! Alma bangun! Lihat, Dokter! Alma bangun!”
Demi mendengar teriakan itu, Dokter Kana berbalik dan nyaris berlari masuk kembali ke ruang ICU.
* * *
Gelap yang ada di sekitarnya berangsur menjadi temaram. Sekali lagi ia mencoba menggerakkan kelopak matanya. Kali ini terasa lebih ringan. Ia mengerjap beberapa kali. Dari berbagai bayangan yang terlihat kabur dan bertumpuk-tumpuk, perlahan semuanya menjadi jelas walaupun seolah masih diliputi kabut.
Astaga... Ini apa lagi?
Ketika mencoba untuk bergerak, ia tak bisa. Seolah-olah seluruh tubuhnya terikat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ketika hendak bersuara, ia juga tak bisa. Ada benda asing yang menyumpal mulut dan tenggorokannya. Benda asing yang memompakan udara segar langsung ke paru-parunya secara ritmis. Yang bisa dilakukannya hanya memutar bola matanya. Menjelajahi ruang asing tempatnya kini terdampar.
‘Akan ada dua orang yang sangat menyayangimu. Ayah-ibumu.’
Suara itu menggema lembut di telinganya.
‘Namamu Zervia Almandine Garnet.’
Suara itu menggema lagi.
‘Kamu akan mulai membiasakan diri dengan kehidupanmu yang baru. Selamat belajar....’
Ia mengerjapkan mata. Pada saat itulah indra penglihatannya menangkap ada sosok asing dengan model busana tak dikenal berdiri begitu dekat dengannya.
“Alma....” Sosok itu bersuara lembut. “Alma.... Kamu dengar saya?”
Alma? Oh, Zervia Almandine Garnet, ia mengingatnya baik-baik. Jadi aku dipanggil Alma.
“Kalau kamu dengar saya, coba kedip satu kali, ya?”
Dengan patuh, ia mengerjap satu kali. Tiba-tiba saja seberkas sinar terang menghujam matanya. Kiri dan kanan. Refleks, ia memejamkan mata. Hingga beberapa saat, pendar sinar itu masih saja bermain di matanya.
“Alma, bisa buka matamu?” Suara lembut itu terdengar lagi.
Ia pun membuka matanya perlahan. Masih terasa ada sisa pendar sinar. Telinganya menangkap helaan napas lega.
“Tampaknya kamu memang sudah benar-benar bangun,” sosok di balik busana aneh itu bersuara lagi. “Selamat datang kembali, Alma....”
Ia kembali mengerjapkan mata.
* * *
Tak puas-puas Misty menatap wajah putri bungsunya yang kembali terlelap itu. Reaksi Alma bagus walaupun masih terhubung dengan berbagai alat medis. Tadi, sebelum beranjak pergi, Dokter Kana sudah mengatakan bahwa kondisi Alma benar-benar menakjubkan.
Ketika ventilator coba dihentikan, gadis muda cantik itu sudah bisa bernapas secara spontan. Dokter Kana pun memutuskan untuk melepaskan ventilator dari saluran pernapasan Alma. Tapi alat-alat yang lainnya belum, karena masih diperlukan untuk memantau kondisi gadis itu.
Alma belum boleh keluar dari ICU. Belum juga bersuara. Tapi sudah cukup memahami perkataan orang lain dan membalasnya dengan bereaksi mengerjapkan mata sesuai dengan yang diminta. Itu sudah lebih dari cukup buat Misty dan Taruno.
“Janji, jangan pernah tinggalkan Ibu dan Ayah, Nak,” bisik Misty, menggenggam erat telapak tangan kanan Alma.
Taruno mengelus lembut kepala putri bungsunya. Memar di kening dan pelipis bekas benturan keras itu dilihatnya sudah mulai pudar. Luka Alma memang tak separah Alda, kakaknya.
Alda terhimpit di antara meja dan dinding anyaman bambu yang terdorong dengan begitu keras dari arah luar warung. Dengan leluasa, api yang berasal dari ledakan mesin mobil tepat di balik dinding warung menyambar si sulung itu. Misty pun segera terkulai pingsan setelah berhasil menarik Alma dari kekacauan itu. Gadis bungsunya juga kena benturan tiang sudut warung yang terbuat dari gelondongan pohon kelapa. Taruno sendiri terkena hantaman tepi meja, tepat di ulu hati. Masih sadar bahwa ia harus menyelamatkan si sulung Alda. Tapi sebelum niatnya itu terlaksana, ia sudah tak ingat apa-apa lagi.
Kondisinya dan Misty tak terlalu parah. Hanya luka lecet dan sedikit memar yang cepat pulih. Tapi tidak dengan kedua putri tercinta mereka. Alda mengalami berbagai luka dalam dan sebagian tubuhnya terbakar. Hanya bertahan selama tiga hari di ICU. Segera berpulang begitu ia dan Misty mengikhlaskan kepergian si sulung itu, supaya tidak terlalu menderita karena luka-lukanya.
Setelah itu, satu-satunya harapan hanya jatuh pada si bungsu. Kondisi kritis gadis berusia tiga belas tahun itu membaik begitu sang kakak selesai dimakamkan. Tapi ia belum juga sadarkan diri. Kembali kritis beberapa hari kemudian, semalam, tapi secepatnya membaik kembali. Bahkan mulai bisa membuka mata, dan bisa bernapas spontan tanpa bantuan ventilator lagi.
Taruno menghela napas panjang. Ditatapnya Misty.
“Bu, ayo, kita pulang dulu,” bisiknya. “Alma tidak akan kenapa-kenapa. Dia kuat. Dia anakmu.”
Misty mengalihkan tatapannya dari sosok si putri bungsu. Sesungguhnya, ketenangan itu kini memenuhi hatinya. Ia percaya seutuhnya bahwa mereka tak akan kehilangan Alma. Hatinya mengatakan begitu. Dan, ia memercayai hatinya. Maka ia mengangguk. Sekali lagi ia menatap putri bungsunya.
“Ayah, lihat! Dia tersenyum,” bisiknya dengan hati serasa tercekat perasaan gembira.
Taruno pun mengikuti arah tatapan Misty. Benar! Seulas senyum manis menghiasi wajah pucat Alma. Ia pun ikut tersenyum.
“Dia akan baik-baik saja.” Taruno balas berbisik.
Tanpa suara, keduanya kemudian beranjak keluar dari ruangan itu. Membiarkan Alma terlelap untuk memulihkan kekuatan fisiknya. Membiarkan hangatnya sinar mentari menyapa tubuh lelah mereka pagi ini di luar rumah sakit.
* * *
Ia merasa kembali berenang-renang dalam ruang hampa yang remang-remang. Ketika ia melongok ke dalam hatinya, tak ada lagi banyak tanya yang tersisa. Ia belum mengenal betul kehidupannya kini. Tapi beberapa saat lalu, saat tatapan matanya bersirobok dengan tatapan dua pasang mata sosok berbusana asing yang mengajaknya bicara dengan suara sangat lembut dan penuh kasih, seketika itu juga ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja.
Diembuskannya napas lega. Kali ini ia ingin memberikan ruang bagi mimpinya untuk bermain kembali. Mimpi tentang seorang pangeran tampan yang membuatkannya aneka warna mahkota bunga.
‘Semoga suatu saat dia hadir dalam kehidupan nyatamu, Nduk....’ Tiba-tiba saja suara asing yang terasa menghangatkan hati itu menggema lembut di telinganya. ‘Bisa menjagamu, bisa menyayangimu.’
Ia kembali tersenyum. Menikmati mimpi dan keheningan yang membuainya dalam perasaan damai.
* * *
(Bersambung hari Kamis)
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.