Mewabah. Demikian yang terjadi di kampus UI Rawamangun pada suatu masa. Oh, bukan penyakit koq, melainkan hobi fotografi. Bertahun-tahun kemudian, sejumlah mahasiswa yang terjerat dalam wabah itu lalu sukses menjadi fotografer dan fotojurnalis handal di bidangnya masing-masing. Tapi, itu cerita lain lagi, bukan yang hendak kukisahkan di sini.
Abang saya termasuk salah satu dari mereka yang terjangkit wabah itu. Ke kampus setiap hari bawanya tas kamera, entah di mana buku-buku kuliahnya. Dan, abangku tidak sendirian. Hampir semua yang kena wabah begitu pula adanya.
Satu kali saya yang tak kena wabah hendak mengikut acara antarmahasiswa di luar kota. Acara tersebut lumayan bersifat nasional, karenanya saya ingin mempunyai dokumentasi sendiri. Terdorong niat itu, saya minta abang saya buat meminjamkan salah satu kameranya. Lengkap dengan flash-nya.
"Boleh, tapi film-nya sediakan sendiri ya," katanya, yang segera kusetujui.
Maka, berangkatlah aku ke lokasi acara yang berada di Jawa Tengah. Dengan bangganya karena aku berbekal kamera serius. Ya, kamera pinjaman dari abang ini adalah kamera serius, yang berbeda dengan kamera poket yang dulu pernah kupunya. Kamera poket yang mungil saja, berbentuk kotak sederhana bagaikan kotak rokok.
Panjangnya mungkin sekitar 15 cm, lebar 5 cm, tebal sekitar 2-3 cm. Ukuran ini perkiraanku saja lho. Viewing dan lensa-nya masing-masing berada di salah satu dari dua sisi memanjang bagian yang tadi saya sebut ‘tebal’. Buat yang terlalu penasaran, coba deh cari di internet yang namanya ‘kodak pocket instamatic’. Kamera yang kumaksud kira-kira seperti itu bentuknya.
Kamera poket yang demikian memakai film negatif tipe 110 cartridge roll, yang per frame berukuran 13×17 mm. Satu rol berisi 12 atau 20 atau 24 frame. Lampu kilatnya disposable, secara internasional disebut magicube flash bulbs. Berbentuk kubus, empat sisi sampingnya masing-masing mempunyai satu lampu kilat aktif yang hanya sekali pakai. Setelah empat sisi tersebut dipakai, tak lagi berguna dia. Harus dibuang dan kita harus beli baru. Namanya saja disposable.
Lampu kilat sekali-pakai itu lumayan bikin bokek juga. Meski format film negatif 110 cartridge lebih murah daripada format 135 yang biasa sih. Tetap saja, kamera poket itu kalah serius dibandingkan dengan kamera pinjaman dari abang yang kutenteng itu. Lampu kilatnya juga serius. Belum lagi, abang juga meminjamkan sebuah tripod. Rasanya aku jadi ikutan serius. Fotografer serius!
Di acara pertemuan, banyak kurekam kejadian dan peristiwa (cieee...). Dengan beberapa mahasiswa yang berasal dari universitas-universitas yang berbeda, kubuat perjanjian persahabatan untuk nantinya tukar menukar foto. Tapi, sungguh sedih hatiku. Sebab, setelah rol-rol film diproses, ternyata foto-foto bidikkanku yang jadi tak pun separonya. Kebanyakan hitam saja. Keuntungannya hanya satu dari kejadian ini, aku tak perlu keluar biaya terlalu banyak. Karena, foto yang bisa dicetak hanya segelintir saja—demikian kuhibur diriku sendiri.
Gara-garanya, aku sangat sering lupa untuk membuka tutup kamera. Kamera yang dipinjamkan abangku tersebut adalah jenis double lens. Bukan single lens. Pada kamera single lens, saat mengintip di viewfinder kita akan segera tahu apakah tutup lensa sudah dibuka atau belum. Tak demikian hal-nya dengan kamera double lens. Intipan dari viewfinder ke obyek foto jelas terlihat padahal lensa perekam masih tertutup rapat. Bila ternyata lupa buka tutup lensa lalu tombol kamera terlanjur ditekan, ya apes. Itu yang terjadi padaku berulang kali.
Buat yang cerdik atau paham serta segera menyadari kesalahannya dalam hal lupa membuka tutup lensa, bisa menggulung balik film-nya. Asal tahu perkiraan hitungan menggulungbaliknya supaya tak terjadi double exposed. Buat orang sepertiku, cuma bisa senyum kecut setelah film negatif diproses karena telat sadar.
Pengalaman pahit di Jawa Tengah itu masih belum membuatku kapok. Ketika ke Bali untuk menghadiri sebuah turnamen silat tingkat nasional, sekali lagi kupinjam kamera abangku. Cekrak-cekrek berjalan lancar. Bahkan, pada satu kesempatan dengan bangga kuminta semua orang di arena pertandingan untuk foto bersama. Panitia, pesilat, pelatih, sesepuh; semuanyalah pokoknya. Kupasang flash pada kamera, kutegakkan kamera di tripod. Kusiapkan selftimer, biar aku bisa ikut nimbrung dalam foto.
"Siap-siap ya! Satu..., du--," hitunganku diinterupsi semua orang dengan teriakan-teriakan semacam eh oi hei woi...
"Ha!?" aku terperangah blo'on.
"Lensanya masih ketutup tuh," salah satu dari mereka kudengar berteriak memberi tahu.
Aih, tengsin! Barusan rasanya sudah macam fotografer profesional saja lho. Menang gaya doank ternyata.
Sampai di rumah lagi, film segera diproses. Lagi-lagi, foto yang jadi kurang dari separuhnya. Lagi-lagi, lensa lebih banyak tertutup daripada terbuka. AAAARGH!!! Kekesalanku memuncak. Aku protes pada abangku karena meminjamkan kamera yang tak praktis begitu.
"Ya memang disengaja. Karena, dasar pengetahuan memotret itu antara lain adalah untuk selalu ingat melepas tutup lensa," jawab abangku dengan tegas. =^.^=