DAERAH KEKUASAAN
![DAERAH KEKUASAAN](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_613eaaa12c7d7.jpg)
Terhitung pertengahan tahun ini, aku kembali lagi menapakkan kaki ke ibu kota. Tidak sendiri, tetapi bersama seluruh anggota keluarga sejumlah empat pasang kaki.
Namanya pindah ke ibukota di masa sekarang ini, tidak bisa berharap banyak untuk mendapatkan sebuah pengharapan yang ideal. Namun demikian, atas saran dan bantuan seorang teman, akhirnya dapat juga paket hemat untuk kehidupan dasar, paling tidak papan dan pendidikan.
Rumah kontrakan kami, meskipun jauh dari pusat kota tempat saya bekerja, cukup nyaman dan dekat dengan sekolahan anak-anak, meskipun jalannya cukup sempit dan pas untuk dilalui dua motor dengan salah satu harus posisi miring seperti Valentino Rossi saat melahap tikungan.
Rumah kontrakan kami cukup nyaman, bangunannya cukup luas sehingga bungsu saya yang masih balita bebas berlarian kesana kemari. Karena pandemi, saya lebih sering bekerja dari rumah. Enaknya di ibukota, fasilitas koneksi internet punya kecepatan yang lebih dibanding daerah luar Jawa, dan harganya pun cukup bersahabat. Rapat daring, webinar, maupun kegiatan belajar dari rumah, berjalan tanpa hambatan.
Namun satu hal yang cukup mengganggu, tetangga kami memelihara beberapa kucing. Saya hitung ada 5 ekor, baik itu kucing ras maupun kucing kampung. Nah ini lah yang menjadi masalah, kucing-kucing itu tidak dimasukkan ke kandang dan dibiarkan saja berkeliaran.
Mungkin karena rumah yang saya kontrak ini kosong hampir setahun tanpa penghuni, kucing-kucing itu nyaman berwisata ke rumah ini. Saking nyamannya mereka juga buang air besar maupun kecil di beberapa area rumah ini. Kelimalimanya, entah bergantian, duet, atau trio, menghujani area rumah kami tanpa ampun dengan kotorannya. Kadang di sebelah selatan rumah, di gang sempit tempat kelebihan tanah. Kadang di teras rumah, samping kiri dan kanan pintu seolah-olah ucapan selamat datang. Tidak jarang juga mereka nangkring di sela-sela pot tanaman. Dan aromanya… tak usah ditanya lagi, sungguh sangat mengharu biru.
Kucing-kucing itu diberi nama mirip-mirip dengan tokoh kartun Disney, ada Kiki dan Koko. Bahkan ada yang namanya mirip makanan ringan, Chiki. Sering jika tengah malam, saya dengar sang pemilik mengajaknya ngobrol dengan manja, menyapanya, dan mungkin mencium keningnya yang berbulu itu. Saya tahu kalau dia sangat sayang sama peliharaannya itu. Tapi yang jadi masalah, dia tidak bisa melatih mereka tertib buang air.
Satu dua kali, istri saya masih sabar membuang kotoran kucing dan membersihkan lantainya dengan karbol. Namun ketika kejadian itu selalu berulang dan tak kunjung berhenti, istri saya mulai ngomel dengan suara yang cukup keras. Sengaja memang, biar pemiliknya di sebelah mendengarkan masalah ini.
Dan benar, suatu saat dia keluar rumah dan mendengar omelan istri saya.
“Oh, Kiki pup disitu ya ? Di rumah kami juga begitu, sering pup sembarangan.”
Kemudian dia ngeloyor pergi. Bicara dengan orang tuanya melaporkan kejadian itu. Tapi ya hanya sebatas itu.
“Kalau kucing-kucing itu berak sembarangan di rumahnya ya sudah sewajarnya. Lha wong mereka yang memelihara. Lha ini berak nya di tempat kita, memangnya rumah kita ini WC umum !” istri saya mengadu dengan wajah kesal.
“Ya sudah, Bune . Kita tunggu beberapa hari, kulihat dia juga sediakan pasir untuk kucing itu buang hajat di samping rumahnya.”
Ya rumah kami sebenarnya boleh dibilang mepet dengan rumahnya hanya berjarak sekitar setengah meter, batasnya cuma pagar pendek setinggi setengah meter. Kalau malam, mereka menambahkan sebuah sekat dari fiber putih berbingkai kayu. Tapi mereka sering lupa menutup sekat itu, hingga kucingnya dengan leluasa melompat ke teras rumah kami. Di atas pagar itulah diletakkan kotak berisi pasir yang dimaksudkan untuk si kucing buang hajat. Tidak jarang juga kotak itu jatuh berhamburan ke teras kami lengkap dengan sajian di atasnya yang kadang masih lembab dan beraroma sedap.
Tiga hari, empat hari, tidak ada perubahan juga. Kejadian itu masih berulang. Akhirnya, saya komplain baik-baik dengan si tetangga.
“Gini mbak, Bu, Pak… masalah (tahi dan kencing kucing) ini sudah sangat mengganggu kenyamanan kami. Aktivitas kami lebih banyak di rumah karena pandemi. Tiap hari kami sangat merasa tidak nyaman dengan aroma (tahi dan kencing kucing) itu. Mohon kebijaksanaan dan perhatian lebih keluarga di sini terhadap masalah (tahi dan kencing kucing) ini.”
Dan jawaban si bapak yang sudah tua dan sepertinya pensiunan tentara itu sungguh di luar dugaan.
“Gini ya mas, kucing itu kencing dan buang hajat, menandai daerah kekuasaannya. Jadi ya kami tidak kuasa untuk mengatur itu. Rumah di sebelah itu kan lama kosong, jadi ya mereka lah yang duluan menandai teritori mereka.”
Kata teritori ini yang membuat saya yakin bahwa si Bapak mantan tentara.
“Jadi apa tidak ada upaya lain untuk mencegah masalah ini, misalnya kucing-kucing itu ditaruh dalam kandang. ?”
“Ya, bisa saja. Tapi saya juga tidak bisa menjamin mereka tidak keliaran. Lha namanya binatang ya…”
“Jadi bagaimana solusinya, Pak ? Apa bapak saja yang membersihkan kotoran itu tiap hari ? Bapak bersedia ?”
“Heheheh… kucing di sini kan banyak, Mas. Belum tentu juga kucing kami yang selalu berak di situ.”
“Apa perlu saya foto kan saat dia nongkrong dan ngeden ? “ Nada suara saya sudah mulai tinggi.
“Ya ndak begitu juga, Mas. Kita lihat saja nanti.”
Dan pembicaraan itu berakhir sampai di situ. Saya pamit pulang dengan muka yang tidak puas atas tanggapan si tetangga.
Sehari dua hari, kucing-kucing itu sedikit tertib, rupanya kemudian dimasukkan ke kandang. Ternyata mereka punya kandang kucing. Sungguh terlalu.
Tapi menginjak hari ketiga dan seterusnya, kejadian berak sembarangan itu kembali terulang. Dan kesabaran saya sudah sampai pada batasnya.
“Kita lapor pak RT saja, Pak.”
“Percuma bu, kita ini orang baru. Dan pak RT itu katanya dulu anak buahnya si bapak tetangga kita waktu masih dinas.”
“Jadi gimana, Pak ? Mosok sampai tahunan nanti tinggal di sini bakalan kayak gini terus ? Kalau ada tamu gimana ? Apa mereka ndak jijik ?”
“Ya sudah, bu. Kalau mereka ngajak perang, ya kita perang.”
“Sudah Pak, ndak usah berkelahi. Kita ini orang baru di sini.”
“Perang itu ndak harus berkelahi bu. Ada namanya perang urat syaraf.”
“Ya sudah, Pak. Yang penting aku ndak mau kamu berkelahi kayak anak kecil lho. Apa lagi lawannya orangtua.”
Malamnya mata saya tidak bisa terpejam, selalu terngiang kata teritori itu. Lalu setelah diam beberapa saat, berpikir, saya membulatkan tekad untuk melakukan sesuatu.
Keesokan paginya, tetangga sebelah sudah mulai ribut.
“Ini siapa yang berak di sini ? Kucing yang mana ini ? Tahinya besar-besar dan bau, baru kencingnya sampai rembes ke tembok ?”
Saya tersenyum saja mendengar hal itu. Mereka menggerutu sambil membersihkan kotak pasir dan menyiram tembok mereka.
Siang hari lingkungan kami lumayan sepi, maklum masih pandemi. Gerbang di depan juga di tutup. Ojek online dan pengantar makanan pun cuma sampai di gerbang depan.
“Pak, mau kemana siang-siang begini ? Panas, sudah nanti agak sorean saja.”
“Anu bu, perutku agak mules. Mau keluar sebentar jalan dikit biar agak lega.”
Sore harinya, si tetangga marah-marah lagi.
“Bu, ini kucingnya berak lagi. Malah agak mencret, kau kasih makan apa tadi ?”
Si bapak membersihkan kotak pasir itu dan menyiram tembok rumah yang bau pesing. Dan kejadian itu berulang sampai seminggu. Sehabis itu kulihat kucing di tetangga sebelah tinggal 2 ekor, yang kucing mahal, Angora dan Persia. Sisanya entah kemana. Tapi yang jelas 2 ekor kucing itu di kandang terus. Dan rumah kami pun terbebas dari teror yang bertubi-tubi itu.
“Pak, akhirnya tetangga yang punya kucing sadar ya. Tapi kok bisa ya, dalam seminggu ini mereka berubah ?”
“Ya, bisa lah bu. Kita kan juga terus berupaya supaya mereka sadar. Caranya ya biar mereka juga mengalami apa yang kita alami ?”
“Maksudnya terus berupaya itu bagaimana, Pak ?”
“Ya tidak berhenti siang malam…”
“Maksudnya ?”
“Gini bu, ketika si bapak itu bicara soal teritori, dia mau ngajak perang strategi. Makanya aku baca buku-buku perang Tsun Zu. Disitu disebutkan sebuah siasat ketika diserang, tak ada salahnya bertukar sarang . Setelah kupelajari, saat lawan melancarkan serangan penuh, markas biasanya kosong. Saat itu lah kita serang juga markas mereka, paling tidak, bisa sebagai penawaran untuk gencatan senjata.”
“Jadi, kau menyerang markas mereka ?”
“Hahaha… kau pikir itu tahi siapa di kotak pasir mereka siang dan malam ?”
“Hah… jadi selama ini kalau kau pergi siang hari itu…”
“Dan malam hari…hehehe…”
“Kau sinting, Pak.”
“Bukan sinting, hanya strategi yang tidak umum. Nyatanya berhasil kan ?”
“Lalu bagaimana… halah sudah lah aku gak mau tahu lagi.”
“Tembok sebelah kan rendah, dan mereka sering lupa pasang sekatnya, tinggal nangkring dan ngeden , persis kayak kucing-kucing itu buang hajat di tempat kita.”
“Ya ampun…”
Dan malam itu kami tidur nyenyak berpelukan, tanpa diganggu oleh aroma-aroma tak sedap dan rasa was-was ketika bangun pagi melihat onggokan hangat dari perut kucing di teras rumah kami.
Srengseng Sawah, 12 September 2021
Masih tercium samar-samar ...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.