[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #6
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #6](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Enam
Perawan Sunti
dari Bawono Kinayung
Kresna merasa badannya segar sekali seusai mandi pagi ini. Ketika ia masuk melalui dapur, hanya dijumpainya Paitun di sana. Sedang menyiangi dedaunan untuk dimasak nanti.
“Ni?” sapanya halus. “Sendirian?”
Paitun mengangkat wajahnya sekilas. Memberikan seulas senyum. Kresna kemudian duduk di dekat perempuan itu.
“Ibumu sedang menemani adikmu belajar,” ujar Paitun.
“Belajar?” Kresna mengerutkan kening. “Di mana?”
“Iya, belajar,” jawab Paitun. “Tadi pagi buku-buku pesanan ibumu baru saja diantar Bibi Kriswo. Kemarin dia dan suaminya baru kembali dari ‘atas’.”
Kresna terbengong sejenak. Belajar? Jadi....
“Dia ada di kamar ibumu,” ujar Paitun lagi. “Tengoklah. Biliknya yang arah seberang bilikmu.”
Kresna ragu-ragu sejenak. Tapi diturutinya juga ucapan Paitun. Ia kemudian berdiri, berpamitan, dan meninggalkan ruangan itu. Ternyata, pintu bilik Wilujeng terbuka lebar ketika ia mendekat. Perempuan itu mendongak ketika Kresna berdiri di depan ambang pintu.
“Masuklah,” senyum Wilujeng.
Dan, Kresna ternganga begitu melangkah masuk ke bilik itu. Ada dua sisi dinding yang penuh dengan buku. Tertata rapi pada rak-rak nyaris setinggi langit-langit. Wilujeng tertawa melihat Kresna terbengong.
“Kenapa?” usik Wilujeng. “Hiburan Ibu dan Pinasti hanya buku-buku ini, Kres.”
Kresna mengerjapkan mata, kemudian duduk bersila di sebelah Wilujeng. Pinasti sendiri duduk di seberangnya. Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Tapi entah kenapa mendadak saja ada yang berubah dengan ritme detak jantungnya. Kresna buru-buru mengalihkan tatapan. Begitu juga dengan Pinasti. Gadis muda itu kembali menunduk. Menekuni sebuah novel teenlit yang tengah dibacanya. Kresna menatap Wilujeng.
“Dari mana Ibu dapat semua buku-buku ini?” tanyanya dengan kening sedikit berkerut.
“Mm.... Ada kalanya Bibi Kriswo dan Paman Randu, atau Nini, keluar ke ‘atas’. Menjual hasil kebun dan membeli berbagai kebutuhan kami. Termasuk buku-buku ini. Kami punya kebun berisi berisi berbagai tanaman obat yang langka dan berharga mahal. Ada toko khusus yang menampung hasil panen kami. Pemiliknya dulu pernah diselamatkan Nini.”
Mata Kresna mengerjap setelah mendengar penuturan ibunya. Lagi-lagi, ia harus menerima hal yang cukup absurd itu di benaknya. Dihelanya napas panjang.
“Bu, kenapa kita tidak kembali saja ke atas?” tanya Kresna.
Wilujeng pun ikut menghela napas panjang sebelum menjawab, “Belum saatnya, Kres. Nanti kalau sudah tiba saat yang tepat, Nini akan memberitahu kita, dan kita akan kembali.”
“Aku mengkhawatirkan Ayah, Bu,” desah Kresna. “Aku menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan Ayah mengatasi kesedihannya atas kehilangan Ibu. Bagaimanapun Ibu tak pernah tergantikan di hati Ayah. Dan, sekarang aku....”
Tangan Wilujeng terulur. Menjangkau bahu Kresna. Meremasnya lembut. Tapi ia tak berkata apa-apa. Hanya saja matanya sedikit mengaca. Sejenak kemudian ia berhasil menguasai diri dan mengembangkan seulas senyum.
“Sekarang, ceritakan tentang jagoan Ibu yang satunya,” bisik Wilujeng.
Kresna tersenyum.
“Sejak peristiwa itu, Seta jadi anak manis, Bu. Kelihatannya ia sadar perbuatannya sudah membuat kita terpisah. Ayah pernah mendatangkan temannya untuk mengatasi masalah ini. Belakangan aku tahu teman Ayah itu psikolog. Pelan-pelan kami semua dipulihkan. Dan, Seta nggak lagi senakal dulu.”
“Tapi kenapa dia mencelakaimu?” Tatapan Wilujeng menajam.
Kresna tersentak dibuatnya. Ia balas menatap Wilujeng. Matanya sedikit melebar.
“Jadi Ibu mengira Seta yang mendorongku sampai aku jatuh ke jurang?” Suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Bukan dia?” Tatapan Wilujeng terlihat waspada, sekaligus berlumur kelegaan. “Lantas siapa?”
Tatapan Kresna meredup. Pemuda itu terdiam. Tapi beberapa detik kemudian ia menggeleng.
“Sudahlah, Bu,” gumamnya. “Yang penting aku selamat.”
“Dan, kalau kamu kembali lagi ke atas, dia akan mencoba lagi melakukan hal yang sama padamu!” geram Wilujeng.
Kresna kembali menggeleng. “Aku pikir dia nggak akan berani melakukannya lagi. Atau aku akan buka kedoknya.”
Wilujeng mendengus. Terlihat tak puas. Tanpa keduanya sadar, Pinasti menatap Kresna lekat-lekat. Tatapannya tajam. Menembus isi benak Kresna. Lalu, didapatinya sesuatu. Tapi ia tetap diam, dan kembali berlagak menekuni novel yang dibacanya. Wilujeng menghela napas panjang. Bertepatan dengan itu, Paitun muncul di ambang pintu. Baik Wilujeng maupun Kresna menatap ke arahnya.
“Selagi masih di sini, sebaiknya kamu melihat-lihat tempat ini, Kres,” ucap Paitun. “Supaya kelak kamu tak lupa pada Nini.”
Entah kenapa, ucapan dengan nada biasa itu menimbulkan keharuan tersendiri di hati Kresna.
“Pin, temanilah masmu. Tunjukkan tempat-tempat yang kamu suka. Beri tahu semua yang masmu ingin ketahui.”
“Baik, Ni,” dengan patuh dan manisnya Pinasti menanggapi ‘perintah’ Paitun.
Sebelum berdiri, gadis muda itu meraih sebuah tas kain, dan memasukkan beberapa buku ke dalamnya. Ia kemudian menatap Kresna.
“Ayo, Mas.”
Kresna tak punya alasan untuk menolaknya. Ia pun ikut berdiri. Saat mengikuti langkah Pinasti melewati ambang pintu, Paitun mengulurkan sebuah keranjang rotan kecil padanya. Dengan wajah bertanya, Kresna menerima keranjang itu.
“Ini bekal kalian. Siapa tahu kalian lapar atau haus.” Paitun menjawab keheranan Kresna.
“Oh....” Kresna mengangguk. “Terima kasih, Ni.”
Sesampainya di luar, Pinasti berhenti sejenak. Ditatapnya Kresna.
“Mas mau ke mana?”
Kresna balas menatap. “Terserah kamu, Pin. Kamu lebih paham tempat ini.”
“Mm....” Pinasti berpikir sejenak. “Ke padang rumput saja, ya? Tempatnya bagus.”
Kresna pun mengangguk.
* * *
Pelan-pelan Paitun menutup pintu depan pondok setelah melepas kepergian Pinasti dan Kresna. Ia melangkah ke belakang, ke dapur. Kosong. Rupanya Wilujeng sudah ke sungai untuk mencuci pakaian. Benar saja, perempuan ayu itu ditemuinya di sana. Sudah siap untuk merendam pakaian-pakaian kotor mereka. Paitun kemudian duduk di sebuah batu besar di dekat Wilujeng.
“Jeng, kebersamaan kita tak akan lama lagi,” gumam Paitun.
Seketika Wilujeng menghentikan gerakan tangannya. Ia mendongak. Menatap Paitun. Mata perempuan setengah tua itu terlihat menerawang.
“Makin dekat waktunya bagimu untuk kembali ke ‘atas’,” Paitun meneruskan gumamannya. “Tapi sebelum itu, ada yang harus kamu ketahui. Tentang Pinasti.”
Wilujeng makin tak bisa berpaling. Ditatapnya Paitun lekat-lekat.
“Anakmu itu sudah tumbuh jadi perawan sunti,” Paitun kini balas menatap Wilujeng. “Dan, tugasmu sudah selesai.”
“Maksud Emak?” kening Wilujeng berkerut dalam.
Paitun menghela napas panjang sebelum melanjutkan bicaranya.
* * *
Sedikit demi sedikit, Pinasti mulai memahami apa yang sedang mengguncang hatinya beberapa hari belakangan ini. Sejak ia melihat sosok Kresna untuk pertama kalinya.
Perasaan ini....
Pinasti melangkah dalam hening di samping Kresna. Begitu juga pemuda itu. Keduanya seolah tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing.
Mereka menyusuri jalan dengan mengambil arah ke kanan sekeluarnya dari pondok Paitun. Ujung jalan itu buntu, berakhir pada sekumpulan pakis raksasa. Tapi Pinasti berjalan terus. Tangan mungilnya bergerak menyibak rumpun pakis itu. Ternyata ada sebuah lorong di baliknya.
Tanpa berkata apa-apa, Kresna mengikuti langkah Pinasti masuk ke dalam lorong itu. Dari suasana terang yang teduh di mulut lorong, makin ke dalam makin redup walaupun tidak gelap pekat. Kresna merasakan semilir angin dari arah depannya.
Sekitar lima menit melangkah dalam kegelapan, menembus lorong dengan banyak cabang dan seolah melingkar-lingkar, mereka pun sampai di ujungnya. Suara germercik air sudah terdengar sejak mereka memasuki cabang lorong terakhir. Ada sungai kecil yang mengalir di ujung lorong itu. Pinasti berbelok ke kiri. Kresna tetap mengikutinya. Sebuah sampan kecil tertambat di dermaga mini. Pinasti meraih tali yang menambatkan sampan itu ke tiang dermaga dan melepaskan ikatannya.
“Masuklah, Mas,” ucapnya.
Kresna pun menurut. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam sampan. Benda itu sempat bergoyang-goyang ketika ia menapakkan kaki dan menempatkan diri. Tapi entah, sedikit pun ia tak merasa khawatir. Ia merasa bahwa ia akan baik-baik saja bersama Pinasti. Ada perasaan nyaman yang begitu kuat. Apalagi ketika gadis muda itu naik pula ke dalam sampan.
“Mana dayungnya, Pin?” Kresna mencari-cari sesuatu.
“Nggak ada.” Pinasti menggeleng. Tersenyum. “Sampan kita akan meluncur sendiri.”
Dan, benar saja! Sampan itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Meluncur mengikuti arah air mengalir. Kresna ternganga sejenak. Ia kemudian menggeleng samar.
Setelah ini, keajaiban apa lagi yang akan kutemui?
Sampan itu terus melaju. Ada tiga lorong di depan. Ketika sampan terus mendekati mulut lorong-lorong itu, tangan kanan Pinasti terulur ke arah air. Dengan halus, ia menepuk air di bagian kanan sampan sebanyak tiga kali. Seketika arah sampan berubah. Melenceng ke kanan, masuk ke lorong paling kanan. Kresna kembali ternganga.
Lorong itu sepertinya berujung di sebuah tempat yang terang. Tampak ada sumber cahaya di depan. Sampan itu terus melaju. Menimbulkan suara kecipak halus yang terdengar indah di telinga.
Terang itu makin jelas. Dan, Kresna ternganga untuk kesekian kalinya ketika mereka keluar dari lorong. Sungai kecil itu berbelok ke kiri. Mengalir terus berujung entah di mana. Mereka kini sudah sampai di tepi sebuah padang rumput luas yang hijau, disinari cahaya mentari, dan ada beberapa pohon peneduh di sepanjang tepi sungai. Selain itu, ada dermaga kecil lain di sana. Tempat sampan itu berlabuh, dan Pinasti menautkan tali tambatan ke salah satu tiangnya.
Kresna turun pelan-pelan dari sampan. Ia mendongak. Membiarkan sinar lembut matahari menghangatkan wajahnya yang selama beberapa hari ‘terpendam’ di dunia ‘bawah’. Ia tak terlalu peduli ada di mana ia sekarang.
Diam-diam, Pinasti menatap Kresna. Menatap wajah tampan pemuda itu. Wajah tampan yang terlihat begitu berseri di bawah pendar cahaya matahari. Tapi ia buru-buru mengalihkan tatapannya ketika kepala Kresna bergerak. Kali ini, pemuda itu melihat berkeliling. Mengamati keindahan padang rumput yang membentang di sekitar mereka.
“Pin... ini bagus sekali...,” desahnya.
“Ya.” Pinasti mengangguk. Tersenyum. “Setidaknya, inilah dunia ‘atas’ yang pernah kukenal.”
Seketika Kresna menatapnya. Dunia atas? Ia melihat lagi berkeliling. Padang rumput itu cukup luas. Ada tebing yang membentang tinggi di seberang sana. Dan... Astaga.... Itu mobil-mobil? Terlihat ada jajaran berbagai kendaraan bermotor yang hilir mudik pada sebuah jalur. Jadi...?
“Pin... ini...?” Kresna tak sanggup meneruskan ucapannya.
“Kata Nini, itu jalur Pegunungan Pedut,” ujar Pinasti sambil duduk di bawah sebuah pohon. “Dulu, Ibu ditemukan di sisi sebaliknya sana.”
Kresna terduduk di dekat Pinasti. Terakhir, ia mendaki Gunung Nawonggo. Setidaknya, Gunung Nawonggo berjarak dua kota dari Pegunungan Pedut. Kini Pegunungan Pedut ada tepat di depan matanya. Dan, baru saja ia melalui perjalanan seturut aliran sungai hanya beberapa belas menit saja lamanya dari bawah Gunung Nawonggo.
Astaga.... Dunia apa ini?
Hanya itu yang mampu ia ucapkan dalam hati. Keajaiban-keajaiban yang dialaminya belakangan ini sungguh menggoncangkan logika yang selalu bermain di benaknya. Samar, Kresna menggelengkan kepala. Ia kemudian membaringkan diri di sebelah Pinasti. Gadis muda itu sudah kembali sibuk dengan novelnya.
Diam-diam Kresna mengamati adiknya itu. Seorang gadis muda yang benar-benar memiliki kecantikannya sendiri. Ada debar yang mulai bermain dalam hatinya. Debar liar yang sejujurnya mulai membuatnya ketakutan.
Astaga, Kresna! Dia adikmu sendiri!
Matanya mengerjap ketika suara hatinya berseru-seru mengingatkan. Kresna kemudian bangkit dan mulai berjalan-jalan di sekitar. Tangannya meraih batang-batang rumput dengan bunga kecil warna-warni di setiap ujungnya. Setelah berpikir sejenak, ia pun mencabut batang-batang berbunga itu.
Di sebelah sana, ada bebungaan liar yang lebih besar dengan warna-warni lebih cerah. Kresna pun melangkah ke arah itu. Pinasti mendongak sejenak. Tersenyum simpul. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ia kembali menunduk ketika Kresna mendadak saja terpental beberapa langkah ke belakang. Seolah-olah gadis itu tak tahu apa-apa.
Kresna sendiri tersentak mendapati kenyataan itu. Ia kemudian berjalan pelan ke arah depan, dengan tangan kiri terulur. Tepat di sekitar ia terpental tadi, ujung jemarinya membentur sesuatu. Dengan mengerutkan kening, ia meraba sesuatu itu. Seperti dinding kaca. Membentang entah dari mana sampai ke mana. Ia berbalik, menatap Pinasti.
“Pin....”
“Ya?” Pinasti mendongak dengan wajah polos.
“Kita terpisah dari... dunia luar?” tanya Kresna, ragu-ragu.
Pinasti mengangguk. Membuat Kresna tertegun. Jadi.... Ia mengerti kini. Pelan, ia kembali ke sini Pinasti. Duduk di sana. Terdiam dalam hening.
“Karenanya aku berani mengajak Mas ke sini,” ucap Pinasti dengan nada lembut. Nyaris hanya menyerupai gumaman.
Ya, karena aku tak mungkin bisa melarikan diri begitu saja.
Kresna kemudian ingat ucapan ibunya. Tentang waktu yang tepat. Seutuhnya ia memercayai hal itu. Dihelanya napas panjang. Perhatiannya teralih pada batang-batang bunga rumput yang ada di tangannya.
Ia segera tenggelam dalam keasyikan merangkai batang-batang itu. Ketika dirasanya kurang, ia mengambil lagi. Tak jauh. Tak sampai di tempat yang sudah membuatnya terpental tadi.
Pemuda itu tersenyum puas ketika ketekunannya selama beberapa saat baru saja membuahkan hasil. Sebuah mahkota yang cukup bagus. Pelan-pelan, dengan sangat hati-hati, ia meletakkan mahkota itu di puncak kepala Pinasti.
Perawan sunti cantik itu terlihat sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah Kresna, yang menatapnya sambil tersenyum.
“Cantik,” gumam Kresna.
Gumaman yang seketika menimbulkan badai dalam hati Pinasti. Gadis itu kemudian tertunduk dengan pipi bersemu merah. Menggemaskan sekali. Kresna meraihnya ke dalam pelukan. Berusaha menemukan kedekatan ikatan abang-adik yang ia belum pernah punya pengalaman merasakannya.
Tapi....
ZRRRTT!
Keduanya seolah tersentak, dan sama-sama terpental.
Aliran listrik itu!
Kresna ingat pernah merasakannya. Tapi kali ini sengatan itu jauh lebih besar tenaganya. Ditatapnya Pinasti yang balas menatapnya dalam belalak mata bulat besar.
“Pin, kenapa?” suara Kresna terdengar sedikit gemetar. Ia benar-benar kaget baru saja.
Dengan wajah sedikit ketakutan Pinasti menggeleng berkali-kali.
“Aku tidak tahu...,” bisiknya.
Kresna sungguh ingin kembali memeluk adiknya itu. Menenangkannya. Menghilangkan cahaya ketakutan dari matanya. Tapi ketika ia mengulurkan tangan, Pinasti justru beringsut menjauh.
“Jangan...,” gumamnya. “Jangan sekarang.”
Kresna menatapnya dengan putus asa.
* * *
Wilujeng menatap air danau dengan pandangan kosong. Apa yang tadi didengarnya dari Paitun benar-benar mengguncangkan dunianya.
Tiga belas tahun, Gusti.... Tiga belas tahun!
Dan, tugasnya akan segera selesai. Ia akan segera berpisah dengan Pinasti. Sebuah rasa yang tak pernah terbayangkan.
Rasanya baru kemarin ia mulai merawat dan menyusui Pinasti. Bayi mungil cantik yang dikenalnya sebagai bayi yang terlahir saat ia dalam kondisi tak sadar setelah menggelinding jatuh ke dalam jurang. Bayi mungil cantik yang menjadi pusat dunianya selama tiga belas tahun ini. Bayi mungil cantik tempat ia menumpahkan kasih sayang. Bayi mungil cantik yang kini sudah tumbuh menjadi seorang perawan sunti.
Perawan suntiku yang tak bisa kubawa pulang....
Air mata Wilujeng meleleh membanjiri kedua pipinya. Ia tetap diam ketika ada dengking yang menggema di dekatnya. Tanpa menoleh ia sudah tahu. Suket Teki ada di belakangnya. Ajak betina berwarna putih yang merupakan induk Bondet itu mendekatinya tanpa suara. Kemudian duduk di sebelahnya.
‘Emak menyuruhku menemanimu, Mbak,’ ucap Suket Teki tanpa suara.
Wilujeng menoleh sekilas.
‘Pinasti akan baik-baik saja. Aku akan menjaganya,’ ucap Suket Teki lagi.
.
Wilujeng tetap diam. Benaknya gelap. Tak mampu berpikir apa-apa lagi. Rasanya masih tak terima dengan apa yang selama ini sudah terjadi padanya.
“Mak, aku mohon, perbolehkan aku membawa Pinasti bersamaku.”
Tapi gelengan Paitun begitu teguh dan tegas. Membuat hati Wilujeng yang patah jadi makin hancur.
Lalu ia berlari keluar dari pondok. Menyingkir ke danau. Merenungi kehidupan keduanya. Rasanya....
Suara lembut Suket Teki perlahan menyentuh hatinya.
‘Besok, kuantar ke makam anakmu, Mbak. Kita berangkat pagi-pagi.’
Wilujeng kembali tergugu.
Jadi bayiku sendiri sudah tiada? Buah cintaku dengan Mas Mahesa....
Yang diasuhnya selama ini, yang dinamainya Pinasti, yang dicintainya sepenuh hati, adalah bayi lain yang dibuang ke Jurang Srandak beberapa malam sebelum ia terjatuh. Bayi mungil cantik yang masih hidup dan ditemukan oleh Sumpil. Ajak itu kemudian memanggil bibinya, Suket Teki. Ajak putih betina itulah yang kemudian memberi tahu Sentono dan Winah, sehingga jiwa bayi mungil itu bisa diselamatkan.
Lalu, datang pula Wilujeng. Perempuan terluka parah yang kehilangan bayinya. Sebuah situasi yang sangat sempurna ketika sesosok bayi mungil dan seorang ibu saling membutuhkan.
‘Pulanglah sekarang, Jeng!’
Tiba-tiba saja suara Paitun menyeruak masuk ke benak Wilujeng.
‘Aku belum selesai bicara! Nanti keburu anak-anak pulang!’
Mau tak mau, Wilujeng pun bangkit. Dengan langkah gontai ia kembali ke pondok. Suket Teki mengiringi di belakang. Keduanya melangkah dalam hening.
* * *
Pinasti berusaha menenangkan hati dan perasaannya. Debar jantungnya perlahan normal kembali. Tatapannya pun berangsur menyiratkan keteduhan lagi. Tanpa kata, ia menerima minuman yang disodorkan oleh Kresna. Semangkuk teh dalam wadah tempurung kelapa yang baru saja dituangkan Kresna dari dalam teko.
“Terima kasih,” gumamnya.
Kresna mengangguk. Menyesap teh dari mangkuk tempurung kelapa di tangannya sendiri. Sejenak kemudian ia menoleh, menatap Pinasti.
“Kamu... nggak apa-apa?” tanyanya, lirih.
Pinasti menggeleng. “Nggak apa-apa.” Ia kemudian menoleh juga, balas menatap Krsna. “Mas sendiri?”
“Nggak apa-apa.” Kresna juga menggeleng. “Cuma kaget saja.”
“Maafkan aku, Mas.” Pinasti tertunduk. “Aku sendiri nggak tahu kenapa bisa begitu.”
“Sudah... Nggak apa-apa,” hibur Kresna.
Tanpa sadar tangannya terulur, mengelus kepala Pinasti. Sempat ada sengatan kecil. Tapi ia sudah siap. Dan, selanjutnya tidak terjadi apa-apa. Kresna termangu.
Dia adikmu! Dan, usianya baru tiga belas tahun!
Kresna mendegut ludah saat hatinya kembali berseru-seru mengingatkan. Sementara itu, Pinasti sendiri berusaha untuk membuang jauh-jauh pikiran yang sempat menghampirinya.
Apakah ini yang dinamakan cinta? Seperti novel-novel dan cerita-cerita yang pernah kubaca? Tapi dia masku sendiri!
Kresna kemudian menyibukkan diri dengan mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan di dalam keranjang rotan yang tadi dibawanya. Ia menemukan beberapa bungkus makanan serupa lemper di dalam keranjang itu. Dikeluarkannya ‘lemper’ itu.
“Makan dulu, Pin,” ucapnya.
Pinasti mengangguk dan mengambilnya satu buah. Kresna pun mulai menggigit dan mengunyah ‘lemper’ itu, yang ternyata adalah arem-arem[1]. Enak. Dan, ia menambah satu lagi.
Sambil mengunyah, tatapan Kresna jatuh di kejauhan. Pada kesibukan di jalur atas tebing di seberang sana. Kehidupan normalnya selama ini. Tanpa sadar ia mendesah.
“Mas Kresna... nggak betah di sini, ya?”
Suara lirih bernada ragu-ragu itu memecah keheningan. Kresna menoleh. Menatap Pinasti sejenak sebelum tatapannya kembali berlabuh di kejauhan. Sungguh, sulit sekali dirasanya menjawab pertanyaan Pinasti. Ia kemudian berdehem sebelum menjawab.
“Ehm! Mm.... Aku... punya kehidupan sendiri di ‘atas’.” Kresna mengerjapkan mata. “Ada Ayah, ada Seta. Seta itu masmu juga, kembaranku. Aku sekolah. Kuliah namanya, di perguruan tinggi. Saat ini sedang libur. Makanya mendaki Gunung Nawonggo bersama teman-teman dekatku. Tapi, di sini... aku betah juga. Ada Ibu, ada kamu. Kehidupan yang berbeda. Aku... Tapi kurasa tempatku bukan di sini, Pin.” Kresna menghela napas panjang.
Pinasti tercenung sejenak. Ia belum bisa membayangkan bagaimana sebetulnya kehidupan di ‘atas’. Banyak buku yang sudah dibacanya sebetulnya banyak sekali memberikan gambaran. Begitu juga cerita-cerita Wilujeng. Tapi tetap saja terasa di awang-awang baginya.
Paitun pernah mengatakan padanya, bahwa suatu saat ia akan ke ‘atas’ juga. Bisakah ia menyesuaikan diri?
“Pin, sinar yang menerangi Bawono Kinayung, dari mana asalnya?” Tiba-tiba saja Kresna menggumamkan pertanyaan itu.
“Oh, Mas Kresna mau tahu?” Ada binar yang memancar indah dari mata bening Pinasti.
Kresna mengangguk. Pinasti kemudian sibuk merapikan buku-bukunya, dan memasukkannya ke dalam tas. Melihat itu, Kresna pun turut merapikan bekal mereka. Setelah selesai, Pinasti pun berdiri.
Tanpa sadar, tangan kanan perawan sunti itu meraih tangan kiri Kresna. Lagi-lagi ada sengatan kecil. Keduanya seketika bertatapan. Tapi tak lama, sebelum keduanya sama-sama mengalihkan pandangan mata ke arah lain dengan wajah bersemu merah.
Mereka kembali ke sampan. Walaupun sudah siap dengan keajaiban yang mungkin akan dihadapinya lagi, tak urung Kresna ternganga ketika mendapati bahwa kini aliran air sungai kecil itu berbalik. Tidak mengarah ke luar, tapi ke dalam lorong. Sampan yang mereka tumpangi pun kembali bergerak seturut aliran air.
Sampai di ujung lorong, Pinasti mengulurkan tangan kirinya. Menepuk lembut permukaan air sebanyak tiga kali. Sampan pun berbelok masuk ke lorong tunggal. Mereka terus meluncur hingga melewati dermaga tempat asal sampan itu. Hingga mereka sampai di ujung lain lorong. Dan, sampan itu berhenti di tengah-tengah sebuah ruang luas dengan langit-langit menyerupai cerobong terbuka, kira-kira dua puluh meter diameternya.
Sampan itu mengapung diam. Kresna mendongak. Menatap langit biru dengan sinar matahari memancar terang. Lebih terang karena dinding cerobong itu memantulkan cahaya matahari. Hingga lama-lama Kresna merasa silau.
“Banyak pantulan matahari berasal dari sini,” Pinasti menerangkan. “Salah satunya sampai di Bawono Kinayung. Tidak sekemilau ini, tapi cukup untuk menerangi Bawono Kinayung.”
Kresna benar-benar kehilangan kata. Berkali-kali ia menghela napas panjang untuk menghalau rasa sesak di dada. Ia kemudian mengerjapkan mata.
“Aku tahu sekarang,” gumamnya. Ia mengalihkan tatapannya. “Pin, kita pulang?”
“Baiklah,” Pinasti mengangguk.
Dalam hening, sampan itu berbalik arah, dan kembali meluncur ke dalam lorong. Ke arah dermaga.
Sejujurnya, Pinasti lega karena Kresna meminta untuk pulang ke Bawono Kinayung. Ada begitu banyak pertanyaan yang ia ingin ajukan kepada Wilujeng.
Tentang rasanya.
Tentang hatinya.
Tentang seorang Kresna.
* * *
Mahesa duduk diam menghadap sebuah meja bundar berbahan besi tempa bercat putih di halaman belakang rumah. Membiarkan cahaya matahari menghangatkan seluruh tubuh dan hatinya. Seperangkat meja dan kursi itu adalah saksi kebahagiaan mereka berempat bertahun-tahun lalu.
Hampir setiap akhir pekan atau hari libur, mereka berempat menikmati sarapan bersama di halaman belakang rumah. Di bawah hangatnya cahaya matahari. Kadang-kadang juga makan malam. Ditemani temaram cahaya lilin dan lampu taman. Tapi sejak kepergian Wilujeng, mereka bertiga yang tertinggal tak pernah lagi mengulangi ritual penuh kehangatan itu. Rasanya terlalu menyakitkan untuk mengingat saat-saat manis itu.
Tapi entah kenapa, kali ini Mahesa ingin duduk di sana. Mencoba merenungi apa yang belakangan ini terjadi padanya. Juga telepon yang diterimanya dari Samadi dini hari tadi. Harapan sekaligus prasangka yang begitu menyakitkan.
Dalam kedalaman mata Seta, ia tak menemukan apa pun kecuali luka yang sama dengan yang diusungnya. Ya, Seta memang pernah menjadi penyebab kepergian Wilujeng. Tapi tidak untuk kasus Kresna.
Prasangka itu begitu rapat membungkusnya hingga tak lagi bisa berpikir jernih. Baru tersadar ketika Seta menatapnya penuh air mata sembari berbisik, “Aku juga kehilangan Kresna, Yah. Bukan aku yang melakukannya. Bahkan membayangkan atau berpikir untuk menyakitinya pun aku tak pernah.”
Kemudian keduanya berpelukan erat. Menangis bersama. Ia yang pada akhirnya tersadar bahwa harapan itu masih ada. Kresna-nya masih bisa kembali. Dengan syarat.
Mahesa menghela napas panjang, bersamaan dengan secangkir teh lemon hangat terulur padanya. Ia mengangkat wajah. Seta duduk di dekatnya. Pelan, keduanya menyesap isi cangkir masing-masing.
“Sekali lagi, Ayah minta maaf, Seta,” gumamnya, penuh penyesalan.
Seta mengangguk. Tersenyum samar. Kesedihan masih menggantung di matanya. Tapi....
“Ya, aku mengerti, Yah,” ujarnya pelan. “Nggak apa-apa.”
Mahesa kembali menghela napas panjang.
* * *
Seutuhnya Seta menyadari dan merasakan, ia tak pernah lagi jadi sosok yang sama di mata ayahnya. Cap sebagai seorang pembunuh kecil sudah menempel begitu saja di keningnya. Sekeras apa pun cara untuk melunturkan kenangan itu dari kehidupan mereka.
Ketika sang ayah belum juga bisa menerima dirinya secara utuh bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, Kresna-lah yang membuatnya mampu bertahan dan sedikit demi sedikit meretas semua rasa sakit dan penyesalan itu. Kresna adalah setengah jiwanya. Dan, ketika setengah jiwa itu menghilang, yang ada dalam dirinya adalah sebuah ruang kosong yang sedemikian besarnya.
Ia tak lagi mampu berpikir apa-apa. Ruang kosong itu kini penuh dengan penyesalan dan ‘seandainya’. Seandainya ia tak berjalan tepat di belakang Yopie.... Seandainya ia memilih untuk berada di dekat Kresna.... Seandainya.... Seandainya.... Semua itu membuat benaknya pepat.
“Kresna masih hidup,” bisik Mahesa, nyaris tanpa suara.
Bisikan yang membuat Seta seketika terpental keluar dari lingkaran pikirannya sendiri. Ditatapnya Mahesa.
“Ada di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Kapan dia pulang?” Diberondongnya sang ayah dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Tapi Mahesa menggeleng dengan wajah muram.
“Ada yang mencelakainya, Set,” gumam Mahesa, patah. “Kresna nggak terpeleset. Kita harus lebih dulu menemukan orang yang mencelakainya itu dan membuatnya mengaku. Baru Kresna bisa kembali.”
“Tapi siapa yang....”
Ucapan itu menggantung begitu saja di udara. Seta mendadak tertegun dan terhenyak.
Dia.... Astaga! Benarkah?
Tanpa berkata apa-apa lagi Seta kemudian bangkit dan berlari ke arah garasi. Tak dipedulikannya seruan Mahesa memanggil namanya. Beberapa detik kemudian, ia sudah memacu motornya ke suatu tempat.
* * *
“Aku minta maaf, Jeng,” ucap Paitun dengan sangat tulus, “yang sebesar-besarnya,”
Wilujeng mengerjapkan matanya yang kembali basah. Ia duduk diam di atas balai-balai di beranda pondok. Suket Teki duduk di dekatnya. Mengulurkan cakar kanan depannya ke pangkuan Wilujeng. Perempuan itu menggenggam cakar putih Suket Teki, seolah ingin mencari kekuatan lebih.
“Sekali lagi, ini takdir,” lanjut Paitun, dengan nada suara sangat lembut. “Gusti sudah menetapkan demikian. Agar kamu membesarkan Pinasti dengan tanganmu sendiri. Memberinya semua yang dia butuhkan agar bisa menyesuaikan diri nantinya dengan suasana di ‘atas’. Tempatnya memang harus di ‘atas’, bukan di sini. Tapi bukan bersamamu.”
Air mata kembali menderas membasahi pipi Wilujeng. Paitun mengulurkan tangannya. Menyentuh dan meremas lembut bahu Wilujeng.
“Aku mengerti perasaanmu, Jeng,” bisik Paitun. “Seperti itulah yang kami rasakan setiap kali harus melepas kembali orang-orang yang memang sudah seharusnya kembali lagi ke ‘atas’. Tapi aku tidak akan membiarkanmu dan Pinasti menderita karena perpisahan itu. Aku akan menghapus sebagian ingatanmu dan Pinasti. Ingatan tentang ikatan ini. Juga menghapus sebagian ingatan Kresna akan tempat ini.”
Wilujeng masih terisak. Kali ini Suket Teki berdiri dengan kaki belakangnya. Kedua kaki depannya memeluk Wilujeng.
“Satu hal lagi yang harus kamu tahu,” Paitun kembali melanjutkan penjelasannya. “Semua yang terjadi pada kalian bukanlah tanpa alasan. Selalu ada benang merah atas semua peristiwa. Kali ini, benang merah itulah yang menghubungkan Pinasti dan Kresna, melalui dirimu. Karena sesungguhnya, Pinasti dan Kresna adalah belahan jiwa. Suatu saat nanti keduanya harus bersatu kembali. Tapi tidak sekarang, karena Pinasti masih terlalu muda. Juga tidak di sini, karena tempat mereka adalah di ‘atas’ sana. Dunia yang menjadi dunia kalian seharusnya.”
Seketika Wilujeng mengangkat wajahnya. Bibirnya ternganga saat tatapannya bertemu dengan tatapan Paitun yang begitu dalam. Penuh rahasia.
Saat itu, perasaannya mengatakan bahwa kedua buah hatinya sudah dekat. Ia menoleh. Mendapati bahwa Pinasti dan Kresna sudah mulai terlihat sosoknya. Tengah melangkah menyusuri jalan. Tanpa bisa menahan diri, Wilujeng berlari ke arah keduanya, dan begitu saja memeluk perawan suntinya. Erat. Sangat erat.
* * *
Tangan kukuh Kresna menyibakkan rumpun pakis raksasa yang menutupi mulut lorong dari luar. Bahasa tubuhnya menyiratkan agar Pinasti keluar lebih dulu. Perawan sunti itu pun memahaminya. Sejenak kemudian keduanya sudah berada kembali di Bawono Kinayung.
Kebersamaan mereka beberapa saat lalu selama puluhan menit rupanya belum mampu meruntuhkan dinding yang seolah terbangun begitu tinggi di antara keduanya. Ada debar jantung yang susah untuk dikendalikan. Ada perasaan dekat sekaligus jauh. Ada upaya untuk menguasai diri. Juga banyak pertanyaan yang seolah bertaburan di sekitar mereka.
Dalam hening, keduanya kembali melalui jalan berpasir halus itu. Sekilas Kresna melirik Pinasti. Perawan sunti itu masih mengenakan mahkota rangkaian bunga rumput warna-warni di kepalanya. Debar liar itu kembali muncul dalam dadanya. Debar yang belum pernah muncul saat ia bertemu dengan gadis mana pun di ‘atas’. Tapi sekali lagi, untuk kesekian kalinya, penolakan itu kembali muncul di hatinya.
Pinasti adiknya. Bisa jadi perasaan itu muncul karena mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tahu-tahu ia berhadapan dengan seorang perawan sunti cantik yang mampu menggoncangkan hati. Entah bagaimana nanti harus mengubah perasaan itu.
Mungkin Ibu atau Nini tahu.
Kresna menghela napas panjang.
Pondok Paitun sudah terlihat. Tapi, tanpa disangka-sangka, Wilujeng berlari menyongsong mereka. Seketika perempuan itu memeluk erat Pinasti. Dengan wajah bersimbah air mata.
* * *
(Bersambung hari Kamis )
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
[1] Arem-arem = makanan serupa lemper, yaitu nasi bersantan yang diisi sayuran atau sambal goreng, dibentuk silinder, dibungkus daun pisang, dan dikukus lagi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.