BATAL MUDIK

lockdown

BATAL MUDIK
foto jadul

BATAL MUDIK

 

“Katanya Bayine perempuan lagi buk “ ; seru suara di seberang sana.

“Wah ya Alhamdulillah, jadi Kesha ana kancane main ya ngger”, wajah si Bibi sumringah.

“Iya sih Buk, tapi Galih gak punya anak laki jadinya buk “

“Alah uwis ora papa, mengko  nggawe maning lah.. adine sing lanang!”

“Wah Ibuk ini, bikin anak banyak-banyak mau tak kasih makan apa nanti? Mana usaha lagi seret begini bu, gara-gara Corona!”

“Ya sabar ngger, namanya kita sak Endonesia lagi dicoba sama Alloh. Yang kesulitan juga bukan kita sendiri kok, akeh kancane!”

“Iya ya bu, mana sebentar lagi mau lebaran, piye iki?”

“Aja lebarane disit sing mbok pikir!, Puasane!” (jangan pikir Lebarannya dulu yang kamu pikirin, pikir puasanya!)

“Lah justru buk, biasane bulan puasa warungku payu banget, orang-orang beli makanan banyak buat buka puasa. Jadi aku bisa lebaran baju baru, kumpul keluarga. Lah sekarang? Gak ada modal! “

“Ibuk ngerti lah, apa Ibuk juga selama ini gak banting tulang merantau kesini? Maksud ibu, sekarang ini kita memang harus puasa tenanan, ngirit, prihatin, sukur-sukur pas lebaran kita masih sehat, masih urip Lih. “

“Ibu aja ngomong kaya kuwe lah bu, serem..” (Ibu jangan berkata seperti itu, menakutkan)

“Habis kamu lho, sambat terus.  Dadi wong lanang itu harus semangat, kuat. Biar keluargamu kuat!, Istrimu aja hamil-hamil begitu masih terus jualan onlen..”

“Tapi onlen ya sekarang sepi bu..”

“Uwis ngerti! Ora usah sambat maning !!” ( sudah mengerti, jangan mengeluh lagi), Si Bibi mulai ngegas. “Sing penting kita uwis usaha, jaga diri, jaga sholat, banyak berdoa. Biar kabeh Alloh sing ngatur”

Setelah beberapa saat, percakapan mereka pun terhenti, karena jam mandi sore anakku sudah tiba. Si Bibi pun harus menjalankan tugasnya.

 

Bibi sudah hampir 6 tahun kerja di tempatku. Sejak Bumi, anak bungsuku, lahir di thn 2014.

Selama ikut dan tinggal dengan kami di Balikpapan, Bibi selalu mudik rutin, minimal 1 kali setahun saat Lebaran.

Kadang saat kami mudik bersama  akhir tahun ke Bandung, Bibi pun kami persilakan pulang sejenak ke Purwokerto.

Pernah malah saat libur Idul Adha dan kami berkumpul di Bandung, Bibi menolak mudik ke kampung, dia memilih jaga rumah di Balikpapan saja, tapi dia berkurban dikirim ke kampungnya. Alasannya untuk mengirit biaya, karena kalau dia pulang, keluarga-keluarga jauhnya sering datang berkunjung ke rumahnya dan meminta ‘berkah rejeki perantau’.

-----------

 

Tahun ini adalah tahun terakhir kami tinggal di Balikpapan. Suamiku dipindah tugaskan ke Jakarta. Maka setelah anak-anak kenaikan kelas nanti kami akan segera pindah juga.

Wabah Covid-19  yang memaksa kami untuk diam di rumah, aku manfaatkan untuk mengemas barang-barangku untuk pindah.

Kami sudah tinggal di rumah ini selama 10 tahun. Banyak sekali barang-barang yang harus kami pilah dan pilih untuk dibawa atau dibuang.

Jika tadinya aku harus bolak-balik berkegiatan dan  mengantar jemput anak-anakku sehingga sulit untuk konsentrasi mengemas barang, sekarang aku punya banyak waktu luang untuk melakukannya.

Setiap kali membuka kardus barang-barang untuk dipilih, banyak sekali memory indah  melintas di benakku.

Baju-baju hamil, baju bayi, box bayi, mainan-mainan, foto-foto... Ya Ampuun. Betapa cepat anak-anakku tumbuh..

Rasanya baru kemarin aku menyulam baju-baju bayi kecil dengan huruf B , sambil menunggu kelahiran si sulung Bydhari, ternyata itu sudah hampir 14 tahun yang lalu.

Saat membongkar kotak-kotak sepatu,  aku menemukan sebuah sendal berbunyi cit cit berwarna coklat, milik si bungsu, Bumi.. ukurannya keciiil sekali. Hampir tidak percaya bahwa Bumi pernah punya kaki sekecil itu.

Yang paling menggelikan adalah saat aku menemukan beberapa buah empeng berwarna-warni. Empeng-empeng  karet itu dulu  adalah kepunyaan Banyu, anak keduaku yang paling jahil dan sok berwibawa diantara kakak dan adiknya.

Bagi Bumi dan Bydhari, mengetahui bahwa dulu Banyu sering ngempeng, bagaikan menemukan kartu mati untuk membalas kejahilannya selama ini.

Belum lagi foto-foto mereka saat masih bayi, membuat mereka bertiga saling ledek sekaligus saling merindukan kepolosannya.

“Coba Mas Ban bisa se-innocent ini lagi ya, nurut gak berisik “ Kata Bydhari saat menemukan foto kecil Banyu, yang langsung dibalas sengit

“Coba Mbak Bybid berponi dan cimot begini lagi, dijamin satu kelas gak ada yang naksirr!!”

“Tapi lucu kok..” si Bungsu sok bersekongkol dengan si sulung “Daripada Mas Ban ngempeng, jorok hiiiy”

“Daripada Adek, ngemut jempol, sambil ngompol... huuu! “ Nada suara Banyu pun mulai naik,

“Eh, sudah-sudah jangan pada berantem, Lihat nih foto siapa yang paling culun?” Kataku mencoba mengalihkan suasana.

Gambar seorang anak laki-laki bercelana pendek, tampak bergaya di atas sebuah sepeda mini . rambutnya berpotong cepak seperti tentara, setengah botak.

“Itu Mas Ban ya? Kok manyun gitu?” Bumi berusaha menebak.

“Enak aja, Mas gak pernah lah foto begitu. Sepedanya Mas gak kenal !” Banyu gak terima dibilang culun.

“Tapi kok mirip banget? “ Kata Bydhari sambil mengamati foto itu lekat-lekat. “Ooh.. Itu Papap! Hahahaha”

Kami pun tertawa tergelak-gelak bersama. Membayangkan orang paling berwibawa di rumah kami ternyata pernah culun juga, Hahahaha.

Tawa kami membuat Si Bibi yang sedang menyapu ruang depan jadi penasaran, Bibi pun mendekat ikutan nimbrung melihat foto-foto.

Tiba-tiba mata Bibi tertuju pada sebuah foto lama, “Ini foto Almarhumah Oma ya Bu?” , Tanya Bibi.

Sebuah foto bayi montok dalam dekapan seorang wanita cantik berwarna hitam putih, diangkatnya.

Pinggiran foto itu dipotong bergerigi khas tukang foto jadul. Warna fotonya masih awet tidak memudar, tidak menguning. Tampaknya foto itu dicetak dengan kualitas tinggi pada masanya.

Aku mengambil foto itu dari tangan Bibi. “Ini fotoku saat berusia 3 bulan Bi, Almarhumah Oma punya foto versi seperti ini dengan ketiga anaknya.”

“Ini Bapakku sendiri yang motret, terus dicetak sendiri di kamar gelap punya Eyang Kakung di Jalan Riau dulu. Makanya kualitasnya masih bagus sampe sekarang” Aku menjawab Bibi dengan mata berkaca-kaca.

Aku jadi teringat masa-masa kecilku dulu, Almarhum Ayahku adalah seorang fotografer. Di lehernya selalu terkalung kamera kesayangannya kemanapun kami pergi.

Dari sejak kami bangun tidur, berjemur sehabis mandi, makan mie pertama kali, berenang pertama kali, nyobain kimono batik, baru potong rambut, punya mainan baru, ulang tahun, karnaval... Semua terabadikan dengan baik oleh kameranya.

Meskipun pada masa itu cuci cetak film masih tergolong mahal, Ayahku rela menyisihkan sebagian uang gaji pegawai negerinya untuk selalu mengisi kameranya dengan rol film, demi mengabadikan momen-momen penting dalam hidup kami.

Dan ternyata memang benar, memandang  foto-foto jadul  jepretan Ayah membuatku  sering tertawa, tersenyum hingga menitikkan air mata.  Setiap lembar foto itu seolah mengandung pokok-pokok pikiran untuk aku jadikan cerita menarik untuk anak-anakku. ‘Cerita Waktu Mamam Kecil’ selalu berhasil menahan ketiga anakku di meja makan sampai mereka selesai menghabiskan makanannya.

“Seneng ya Bu jadi orang kaya mah” Ucapan Bibi tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Kalo Bibi mah nyimpen fotonya di otak aja lah, wong gak punya kamera. Dulu waktu lahiran Galih juga gak ada fotonya, sampe Bapaknya meninggal juga foto berdua Bibi mah gak punya. Kadang Bibi udah lupa malah wajah Bapaknya Galih, wong udah lama sih”

“Lho kan sekarang bibi udah punya HP Bi” tanyaku.

“Iya sih bu, dulu waktu lahiran anaknya Galih yang pertama, Kesha, Bibi juga cuman dikirimin fotonya aja. Gak bisa nungguin, wong masih TKW dulu. “

“Sekarang udah mau lahiran yang kedua ya Bi?

“Iya deket Lebaran nanti lahirnya bu, bulan puasa ini malahan. Wong sudah bulannya. Bibi pinginnya sih nungguin, kalo bisa motret biar ada kenang-kenangan....”

“Tapi kan lagi Corona gini bi, gak bisa mudik..”

“Ya namanya nasib Bu, sebenernya kesian sih mantu Bibi gak ketungguan terus, tapi ya gimana lagi..” ujarnya dengan wajah sedih, sambil berlalu.

Ada sedikit perasaan tak tega di hatiku melihat keinginan bibi untuk mudik harus diurungkan, tapi ya bagaimana lagi. Sedangkan kami pergi ke pasar pun sudah gak boleh. Apalagi mudik?  Berdesakan di Airport, di Terminal,  lalu di Travel. Bisa-bisa Bibi malah terpapar virus dan membawanya pada cucunya di kampung.

Bibi sendiri tampaknya sudah pasrah, tapi teman-temannya di Kampung sering meneleponnya, menceritakan bahwa si A atau si B juga baru pulang TKW dari Malaysia dan gak bermasalah apapun. Bisa langsung ke kampung.

Pemudik yang ditolak di kampungnya sana  konon hanya yang dari Jakarta saja. Karena Jakarta udah banyak yang positif. Nah Apa mereka gak tau kalo di Malaysia juga banyak yang positif ??

Karena sudah lama tinggal bersama kami di lingkungan perumahan yang “safety first”, sebenarnya Bibi sudah punya cara pandang berbeda dengan teman-teman TKWnya dulu.  Tapi rasa rindu pada anak cucu yang sedang kesulitan tampaknya cukup membebani pikirannya. Apalagi selama membantuku berkemas-kemas kemarin, Bibi sudah mengumpulkan banyak baju-baju dan keperluan bayi bekas anak-anak yang masih masih bagus. Dia ingin membawanya sebagai oleh-oleh untuk cucunya.

----------

 

“Apa bibi masih kepingin mudik Bi?” Tanyaku suatu pagi saat kita sedang sama-sama masak di dapur.

“Kepingin sih iya bu,  liat tuh arusnya masih padat kaya biasa ya bu? “ , Katanya sambil menunjuk TV kecil di sudut dapur.

Channel Berita TV swasta, menyajikan laporan dari suatu terminal di Jakarta tentang orang-orang yang berdesakan untuk mudik ke Jawa tengah.

Sang reporter yang menggunakan masker kain mewawancara seorang pemudik yang kelihatan membawa banyak barang di punggungnya;

“Bapak apa harus mudik sekarang Pak? Tidak bisa menunggu kebijakan dari pemerintah?”

“Lah Mumpung belum dilarang lah mbak, saya pulang sekarang saja”

“Tapi kan sudah dihimbau untuk tidak mudik kan pak? Pak Ganjar kan sudah berkali-kali bicara”

“Pak Ganjar kan punya gaji mbak, punya rumah. Kalo saya gini orang kecil, Di Jakarta ngontrak , bayaran harian, kalo jualan sepi mau makan apa? Mending saya balik ke keluarga aja ngebon di kampung lah, makan singkong dari kebon”

“Tapi Bapak gak takut bawa virus kalo kumpul sama keluarganya nanti?”

“Hidup Mati mah urusan Allah Mbak. Lagi saya pulang kan katanya ada karantina dulu 14 hari dari pemerentah. Katanya lho ya.. gak tau deh bener apa enggaknya”

“ Seandainya ada karantina, Bapak mau patuh pak? diam dulu di karantina gitu? Tidak kemana-mana?”

“Asal dikasih makan ya saya patuh Mbak. Ini saya mudik juga uang udah terakhir sih, udah 3 hari gak bisa beli nasi. Daripada mati kelaparan gitu”

Si Bapak di layar TV tersebut terlihat sudah setengah tua, berbadan kurus. Kulit  di sekitar lehernya terlihat berbeda warna karena sebagian  terbakar sinar matahari.

“Kayaknya ini tukang dagang keliling ya Bu?” Komentar Bibi. “Di Kampung Bibi juga ada kok yang kerja ke Jakarta, buat jualan Pop Ice keliling di SD-SD”

“Ya Allah jauh-jauh ke Jakarta jualan Pop Ice doang?” Tiba-tiba Banyu yang ternyata dari tadi sudah ikut menyimak berita TV, ikut nimbrung.

“Iya lah Mas, orang cari duit buat makan itu gak gampang, Makanya kita yang masih punya makanan,masih nyaman hidupnya, harus banyak bersyukur” Kataku menasehati.

“Iya Mas, kaya Bibi ini, kalo diem aja di kampung malahan gak makan sekeluarga” Kata Bibi. “Sawah udah habis dijual buat berobat Bapaknya Galih dulu, sekarang tinggal punya rumah aja ditempatin anak bibi itu, mas Galih sama keluarganya” Bibi nambahin.

“Makanya Bibi disini aja.. ! Gak usah pulang! Nanti Corona! Mati deh” Kata Banyu nyolot.

“Huss, gak boleh ngomong gitu, gak sopan!” kataku.  “ Orang-orang yang pulang mudik itu, sepertinya mereka memang sudah gak punya pilihan lain Mas,  di Jakarta gak punya tempat tinggal, gak bisa makan, jadi mereka terpaksa mengambil resiko untuk kembali ke kampung. Kalo kita, tidak ada alasan untuk tidak patuh. Lha Wong kita masih bisa makan, bisa tidur nyaman. Lagian kemarin Pak Jokowi udah menjanjikan jadwal libur pengganti setelah Virus ini lewat. Nanti malah banyak fasilitas mudik digratiskan kok. Kalaupun kita gak mudik sekarang, bulan Juli nanti kan Insya Allah kita udah pindah ke Bandung. Jadi kita mudik seterusnya deh.. Bibi juga lebih dekat ke Purwokerto jadinya.”  Aku mencoba menasehati Banyu sambil berharap si Bibi ikut mendengar dan meresapinya.

“ Jadwal penggantinya kapan ya bu? Kalo kelamaan keburu cucu Bibi udah gede deh. Baju-baju bayinya gak cukup. Kesian Bapaknya lagi susah, gak bisa beliin baju.” Kata Bibi sambil menunduk. Rupanya kerinduan itu terlalu besar pada anak cucunya.

----------

Minggu pagi yang cerah, aku terbangun agak siang karena hari ini tidak ada kewajiban belajar online untuk anak-anak atau WFH untuk suamiku.

Dari kamar kudengar sayup-sayup suara Bibi di dapur, berbicara dengan seorang lelaki, dan suara Banyu juga ikut berbicara sesekali.

“Galih, ini ibu diajarin Mas Ban ini. Jadi bisa lihat Galih! Wah jelas banget gambare ya..”

“Iya Buk, ini Keisha Buk, mau ketemu mbah katanya..”

Lalu terdengar suara anak perempuan kecil disana : “Mbah, Kesha udah pinter nyanyi mbah..”

“Apa iya? Coba Mbah mau denger.”

Si Gadis kecil disana pun melantunkan lagu Ibu Pertiwi dengan merdu. Mata Bibi pun berkaca-kaca..

“Sini Bi, Mas screenshoot-in” kata Banyu.

Banyu pun mengatur posisi kepala bibi agar cocok dengan posisi jendela berwajah Kesha di Layar Tab Banyu, lalu memencet tombol screen shot.

“Nah jadi kan foto Bibi berdua Kesha! Keren! Jarak jauh, bebas Corona! Social Distancing!” Kata Banyu puas.

“Eh iya ya, bagus. Apa bisa diafdruk?” Tanya Bibi.

“Afdruk apaan sih?” Banyu bingung.

“Dicetak Mas, hehehe” Bibi terkekeh bahagia.

“Bisa laah, nanti bilang aja sama Mamam, biar diprint.”

Aku pun keluar dari kamar, penasaran dengan percakapan seru mereka.

Ternyata Bibi sedang duduk di kursi meja dapur, dengan Banyu menggelendot di belakangnya, sambil mengajarkan bagaimana menggunakan Video Call  Whats App di Gadgetnya, agar Bibi tidak bersedih lagi merindukan keluarganya di kampung.

Masya Allah, Banyu si jahilku yang istimewa, ternyata dibalik jahil dan nyolotnya, hatinya tersentuh melihat kerinduan Bibi. Dan dia berusaha mencarikan solusinya, dengan cara yang dia tahu.

Senyum Bibi yang sudah beberapa Minggu terakhir ini hilang, tiba-tiba terpasang indah lagi di wajahnya. Terimakasih Banyu.

 

Siangnya, saat menyiapkan makan siang. Bibi memberanikan diri berbicara padaku : “Bu, apa boleh THRnya Bibi nanti, sama ongkos mudik lebaran, dikasbon dulu sekarang?”

“Boleh aja sih.. “ Jawabku agak terkejut. “Buat apa? Apa Bibi mau nekad mudik?”

“Justru enggak bu.., Bibi sudah putuskan gak usah mudik saja, Takut Corona lah. Bibi perlu uang buat kirim barang2 bayi ini ke kampung Bu, sama Galih juga butuh tambahan modal. Dia sama Desi, istrinya, mau jualan onlen masker kain katanya bu!”

“Alhamdulillaaaah....” kataku lega. “Ya jelas boleh kalo itu Bi, itu haknya Bibi. Yang penting Bibi jangan mudik dulu ya..”

“Iya Bu, lagian nanti kalo udah di Bandung mah Bibi juga mudiknya lebih gampang. Apalagi kalo digratisin sama pemerentah, Sekali-kali cucu Bibi dari Purwokerto juga bisa nengokin Bibi ke Bandung malah”

“Ya iya, syukurlah kalo Bibi sudah ada pencerahan seperti itu, saatnya kita ini sekarang bersabar Bi. Mau maksa mudik juga habis waktu kita dikarantina 2 Minggu, malah gak bisa ketemu cucu.

“Iya Bu, dari sini malah bisa ketemu cucu, bisa poto bareng malahan lewat WA, diajarin Mas Ban hehe. Pake wifinya Bapak lagi, jadi murah pulsanya“

“ Nah iya, sekarang sudah banyak teknologi Bi, tinggal kita manfaatkan dengan baik.”

“Makanya Bu, kalo bisa gaji bulan ini juga, Bibi minta duluan ya bu.. buat beli gadget yang kaya Mas Ban, biar bisa vidiokol bu, hehehe...”

“Okelah Bi, Apapun. Yang penting Bibi Lebaran ini Batal Mudik. Titik. Ok?”

“Siap Bu... !!” Senyum Bibi pun mengembang cerah.. Secerah Sinar Matahari yang mengajak kita untuk berjemur memberantas Virus Corona.

---selesai---

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.