CMYK (part 2/8)

Kisah Tentang Cyan, Magenta, Yellow, dan Key

CMYK (part 2/8)

CMYK (part 2/8)

 

#2

ASEP

 

Sudah lama aku tidak melihatnya. Sepertinya ia banyak pindah bagian. Kangen rasanya menghidu aroma tubuh perempuan itu. Dari dulu ia masih menebar wangi yang sama. Sejak sepuluh tahun lalu, aroma perpaduan jasmine dan green tea itu membuatku betah berlama-lama dengannya. Apalagi kalau ia duduk di bangku biru itu. Semakin aku rela menghabiskan waktu bersamanya. Dan ia kembali hari ini.

“Taman ini, dari pagi sampai sore, sejuk terus, ya…”

Senyumnya… indah sekali. Ia memang tidak seterang Yellow kulitnya. Malah cenderung cokelat muda karena terbakar matahari. Tapi wajahnya manis, padu dengan rambut hitamnya berpotongan bob seleher. Setiap hari ia selalu mengenakan topi hitam itu. Biasanya pinggir rambutnya diarahkan ke belakang telinga.

“Ada berita apa hari ini…?”

Ia membuka ponselnya. Jarinya menggeser layar.

“Orang ini kenapa pikirannya pendek sekali, ya. Dikiranya nyawa itu untuk dibuang begitu saja? Ck…”

Perempuan itu melanjutkan membaca.

“Oh, ini kejadian kemarin… hmm, ternyata enggak mati. Beruntunglah dia. Masih dikasih kesempatan hidup. Walau lumpuh.”

Ia menghela napasnya, lalu meletakkan ponsel. Mata perempuan bermata cokelat itu bergerak-gerak, membaca semua tulisan di hadapannya. Kadang aku malu jika beririsan pandang dengannya.

“Aku baru tahu, ternyata di sini banyak sekali tulisan.”

Ia melirik jam di ponselnya.

“Masih ada satu jam sebelum Magrib. Lumayan buat baca-baca ringan.”

Lima belas menit sebelumnya, gadis ini masih senyum-senyum membaca beberapa tulisan itu. Tapi kemudian, mimiknya berubah drastis. Ia mencocokkan berita di ponselnya dengan tulisan-tulisan itu.

“Aneh sekali… ada yang janggal ini…”

Ia memegang dagunya. Berpikir. Lalu difotonya semua tulisan itu. Ia pun membereskan peralatannya. Sapu lidi gagang panjangnya ditenteng oleh tangan kiri. Gerobak sampah ditariknya menggunakan tangan kanan. Ponselnya memarkir diri di dalam tas pinggang. Perempuan itu melangkah menjauhiku, menuju sepeda ontelnya. Sepatu boot kuningnya menutupi betis. Wanita yang gagah gemulai itu pergi seperti merencanakan sesuatu.

***

Tumben sekali pagi ini, banyak orang berdatangan ke taman. Semua berseragam. Ada dua mobil memarkir di samping sepeda ontel. Aku kenal sepeda itu. Tapi dua mobil polisi itu… mau apa, ya?

Dua orang polisi keluar dari mobil sedan. Sedangkan enam orang keluar dari mobil pickup. Semua menuju kemari. Termasuk gadis itu. Siapa yang mereka cari?

“Nona Key, kita sudah di taman kota. Saksi mana yang Anda maksud?” ujar polisi bertubuh gempal.

Mereka berbicara di dekatku. Sangat dekat. Aku diam saja dulu. Menyimak mereka berdiskusi.

“Bapak sedang berada di hadapannya,” balas Key.

“Oh… dia ini? Lusuh sekali. Anda yakin?” kata polisi berbadan tegap.

Sialan. Dia mengataiku lusuh sambil menunjuk-nunjuk. Mentang-mentang aku cokelat.

“Betul, Pak. Dia punya info lengkap. Saya rasa bisa dipakai sebagai bukti pendukung.”

“Baiklah, terima kasih, Nona Key. Sebenarnya saya ragu, tapi bolehlah dicoba,” polisi bertubuh gempal tersenyum lalu berbalik kepada tim polisi dari mobil pickup, “bawa dia,” perintahnya.

“Hei! Sebentar! Kenapa aku? Key? Key! Ada apa ini? Keeeyyy!”

Aku berusaha teriak sekerasnya tapi seperti tidak ada yang mendengar. Mereka semua acuh. Lalu ramai-ramai membawaku. Dipikirnya aku ini monster yang harus dijaga oleh banyak orang supaya tidak kabur. Tapi tidak bisa juga kuberlari. Kakiku seperti tertahan. Orang-orang ini sungguh kuat. Aku dijaga enam orang polisi dalam mobil pickup. Cih!

Key melihatku dari jauh. Ia sama sekali tidak bergerak. Alih-alih menolongku, malah ia yang meminta polisi-polisi ini membawaku. Apa kutendang saja sepeda tuanya?

“Heiii! Cepat naikkan dia ke mobil. Perbaiki posisi sepedanya. Pasti milik Nona itu,” sahut polisi gempal.

Aku berhasil menendang sepeda ontel Key. Kesal aku dibuatnya. Mobil pun bergerak. Dan aku kehilangan aroma tubuh perempuan itu.

***

Bau ruangan ini… aku tidak suka. Banyak aroma kepalsuan dan kemunafikan. Ditambah asap nikotin yang mengepul di asbak itu. Sumpek sekali.

“Sep, geledah dia,” tegas polisi bertubuh gempal.

“Mm… pakai sarung tangan, Pak?”

“Bukan. Pakai sarung tinju! Ya sarung tanganlah, Sep. Kamu ini menang badan doang yang tegap. Otak gaptek.”

“M-maaf, Pak.” Dia masih terlihat bingung.

“Apa lagi?”

“Sekarang, Pak?”

“Nanti aja. Tunggu es kutub mencair! Ya sekaranglah!”

“Saya kira menunggu komandan dulu gitu, Pak.”

“Kan saya komandan kamu! Heu!”

“Oh, i-iya, maaf, Pak.”

Polisi bertubuh gempal itu belum menanyaiku, tapi emosinya sudah memuncak gara-gara pria tegap kepala plontos itu. Dan dia, tampak tidak bisa bekerja.

Kemudian tubuhku diperiksa oleh polisi yang di dadanya ada label Asep itu. Untung dia tidak kasar. Sebentar saja dia menjamahku, sisanya hanya memandangi. Mengobservasi tepatnya. Ah, ada label lain selain nama di dadanya. Tertulis “magang”. Pantas saja kena omel terus.

“Dapat sesuatu, Sep?”

“Lumayan, Pak. Dari tubuhnya saja, sudah banyak bercerita.”

Sok tahu orang bernama Asep ini! Belum juga aku bicara, dia sudah menarik kesimpulan.

“Kamu lihat apa dari tubuhnya dia?”

“Tatoan, Pak.”

“Mendinglah, daripada panuan.”

“Ada juga, Pak, sedikit.”

“Apanya?”

“Panu, Pak.”

“Hati-hati kamu, nanti tertular. Panu itu gak bikin efek berbahaya, tapi bikin malu. Masa polisi badannya tegap panuan. Apa kata mertua nanti?” jelas polisi gempal itu sambil tertawa terbahak.

“S-saya belum menikah, Pak.”

“Apalagi itu! Badan tegap, gagah, tapi panuan. Dua hal positif jadi buyar gara-gara satu hal negatif. Mana ada calon mertua yang mau,” polisi gempal tertawa lagi.

“Siap, Pak.”

“Oke, catat semuanya, Sep. Termasuk tato, codet, dan panu. Satukan dalam catatan bukti-bukti. Orang bernama Cyan itu saat ini masih di rumah sakit. Nanti kita tanya dia setelah kondisinya pulih betul.”

“Betul, Pak.”

“Hhh, maksud saya sampai kondisinya pulih benar!”

“B-benar, Pak.”

“Haishhh, sudah, kamu catat saja! Bisa pensiun dini saya gara-gara kamu magang di sini!”

“Pensiun di sini, Pak?”

Polisi gempal tepuk jidat.

“Eee… dia bagaimana, Pak?” Asep menunjukku.

“Oh, dia… masukkan saja ke ruangan itu.”

“Lampunya, Pak?”

“Matikan saja. Hemat listrik.”

“Baik, Pak.”

Aku ditinggal oleh kedua polisi itu dalam ruangan gelap ini. Cukup dingin di sini. Lebih dingin daripada di taman kota itu.

Apa Cyan nanti mencariku, ya? Atau Yellow…? Kalau Key… ah, ia yang menjerumuskanku! Padahal aku rindu menghidunya.

***

Silau sekali. Perubahan gelap ke terang ini terlalu cepat. Asep yang menyalakan lampu rupanya. Sudah lama aku terlelap.

Cyan datang ke kantor ini, di atas kursi roda. Menyedihkan kondisinya. Ada memar di dahi. Mungkin bergesekan dengan aspal jalan. Tak mulus lagi wajahnya, tapi tidak berkurang kegantengannya. Dia menatapku sekarang.

“Kamu mengenalinya?” tanya polisi gempal.

“Tentu saja, sepuluh tahun saya bersama dia,” ucap Cyan.

Senyum itu, akhirnya aku melihatnya lagi. Kangen juga melihat dia tersenyum. Aku pun membalas senyumnya.

“Oke, saya rasa kamu sudah cukup pulih untuk bercerita. Kita punya banyak waktu. Dan Sep, catat, ya. Hidupkan perekam.”

“Dicatat juga, Pak?” tanya Asep.

“Ya iya atuh, Seeep!”

“Kan direkam, Pak?”

“Eh, benar juga. Nanti catatan kamu malah yang bikin ngaco. Ya sudah, kamu ikut dengar aja, Sep.”

Asep menarik bangku kayu ke dekat Cyan.

“Ngapain kamu, Sep?”

“Mau dengar cerita, Pak. Dari Kang Cyan ini,” jawab Asep sambil menunjuk kecil ke arah Cyan.

“Haishhh, tapi gak sedekat itu juga! Sini!”

Asep menarik lagi bangkunya, lalu bersebelahan dengan polisi gempal.

“Kamu kira kita sedang makan siang di kondangan, Sep? Gak usah nempel-nempel gini juga bangkunya! Haishhh.”

“B-baik, Pak.”

“Oke, Kang Cyan, Anda bisa mulai.”

OoO

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.