[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #9
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #9](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Sembilan
Ketika Detik
Terus Merayap
“Nanti malam, waktunya Kresna kembali ke atas.”
Suara halus Paitun itu disambut keheningan. Seketika rasa makanan yang mereka nikmati saat sarapan itu berkurang lezatnya. Kresna tercenung. Wilujeng tertunduk. Pinasti mengheningkan diri.
Ketiganya tahu, pada saat yang tepat nanti mereka akan bertemu kembali. Tapi kenapa rasa kosong itu sudah dimulai dari sekarang? Pelan, Pinasti mengalihkan arah tatapannya. Menjatuhkannya pada Kresna. Pada detik yang sama, tatapan Kresna pun terarah padanya. Benak keduanya terkunci pada satu gelombang yang sama.
‘Aku akan merindukanmu....’ Kresna mengerjapkan mata. ‘Sangat merindukanmu.’
‘Siapa lagi yang akan membuatkan aku mahkota bunga?’ Tatapan Pinasti berlumur duka.
‘Aku akan membuatkan yang paling bagus saat kita bertemu lagi kelak.’
‘Janji?’
Kresna mengangguk samar. ‘Janji!’
‘Ya, aku percaya.’ Pinasti tersenyum samar.
Kresna tak mau membuang kesempatan itu begitu saja. Segera disimpannya senyum samar Pinasti dalam lipatan hatinya.
Gelombang itu buyar begitu Paitun berdehem ringan. Pinasti dan Kresna sama-sama mengalihkan tatapan.
“Nikmatilah hari ini,” ucap Paitun dengan nada bijak. Menatap Pinasti dan Kresna bergantian.
Pinasti dan Kresna mengangguk serempak. Keduanya segera menyelesaikan sarapan agar bisa segera menikmati hari terakhir mereka berdua di padang bunga. Wilujeng sudah menyiapkan sebuah keranjang rotan penuh berisi makanan dan minuman untuk bekal Pinasti dan Kresna.
Tanpa banyak membuang waktu, keduanya kemudian berpamitan. Kresna menggandeng Pinasti erat-erat. Perawan sunti cantik itu mengenakan mahkota bunga berwarna merah-biru yang kemarin sore dibuatkan Kresna, senada dengan gaun sederhana yang dipakainya pagi ini. Keduanya berjalan pelan-pelan, menikmati keteduhan pagi di bawah kubah Bawono Kinayung.
Pinasti membawa Kresna ke sebuah gua di tengah-tengah hutan bambu kuning yang kemarin dilewati Kresna saat diajak memancing oleh Tirto. Lorong gua gelap dan lembap itu tidaklah panjang. Ujungnya adalah ruangan semacam cerobong tinggi yang membuka ke atas. Dindingnya terbuat dari ribuan batu pipih kecil berwarna abu-abu gelap yang tersusun dengan sangat rapi. Dasar cerobong itu terlihat basah dan ditumbuhi beberapa teratai. Bunga-bunganya mekar indah di tengah daun-daun lebar yang menutupi seluruh dasar cerobong.
“Sini, Mas.” Pinasti dengan lembut menarik tangan Kresna.
Pemuda itu menurut saja, karena benar-benar buta dengan berbagai kondisi ajaib di Bawono Kinayung.
Benar saja! Pinasti membawanya mendekati sebuah daun teratai terlebar di tengah dasar cerobong, dengan melompat-lompat melalui daun teratai lainnya. Diameter daun terlebar itu kira-kira satu meter. Lalu, Pinasti berdiri di tengah daun itu bersama Kresna. Tangannya masih erat menggenggam tangan Kresna.
Kemudian, dengan sangat lembut Pinasti berucap, “Nyai Padma yang baik, tolong, bawa kami ke atas.”
Sebelum Kresna menyadari apa yang terjadi, ia dan Pinasti seolah melayang naik hingga sampai di puncak cerobong, dengan kaki masih tetap menapak pada daun teratai. Kresna hanya bisa ternganga. Dan, lebih ternganga lagi ketika mereka sudah sampai di atas.
Pinasti kembali menarik tangannya. Perawan sunti itu melompat lincah keluar dari cerobong sambil mengucapkan terima kasih. Kresna tak bisa berbuat lain kecuali menuruti Pinasti.
Mereka kini ada di tengah padang bunga yang demikian indah. Bunga-bunga aneka jenis dan warna seolah menonjolkan seluruh keindahan mereka secara acak. Aneka bentuk dedaunan pun turut memamerkan diri di tengah hamparan bunga mekar. Kresna nyaris lupa caranya mengedipkan mata. Pinasti pun tersenyum ketika mendapati wajah Kresna seutuhnya dikuasai oleh rasa takjub. Dibiarkannya pemuda itu memuaskan mata menatap sekeliling. Hingga kemudian tatapan matanya jatuh pada Pinasti.
“Ini....” Kresna betul-betul kehilangan kata.
Pinasti mengangguk. Tersenyum samar. Kresna kembali menatap berkeliling. Matahari mulai menyapa padang bunga itu dengan kehangatan sinarnya. Sisa-sisa embun yang masih enggan menguap memantulkan kerlip indah bagaikan kristal yang bertaburan di padang itu.
Kembali, Kresna berusaha merekam baik-baik pemandangan itu dan menyimpannya dalam hati. Dengan halus, Pinasti kemudian menarik tangan Kresna. Ada sebuah gundukan tanah berlapis rumput hijau yang cukup tinggi di bawah sebuah pohon beringin besar di dekat mereka. Ke tempat itulah Pinasti membawa Kresna duduk, setelah mendaki lewat tumpukan batu yang tertata rapi. Dari ketinggian itu, indahnya padang bunga terlihat dengan begitu jelas. Angin sepoi datang menyapa.
“Ya, Tuhan.... Seperti inikah Surga?” desahnya. “Indah sekali!”
Pinasti tersenyum. Ia senang karena Kresna kelihatannya juga sangat menyukai tempat itu. Pemuda itu kemudian menoleh ke arah Pinasti.
“Tempat ini tak terlihat dari puncak Gunung Nawonggo,” ujarnya.
“Kata Nini terlihat, kok,” Pinasti menanggapi. “Tapi hanya tampak seperti padang bunga putih kekuningan kecil-kecil. Bunga abadi. Edelweiss.”
Seketika Kresna memahaminya setelah sempat sejenak terpana. Padang bunga edelweiss jauh di bawah puncak Gunung Nawonggo, ia pernah melihatnya. Tetap sebagai sebuah tempat terhampar di kejauhan yang tak terjangkau karena dilingkari jurang dan tak ada jalur yang bisa mengarah ke sana. Dihelanya napas panjang. Kembali ditatapnya Pinasti.
“Pin...,” ucapnya kemudian. Ragu-ragu. “Di ‘atas’ tempatnya tidak sebagus ini. Dunia begitu sibuk dan bergerak cepat seiring urusannya sendiri-sendiri. Kalau aku boleh memilih, aku ingin tinggal di sini. Bersama Ibu. Bersamamu. Tapi garis kehidupan kita kelak ada di ‘atas’.”
Pinasti tertunduk. Kresna mengulurkan tangannya. Membelai rambut Pinasti yang tergerai indah.
“Aku benar-benar berharap kita bisa bertemu lagi nanti,” bisik Kresna. “Aku sayang sekali padamu. Bukan sebagai abang terhadap adiknya. Mungkin kamu masih terlalu muda untuk memahami. Tapi aku ingin kamu menyimpan perasaan ini dalam hatimu. Sehingga kelak kita masih bisa saling mengenali saat bertemu.”
Pinasti mengangguk dalam hening. Lembut, tangan Kresna mengangkat dagunya. Mereka bertatapan. Saling merekam sorot mata dan senyum yang terkembang samar, dan menyimpannya dalam hati. Pelan, Kresna mengecup kening Pinasti, kemudian merengkuh bahunya.
Pinasti merasakan sebuah kedamaian dalam hatinya. Aman, nyaman, damai. Semua itu selalu dirasakannya seumur hidup di Bawono Kinayung. Tapi yang dirasakannya sekarang adalah sesuatu yang ‘lebih’.
Bersama-sama keduanya menikmati keindahan padang bunga itu dalam hening. Sementara benak mereka menari-nari pada gelombang yang sama. Saling bertukar rasa. Saling bertukar cerita. Membiarkan detik terus merayap hingga waktu habis bagi kebersamaan mereka.
* * *
Saijan sedang sibuk melayani beberapa pembeli di toko bahan obat herbalnya ketika seorang laki-laki menyelinap masuk melalui pintu depan. Sejenak Saijan mengalihkan perhatian. Tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki itu. Keduanya mengangguk samar bersamaan. Laki-laki itu kemudian menyisihkan diri ke sebuah sudut yang ada mejanya, dan duduk di kursi yang ada di depan meja itu. Dilepaskannya topi laken yang menutupi kepalanya. Kini terlihat bahwa laki-laki itu ternyata berambut gondrong putih mengilat yang diikat rapi ke belakang.
Saijan segera menyelesaikan urusan dengan pembeli yang tengah dihadapinya. Selanjutnya ia menyerahkan urusan pembeli lainnya pada asistennya. Dihampirinya laki-laki berambut putih itu. Dan, ia duduk di belakang meja.
“Ada kabar apa, Bon?” tanya Saijan tanpa basa-basi.
“Aku bawa pesan dari Nini,” jawab laki-laki itu dengan suara berat yang terdengar lirih dan rendah. “Nanti malam akan ada orang yang dikirim Nini ke kaki Gunung Nawonggo. Jemput dia, antarkan ke polisi. Bilang kamu menemukannya di hutan saat kamu cari tumbuhan obat.”
“Di mana tempatnya?”
“Nanti kamu akan tahu. Berangkatlah sebelum matahari terbenam. Lewati jalur Sembrani. Di sana aku akan menuntunmu.”
Saijan mengangguk paham.
“Ya, katakan pada Nini, aku siap.”
Laki-laki berambut putih itu kemudian berpamitan. Sekeluarnya dari kedai obat Saijan, ia berjalan lurus ke arah timur, kemudian berbelok memasuki jalan setapak sepi ke arah sebuah bukit. Sebelum mencapai puncak bukit itu, ia melompat masuk ke dalam rumpun semak putri malu.
Lalu, sekelebat ada sosok hewan besar yang makin menghilang dalam rimbunan semak dan kedalaman hutan. Seekor ajak besar berbulu putih. Yang segera disambut dengan dengking pendek-pendek kawanannya.
* * *
Wilujeng menciumi sehelai kaus oblong Kresna yang semalaman dipakai pemuda itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun menyisihkan kaus itu dari tumpukan baju yang hendak dicucinya.
Mungkin tak akan berguna bagiku, tapi buat Pinasti.
Perempuan itu mengerjapkan mata. Kaus yang disisihkannya tadi masih menyisakan aroma harum musk deodoran yang selalu dipakai Kresna. Sudah tak murni lagi karena berbaur dengan sisa aroma tubuh pemuda itu. Justru itu yang menimbulkan ‘aroma khas Kresna’, yang semoga saja masih berguna bagi Pinasti.
Segera diselesaikannya pekerjaan mencuci baju itu. Saat menjemur baju terakhir, ada rangkaian dengking pendek yang terdengar makin mendekat. Wilujeng menoleh sekilas.
‘Cari Emak, Bon?’ sambut Wilujeng ramah. ‘Emak sedang ke ladang.’
‘Kalau begitu aku titip pesan saja, Mbak,’ sahut Bondet. ‘Sudah kusampaikan pesan Nini pada Kang Saijan.’
‘Baiklah,’ senyum Wilujeng. ‘Terima kasih banyak.’
‘Mm.... Setelah Kresna, berikutnya Mbak Jeng,’ suara berat Bondet terdengar seperti gumaman. ‘Lalu Pinasti. Bawono Kinayung akan kembali sepi.’
Wilujeng menghela napas panjang. ‘Emak bilang, selalu ada orang baru, Bon. Semoga kamu bisa berteman juga dengannya.’
‘Janggo pasti akan kehilangan Pinasti.’
Wilujeng kembali tersenyum. Menggeleng. ‘Tidak. Janggo tidak akan kehilangan Pinasti.’
‘Ah, Nini selalu punya cara.’ Bondet menggeleng samar.
Tak lama kemudian ajak putih itu pun berpamitan. Wilujeng melepasnya dengan lambaian tangan.
* * *
Matahari sudah menggelincir ke barat. Menghilang di balik punggung jajaran tebing tinggi di seberang padang bunga. Diam-diam Kresna mendesah.
Pada ujungnya, hari indah ini harus berakhir juga.
Pemuda itu menghela napas sambil tertunduk. Pelan, Pinasti mengulurkan tangan. Digenggamnya hangat jemari Kresna.
“Kita pulang, Mas,” bisiknya.
Kresna hanya bisa mengangguk. Ia meraih keranjang rotan yang sudah rapi dan ringan. Beriringan keduanya menuruni gundukan tanah berumput itu, kemudian melangkah mendekati bibir cerobong yang menyerupai sumur bila dilihat dari luar. Pinasti melongokkan kepalanya ke dalam cerobong itu.
“Nyai Padma yang baik, bolehkah kami turun sekarang?” Suara Pinasti menggema lembut dalam cerobong itu.
Tak butuh waktu lama, dari arah dasar cerobong muncul sehelai daun teratai lebar yang seolah melayang. Pinasti meraih tangan Kresna, dan keduanya pun melangkahi bibir cerobong. Dalam hening, keduanya berdiri di atas daun teratai itu. Pelan-pelan, daun itu melayang turun hingga kembali ke dasar cerobong.
“Terima kasih, Nyai Padma yang baik,” ucap Pinasti sebelum melompat ke daun teratai lain.
Sama seperti pagi harinya, Pinasti dan Kresna melompat-lompat dari satu daun teratai ke daun lainnya untuk melintasi dasar cerobong, hingga sampai di mulut lorong. Lalu, keduanya melintasi lorong hingga sampai ke hutan bambu kuning.
Sampai di tengah jembatan kecil, mendadak saja Kresna berhenti. Pinasti pun turut membekukan langkahnya. Ia menoleh. Dilihatnya Kresna seperti tercenung dalam diamnya di tengah remang menjelang senja. Pada satu titik, pemuda itu seperti tersadar. Ia mengangkat wajah dan menatap Pinasti.
“Ini... senja terakhirku di sini,” Kresna mendegut ludah. “Aku... bolehkah aku... memelukmu, Pin?”
Pinasti tercenung sejenak sebelum mengangguk dengan wajah ragu-ragu. Hanya dalam waktu sepersekian detik, tubuh mungilnya sudah tenggelam dalam pelukan hangat Kresna.
Pinasti memejamkan mata ketika rasa itu menghampirinya lagi. Nyaman, damai, tenteram. Pelan, ia mengangkat kedua lengannya. Balas memeluk Kresna. Jantungnya mulai berdetak makin kencang. Dan, tanpa bisa dikendalikan lagi, getaran dari dalam dirinya muncul dan menguat begitu saja. Meloncat keluar dalam bentuk sengatan yang membuatnya dan Kresna sama-sama tersentak dan saling melepaskan pelukan.
Alih-alih marah, Kresna justru tertawa. Sengatan bagai aliran listrik itu tak lagi menyakitkan baginya. Bahkan dirasa membuatnya sedikit geli. Ditatapnya Pinasti, yang tertunduk dengan wajah bersemu merah. Dielusnya kepala Pinasti dengan lembut.
“Kuharap aku masih bisa menyimpan semua ini dalam hatiku, Pin,” bisiknya lembut.
Pinasti hanya bisa mengangguk. Balas berbisik, “Sampai bertemu lagi, Mas.”
Kresna mengangguk juga dengan hati terasa entah. Dihelanya napas panjang.
“Yuk, pulang.” Kresna meraih tangan perawan sunti itu.
Dengan beriringan keduanya kembali ke pondok Paitun melalui bagian belakang.
* * *
Saijan mulai meluncurkan mobil jeep-nya beberapa saat sebelum matahari terbenam sempurna. Ia sudah beberapa kali berurusan dengan penemuan kembali orang yang pernah hilang di Gunung Nawonggo. Polisi yang terlibat dalam pengembalian orang hilang pada keluarganya sudah tak heran lagi dengan kemampuan ‘lebih’ yang dimiliki Saijan.
Laki-laki itu bersih sebersih-bersihnya walaupun diperiksa dengan cara apa pun. Ia hanya sekadar perantara pengembalian. Entah bagaimana pula caranya. Pada akhirnya, yang penting adalah ada orang hilang yang berhasil bertahan hidup dan bisa kembali pada keluarganya.
Pada sebuah pertigaan di kaki sebuah bukit, Saijan mengambil arah ke kiri. Masuk ke sebuah jalan tak beraspal yang terus menanjak. Ada beberapa rumah penduduk di kedua tepi jalan itu. Satu sama lain berjarak cukup jauh. Dan, jalur Sembrani dimulai di akhir jalan itu.
Ada sebuah pos pemangku hutan di ujung jalan itu. Saijan pun membelokkan jeep-nya masuk ke halaman pos itu. Begitu ia berhenti dan mematikan mesin mobil, seseorang keluar dari dalam pos serupa rumah tinggal itu.
“Pak Jalu!” sapa Saijan. “Selamat sore!”
Laki-laki bernama Jalu itu membalas sapaan Saijan dengan jabat tangan erat.
“Tumben mau masuk malam-malam begini, Pak Jan?”
“Iya, nih! Ada yang pesan biji dan kulit kedawung. Saya sibuk seharian tadi. Jadi baru bisa masuk sekarang. Boleh, kan, Pak Jalu?”
Saijan adalah salah satu dari beberapa pencari tumbuhan hutan untuk obat yang punya izin bebas untuk memasuki hutan Gunung Nawonggo. Maka Jalu pun mengangguk sambil berpesan agar Saijan berhati-hati. Saijan berpamitan setelah menitipkan mobilnya pada Jalu. Dengan berbekal sebuah helm bersenter yang bertengger di kepala dan peralatan yang cukup lengkap untuk bermalam di hutan, Saijan pun mulai memasuki jalan setapak yang dimulai di samping kanan pos penjagaan, mengarah masuk ke dalam hutan.
* * *
Suasana makan malam di sekeliling meja kecil itu berlangsung senyap. Berkali-kali Pinasti menghindari tatapan Kresna yang lebih banyak jatuh padanya. Jantungnya berdebar nyaris tak beraturan. Betapa dekatnya mereka pada ujung perpisahan.
Sedikit demi sedikit, Paitun mulai mengurai kesedihan yang menguar dalam ruangan itu. Pelan-pelan, energi kelabu yang mengambang di sekeliling mereka diserap dan dibuangnya jauh-jauh.
“Jadi kamu sudah siap untuk kembali, Kres?” Wilujeng mengulas senyum tipis.
Kresna mengangguk sambil melepaskan tatapannya pada wajah Pinasti. “Ya, Bu. Dengan seizin Nini tentunya.”
“Memang sudah waktunya bagimu untuk kembali,” timpal Paitun dengan nada ringan. “Gusti sudah menggariskan begitu.”
Kresna kembali mengangguk. Rasa rindu rumah itu pelan-pelan muncul dalam hatinya. Pada ayahnya. Pada Seta. Pada kehidupannya semula.
“Sekali lagi kukatakan, Kres, aku akan menghapus ingatanmu sebelum kamu kukembalikan lagi ke ‘atas’.
“Iya, Ni.” Kresna menanggapi dengan nada patuh.
Seusai makan, keempatnya duduk-duduk di beranda depan pondok Paitun. Nyai Sentini, Randu, Kriswo, dan Tirto pun datang bergabung. Ingin mengucapkan salam perpisahan pada Kresna. Paitun terus-menerus menyerap dan membuang energi kelabu yang membersit di sekitar, sehingga obrolan ringan mereka terasa menyenangkan.
Pada satu detik, Pinasti mulai menguap. Wilujeng menyuruhnya tidur, dan perawan sunti cantik itu pun menurut. Kresna sudah akan mengucap salam perpisahan, tapi Pinasti keburu masuk. Dihelanya napas panjang.
“Nah, Kres, waktunya sudah tiba,” ucap Paitun lembut. “Secepatnya kamu akan bertemu kembali dengan ibumu di ‘atas’ sana.”
Kresna mengangguk dengan berat. Ditatapnya Wilujeng. Perempuan itu memeluknya erat. Menciumi wajahnya beberapa kali tanpa berkata apa-apa.
“Kuambilkan tasmu.” Wilujeng kemudian berdiri.
“Biar aku saja, Bu,” Kresna buru-buru mencegah. “Biar kuambil sendiri.” Ia kemudian menatap Paitun. Terlihat malu-malu. “Ni..., mm... bolehkah aku... mencium Pinasti... untuk... terakhir kali?”
Paitun tersenyum. Ia mengangguk. Kresna pun buru-buru masuk dan melangkah ke bilik Wilujeng dan Pinasti, bersamaan dengan tangan kanan Paitun membuat lingkaran besar di udara dan meniup lingkaran itu. Pada detik itu juga, ingatan Pinasti tentang Kresna terhapus sempurna.
Kresna menarik napas panjang sebelum memantapkan langkah untuk masuk ke bilik. Pinasti tampak tergolek dengan wajah damai di atas pembaringan. Sehelai selimut katun putih menutupi sebagian tubuhnya. Pelan Kresna mendekatinya.
Sampai jumpa lagi, Cantik.... Aku akan menunggumu....
Dengan sangat lembut, dikecupnya kening dan kedua pipi Pinasti.
Sementara itu, Pinasti yang sudah terlelap tengah memimpikan suasana indah padang bunga. Ia tak sendirian berada di sana. Ada seorang pangeran tampan menemaninya. Menganyam mahkota bunga dengan tangannya yang terampil. Lalu, pangeran tampan itu mencium lembut keningnya dengan penuh rasa sayang, sekaligus memahkotainya dengan rangkaian bunga indah.
Kresna melihat Pinasti tersenyum manis dalam tidurnya. Ia sungguh berharap, perawan sunti itu tengah memimpikannya. Dihelanya napas panjang sebelum keluar tanpa suara dari bilik itu.
Tanpa suara pula, Kresna mengambil ranselnya di bilik depan. Sejenak ia menatap berkeliling tempat itu. Tempat yang sudah memberinya kesempatan hidup yang kedua. Tak lama, ia pun melangkah kembali ke beranda depan. Siap tak siap, ia harus meninggalkan tempat itu.
“Akan ada yang menemukanmu nanti,” ucap Paitun begitu Kresna kembali duduk di sebelah Wilujeng. “Tirto akan mengantarmu.”
Kresna mengangguk sambil mulai berpamitan pada semua yang ada di situ, satu demi satu. Terakhir, dipeluknya Wilujeng.
“Aku pulang dulu, Bu,” bisiknya. “Sampai bertemu lagi.”
Wilujeng mengangguk sambil melepaskan pelukannya. Paitun mengulurkan tangannya pada Kresna. Pemuda itu pun menyambut jabat tangan hangat Paitun. Tapi begitu tangannya ada dalam genggaman tangan Paitun, kegelapan menyergapnya. Ia lunglai begitu saja, tapi dengan cepat ditangkap oleh Tirto.
Tirto segera menggendong Kresna, sedangkan Wilujeng cepat-cepat mengikatkan ransel Kresna pada punggung kukuh Janggo. Setelah berpamitan, keduanya pun menghilang dalam kegelapan malam.
Sepeninggal Tirto dan Janggo, secara tersamar, tangan Paitun mengelus punggung Wilujeng. Perempuan itu terlihat sedikit tersentak. Sedetik kemudian ia mengerjapkan mata.
“Mana ubi kukusnya?” celetuk Paitun tiba-tiba.
“Oh, iya! Sebentar kuambilkan dulu.”
Wilujeng dengan cepat melangkah masuk ke dalam pondok. Ingatannya akan keberadaan Kresna selama beberapa hari di Bawono Kinayung pun sudah terhapus sempurna.
* * *
Dengan kekuatan lebihnya sebagai seorang manusia abadi, Tirto membawa tubuh Kresna masuk ke dalam hutan bambu kuning. Pada sebuah pertigaan tersamar, ia berbelok ke kanan, masuk ke jalan setapak, dan terus menyelinap melalui rapatnya rumpun-rumpun bambu kuning. Janggo mengikuti langkahnya dengan setia.
Ujung jalan setapak itu adalah sebuah batu besar yang berdiri tegak dan kukuh. Tirto berhenti sejenak. Kemudian, dengan suara berat yang terdengar sopan, ia berucap, “Ki Selo Giri yang baik, tolong, biarkan kami lewat.”
Tanpa suara, batu besar itu menggelinding ke samping. Membuka mulut sebuah gua yang berbentuk lorong gelap berliku. Kali ini, Tirto membiarkan Janggo berjalan di depan. Memilih jalur yang benar untuk menuju ke ‘atas’. Mereka melewati bagian gua yang berlumut tebal, menyeberangi sungai dalam tanah yang kecil dan dangkal, berbelok masuk ke cabang sebuah lorong, keluar di ujung lorong, masuk ke lorong lainnya, begitu seterusnya.
Akhirnya mereka sampai juga di ujung. Ada dinding masif di depan mereka. Janggo menyentuh dinding itu dengan ujung hidungnya. Dinding itu pun terbuka pelan-pelan, tanpa suara. Bagian luar dinding itu – yang ada di sebuah tebing – tertutup juntaian akar beringin yang cukup rapat. Tapi dengan mudah Janggo dan Tirto menyelinapkan diri pada sela-sela juntaian akar itu.
Kini, mereka sudah ada di ‘atas’. Dengan lincah Janggo terus melangkah diikuti Tirto. Tak ada jalan setapak apa pun di daerah itu. Hanya ada pepohonan besar yang tumbuh rapat. Janggo dan Tirto menyelinap di antara pepohonan itu, hingga mencapai sebuah jalan setapak.
Di sekitar jalan setapak itu sudah menunggu Bondet dan kawanannya. Dengan sangat hati-hati, Tirto membaringkan tubuh Kresna di atas rumput di tepi jalan setapak. Setelah itu, ia melepaskan ikatan ransel di atas punggung Janggo, dan meletakkannya di sebelah kepala Kresna.
‘Tugasku sudah selesai.’ Tirto menatap Bondet.
Ajak putih itu mengangguk. ‘Aku akan segera menuntun Saijan ke sini. Anak-anak akan menjaga Kresna.’
Setelah berpamitan, Tirto dan Janggo kembali menyelinapkan diri di antara pepohonan. Makin menghilang ke kedalaman hutan. Hampir bersamaan dengan itu, Bondet pun meninggalkan kawanannya untuk mencari Saijan. Dengan sikap patuh tapi tetap waspada, empat ekor ajak berwarna coklat kemerahan dengan ukuran wajar duduk mengelilingi tubuh Kresna. Menunggu kedatangan penjemputnya.
* * *
Sambil menunggu kehadiran Bondet, Saijan menguliti pohon kedawung yang ditemuinya di sepanjang jalan setapak. Senter di kepalanya cukup terang sehingga ia bisa melakukan pekerjaan itu dengan mudah. Pun ketika ia harus mengumpulkan biji kedawung yang jatuh ke tanah.
Bondet datang ketika Saijan merasa bahwa kulit dan biji pohon kedawung yang dikumpulkannya sudah cukup. Bondet menandai kehadirannya dengan dengking pendek beberapa kali. Saijan menoleh dan mendapati bahwa ajak putih besar itu sudah ada di dekatnya.
‘Sudah siap, Kang?’ tanya Bondet, menembus pikiran Saijan.
Laki-laki itu mengangguk. Ia mengikuti langkah Bondet menyusuri jalan setapak. Kali ini ke arah bawah, tidak terus ke atas. Rupanya Kresna diletakkan di antara posisi terakhir Saijan dan pos pemangku hutan tempat laki-laki itu meninggalkan kendaraannya.
Tak jauh mereka melangkah, di dekat sebuah belokan, tubuh Kresna yang terbaring pun dapat segera dilihat Saijan. Kawanan ajak yang menjaga tubuh itu pun menyingkir begitu Bondet dan Saijan muncul.
‘Nah, Kang, kuserahkan pemuda ini padamu.’
‘Baik, Bon. Terima kasih banyak atas perlindungan kalian. Salamku untuk Emak dan semua di Bawono Kinayung.’
Bondet mengangguk, kemudian mengajak kawanannya menyingkir sambil melolong beberapa kali. Ketika gema lolongan itu memudar di udara, Saijan pun membangunkan Kresna. Digoyangkannya tubuh pemuda itu.
“Dik., Dik, bangun, Dik.... Bangun.... Dik, bangun....”
Mata pemuda itu pun mulai mengerjap beberapa kali.
* * *
Tiba-tiba saja Kresna merasa seperti tergulung sebuah lorong gelap yang sangat panjang dan dalam. Bayang-bayang peristiwa yang dialaminya beberapa detik lalu seolah menghantui dan mengejarnya dari belakang. Susah payah ia berusaha berlari, tapi bayang-bayang itu tetap mengikuti. Bayang-bayang berbentuk Alex yang mendorongnya sekuat tenaga ke arah jurang. Tapi anehnya, ia tak jatuh terhempas. Ia merasa tubuhnya jadi ringan terayun-ayun selama beberapa lama. Dan, ia kembali terjebak di lorong gelap itu. Bersama dengan serangkaian film bisu tentang dirinya sendiri. Terulang berkali-kali.
Selama beberapa waktu situasi itu membungkus rapat tubuhnya. Hingga ada dengung-dengung yang ia tak bisa menangkap maksudnya. Diakhiri dengan lolongan-lolongan panjang yang mendirikan bulu kuduk, terdengar begitu dekat dengan telinganya.
Samar-samar, ia merasa tubuhnya tergoyang-goyang. Ada cahaya juga yang menembus kelopak matanya. Ia mulai mengerjap, berusaha membebaskan diri dari rasa berat yang mengganduli kelopak matanya. Ketika ia membuka mata, cahaya terang itu begitu saja menerjang matanya. Membuatnya serasa buta sejenak. Ia mengeluh pendek.
Saijan yang menyadari bahwa sorot senternya terarah pada Kresna, segera mengalihkannya. Kresna kembali mengerjap beberapa kali.
“Akhirnya kamu bangun juga,” desah Saijan. Lega.
Mata Kresna kembali terbuka lebar. Gelap mengepungnya, dengan sedikit berkas cahaya yang berasal dari lampu senter. Seketika Kresna bangun dan terduduk. Digelengkannya kepala beberapa kali untuk mengusir pening. Ketika matanya menangkap kehadiran seseorang asing di dekatnya, Kresna tanpa sadar bergeser menjauh.
“Bapak siapa?” tanyanya dengan nada panik. “Ini di mana? Apa yang terjadi?”
Saijan menatap Kresna dalam kegelapan. “Kamu sendiri siapa, Dik? Kenapa ada di sini sendirian?”
Kresna ternganga.
* * *
Diam-diam Saijan merasa lega. Dari penuturan pemuda itu, tampaknya hal terakhir yang diingatnya adalah peristiwa jatuhnya ia ke dalam salah satu jurang Gunung Nawonggo di jalur selatan.
Bawono Kinayung tetap aman.
“Hmm....” Saijan terus menyetir mobilnya. “Itu tadi jalur Sembrani namanya. Jalur biasa di sebelah timur Gunung Nawonggo yang tidak bisa mencapai puncak karena berakhir di bibir Jurang Doblang. Diperkirakan jurang itu dalamnya lebih dari seratus meter. Biasanya jalur tadi hanya dipakai penduduk sekitar sini untuk mencari kayu bakar, atau orang-orang seperti aku yang butuh bahan dari alam untuk obat.”
“Kenapa saya bisa sampai di sana?” gumam Kresna, masih setengah linglung. “Tanpa luka pula.”
“Yah, aku tidak tahu. Aku hanya mencari bahan obat ini tadi. Ketika turun lagi, kutemukan kamu begitu saja. Sudah tergeletak di tepi jalan setapak.”
“Hmm... Ngomong-ngomong, ada anjing liar di hutan Gunung Nawonggo, ya, Pak?”
“Oh, banyak, Dik Kresna.” Saijan mengangguk. “Ajak jenisnya. Semacam rubah.”
“Saya dengar lolongannya tadi. Entah benar atau mimpi.”
Saijan memilih untuk tidak menanggapi gumaman Kresna itu. Ia kemudian membelokkan jeep-nya ke kantor polisi terdekat di sektor Sembilangan yang terletak di timur Gunung Nawonggo. Setelah menceritakan kronologi penemuan Kresna, Saijan pun berpamitan. Tak lupa, ditepuknya bahu Kresna.
“Dik, ini sudah jadi urusan polisi, ya,” ucap Saijan. “Mereka yang nanti akan mengantarmu pulang setelah laporan percobaan pembunuhanmu selesai mereka rekap. Aku pamit dulu.”
Kresna mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Sepeninggal Saijan, seorang polisi berwajah ramah mengulurkan segelas teh hangat padanya.
“Nah, Dik, sekarang ceritakan pada kami sedetail-detailnya tentang perjalananmu,” ujar polisi itu. “Setelah itu, kami akan berkoordinasi dengan sektor Sumpiang tempatmu mulai mendaki di selatan, dan sektor Palaguna Kota tempatmu berasal, untuk pengantaranmu pulang ke rumah.”
Kresna pun mengangguk dan mulai bertutur, sembari sesekali menyesap teh hangatnya.
* * *
(Bersambung hari Kamis)
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.