"Lo orang Padang, ya?"
Pertanyaan demikian dulu selalu kujawab dengan enteng, “Iya!" Padahal, saya tak pernah tinggal di (kota) Padang. Ya, itu kan gara-gara Padang selalu disalahkaprahkan untuk mengunjuk mereka yang beretnis Minang(kabau).
Jadi, ya, saya orang Minang. Tidak terlalu bisa menjelaskan tepatnya Minang sebelah mana, karena garisnya dari pihak Ibu saya sudah sangat acak kadut—sementara etnis Minang 'berhitung' dari pihak ibu. Saya ya bilang Minang saja. Sementara, Ayah saya 100% Minangkabau, dan sangat jelas asal-usulnya. Masih ada pula kampungnya. Fisik rumah ibunya sih sudah tak ada, habis terbakar pada suatu waktu.
Sepupu saya dari pihak Ibu ada yang sama-sama Minang. Lainnya separuh Jawa, ada juga yang ibunya dari Manado, dan ada yang Lampung-Jawa. Kami, di keluarga besar Ibu saya itu, menyebut diri sebagai keluarga Tamimi. Haha, ini lucu juga. Sebab, aku mengaku Minang yang bergaris matrilineal, tapi aku dan sepupu-sepupu menjunjung tinggi nama Opa kami, Mohamad Tamimi.
Kami pun melupakan satu hal lagi. Bahwa, Opa Tamimi kami tercinta itu bukan orang Minang! Mungkin ada sedikit campurannya sih, tapi tak jelas juga. Sampai lama sekali; setelah Opa, Oma, dan para orang tua kami sudah tiada; barulah kami sadar akan ‘kesalahan’ kami itu.
Mengapa kami bisa keseleo pengetahuan macam begitu? Mungkin, karena kami nyaris tak pernah bertemu dengan kerabat dari pihak Opa di Jakarta raya ini. Rumah Opa-Oma dulu menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar dari pihak Oma, terutama saat lebaran. Semua orang datang untuk bertemu dengan ibu dari Oma yang tinggal di situ juga.
Sementara, keluarga dari pihak Opa sangat jarang muncul. Meski pada suatu masa pernah ada keponakan Opa dari Sambas, Kalimantan Barat, yang ngenger di rumah Oma-Opa. Selebihnya, tak terlacak.
Opa kami ketahui berasal dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Secara etnis, Opa disebut keturunan Bugis Melayu. Ya, Penyengat pun bukan asal-usul asli Opa. Leluhur Opa berasal dari, kabarnya, daerah Luwu di Sulawesi Selatan. Masih bisa terlacak 6 generasi di atas Opa yang berasal dari sana, sebagaimana yang tertera di selembar kertas besar pohon keluarga. Nama sosok itu adalah Keraeng Menggale Gelar Nahoda Elang.
Bingung dan ingin membahas bersama, kami para sepupu Tamimi lalu mengadakan pertemuan khusus pada suatu hari. Duh, ternyata terlalu banyak info, malah gue makin bingung. Karena, soal Opa. tak hanya kerajaan di Pulau Penyengat yang 'terlibat'. Tapi juga, kerajaan Sambas di Kalimantan Barat, dan Pagaruyung di Sumatra Barat. Jangan lupa, yang Luwu di Sulawesi Selatan.
Kerabat Opa pun menyebar sampai di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Chalid, salah satu sepupu Tamimi, menjadi anggota dari WhatsApp Group (WAG) yang di antaranya adalah kerabat-kerabat kami dari negara-negara jiran itu. Ia ‘tertangkap’ oleh seorang kerabat di Pulau Penyengat, dan dicemplungkan ke WAG itu.
“Yuk, pada-pada ikutan masuk jadi anggota di WAG itu juga,” ajak Chalid semangat.
Kami semua menolak. Bukan apa-apa, sudah pusing dengan banyak WAG keluarga lainnya. Sambil menolak, kami lalu sekaligus mentasbihkan Chalid sebagai perwakilan resmi keluarga Tamimi di WAG itu haha…
Kumpul-kumpul keluarga yang ceritanya hendak mempelajari akar kami itu, ternyata malahan membuat kami menjadi semakin pusing dengan leluhur kami dari pihak Opa. Tapi, sebaliknya telah membuat hati kami senaaaaang... Jumpa keluarga kan memang penting untuk kesehatan jiwa. =^.^=