Kopi Pancasila

Kopi Pancasila

Sudah menjelang waktu ashar. Tapi matahari bulan Juni masih garang memancarkan teriknya. Membuat ruangan gedung Chuo Sangi In di Pejambon terasa semakin sumuk bagi 67 orang berbalut pakaian jas kesempitan yang berkumpul di dalamnya. Langit-langit ruangan yang tinggi tak mampu menyejukkan suasana yang menghangat.

Si Bung baru saja menyelesaikan pidato pamungkasnya di hari terakhir sidang BPUPKI pertama itu. Panjang lebar ia menguraikan pemikirannya ihwal dasar Indonesia Merdeka dan mengusulkan dasar negara yang terdiri dari prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan.

“Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara sudah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya?”

Seseorang yang hadir menyeletuk: “Pendawa lima.”

“Nah Pendawa lima-pun lima. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi, saya namakan, atas petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” Tepuk tangan riuh membahana memenuhi ruangan.

Tak menunggu lama setelah si Bung duduk kembali, Dr. Soepomo yang kemarin sudah menyampaikan tentang 5 asas: persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah dan keadlian rakyat, menukas, “Tak ada yang baru dari pemikiran anda bung! Hanya mengulang-ulang dari yang kami sampaikan kemarin!”

Mr. Mohammad Yamin dengan suara berat menggelegarnya menimpali, “Ya, hanya memberi nama saja. Isinya tak ada beda!” Pada hari pertama sidang, Mr. Mohammad Yamin juga telah menyampaikan 5 asas yakni, peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat.

Wajah Bung Karno memerah. “Menguatkan pendapat orang lain bukanlah kehinaan. Saya tahu, pemikiran yang saya sampaikan bukanlah milik saya. Tuhanlah yang membukakannya kepada saya. Allah Maha Pencipta yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidup saya. Dia memberikan petunjuk serta ilham-Nya kepada saya.” Suara gumaman mulai ramai terdengar. Seperti dengungan ratusan lebah.

“Saya sepakat bahwa prinsip Kebangsaan harus menjadi nomor satu bagi bangsa yang sangat beragam ini. Hari depan bangsa harus berdasar pada Kebangsaan, karena orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai prinsip dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia,” Jelas si Bung berapi-api. Sengaja ia mengutip kalimat Mr. Mohammad Yamin tentang Sriwijaya dan Majapahit itu.

Ia melirik sejenak kepada Haji Agus Salim dan KH Wachid Hasyim yang dihormatinya. Keduanya terlihat tenang menyimak. Maka dengan bersemangat si Bung melanjutkan; “Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar atau ”nationale staat”. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu.”

Perdebatan semakin riuh. Setiap orang mengemukakan pendapatnya masing-masing. Ada yang mendukung, ada yang tak sepakat. Tapi tak ada yang saling menghujat dan menghinakan. Republik saat itu belum lagi lahir. Tapi para Bapak Bangsa tersebut sudah memahami arti persatuan dan kerukunan untuk satu tujuan bersama.

Mang Kosim mengintip dari balik pintu. “Jang… jang… sudah waktunya. Ayo cepat!” Katanya. “Tos siap mang!” sahut Ujang sambil hati-hati mengangkat baki kayu penuh gelas-gelas tinggi berisi kopi. Dengan penuh percaya diri, mereka masuk ruangan sidang. Perdebatan panas langsung terhenti. Mang Kosim menyodorkan segelas kopi dan sepiring peuyeum goreng kepada Bung Karno.

“Kopi tubruk tjap Aroma dari Bandung Bung. Sesuai takaran, satu sendok kopi dan satu setengah sendok gula.”

“Aaah… Mang Kosim mah keren pisan euy,” sahut si Bung sumringah.

“Kopi saya hanya pakai sedikit gula kan Mang Kosim?” Tanya Bung Hatta yang duduk di sebelah kiri Bung Karno. Ia sudah membuka jasnya kegerahan.

“Leres bapak,” jawab Mang Kosim takzim.

Begitu seterusnya. Mang Kosim dan Ujang berkeliling membagikan kopi dan penganan ringan sederhana itu ke seluruh peserta sidang sambil menyapa ramah. Ia sudah hapal betul bagaimana kopi kesukaan setiap tokoh di situ harus diracik. Merek kopi boleh sama, tapi takaran kopi, gula dan cara mengaduknya punya gaya sendiri-sendiri.

Perdebatan berakhir dengan sendirinya. Sambil menghirup kopi dan mengunyah peuyeum goreng, semua sepakat membentuk “Panitia Sembilan”untuk mengolah dan mematangkan usul dan konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara. Kopi dan peuyeum goreng Mang Kosim di sore hari itu mampu mendinginkan suasana panas perdebatan menyongsong lahirnya Pancasila. Sesederhana itu. Lalu, apa yang mesti kita ributkan tak sudah-sudah sekarang?

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.