Benci Ibu

Benci Ibu
image by commons.wikimedia.ord

“Jika memang maumu begitu, pergilah.”

 

Aku tak punya pilihan, melihat bapa yang semakin tua. Hatiku semakin tak tahan untuk segera pergi dari rumah. Bapa tak pernah memberi restu, menurut Bapa walaupun Bapa sudah tua, tapi masih bisa membeli makanan untuk Ibu dan Aku anak satu-satunya.

Ibu sudah terbaring sakit, hampir separuh perjalan hidupku tak pernah tersentuh ibu.

 

Aku kesal, karena aku satu-satunya siswa di sekolah yang tak pernah diambilkan rapotnya oleh Ibu. Ah Ibu kenapa ibu hanya bisa berbaring tak berdaya.

 

Kubereskan semua bajuku, kusisakan beberapa untuk aku nanti pulang kembali.

Dari ujung mata aku melihat ibu berkaca-kaca.

Tidak, aku tidak boleh melihat ibu, yang ada aku bisa batalkan niatku ini.

 

“Bu, aku besok pergi. Doakan anakmu agar bisa sukses di kota, agar bisa kirim uang yang banyak dan agar bisa bawa ibu berobat.”

 

Tangis ibu pecah, tak ada suara hanya nanar yang terlalu gemetar.

 

Tak ada pemandangan yang indah senja ini. Hujan datang malu-malu namun cukup untuk menciptakan bau tanah yang selalu dirindu oleh Ningsih anakku.

 

Waktu itu memang Retno memang hampir tak pernah hadir untuk Ningsih. Jadwal Jaipong untuk Retno selalu padat, bahkan Ningsih hanya numpang lahir lewat persalinan yang terpaksa dilakukan di depan pintu rumah.

Saat Ningsih masih di perut Retno, tak ada jadwal yang terlewatkan oleh Retno. Retno tetap lincah menari Jaipong. Bahkan Bupati saja sampai tergila-gila oleh Retno.

Aku yang hanya bisa menemani Ningsih di rumah sudah kebal. Aku percaya Retno tidak akan berbuat macam-macam.

 

Sesaat setelah Ningsih dilahirkan, Retno hanya butuh 3 malam saja untuk berisitirahat dan setelah itu Ningsih besar bersamaku.

Maka tak heran bila Ningsih terkadang menyimpan dendam pada Retno.

 

“Pa, uangku tak seberapa, aku hanya bermodalkan nekat dan doa dari bapa. Bapa baik-baik ya di rumah, jaga ibu. Semoga aku bisa membahagiakan bapa dan ibu segera.”

 

Bapa mengecup keningku, dalam tarikan napasnya aku dapat rasakan betapa bapa berat melepasku. Bapa khawatir aku menjadi perempuan seperti ibu.

Bapa bisa maafkan kesalahan ibu, suamiku kelak belum tentu. Begitu bapa selalu ingatkan.

 

Aku tak mau mengingat cerita tentang ibu. Bagaimanapun ibu adalah ibuku.

Namun cerita tentang Ibu tak ada habisnya.

 

Ibumu dulu adalah seorang penari Jaipong yang termasyhur. Hampir semua panggung di Kota telah membuat ibumu jadi maskotnya.

Dengan wajah yang ayu dan mata bulat juga bibir ibu yang tipis rasanya tak salah bila ibumu jadi bintang panggung.

Tak pernah panggung ibu sepi penonton, aku saja sampai iri dibuatnya. Bayangkan saja dari 10 orang penari Jaipong di desa hanya ibumu yang dapat bayaran 10ribu setiap ibumu manggung. Kami sisanya hanya dibayar separuh bayaran ibumu bahkan tak jarang kami hanya dibayar dengan nasi kotak dan sekarung beras.

 

Rasanya tak adil, tapi kami tak berdaya upaya. Karena ibumu, kami bisa makan. Ibumu selalu hadir di pertunjukkan terakhir. Dan ibumu tidak mau menari bila kamu tak ikut di dalamnya.

Bagaimanapun ibumu berjasa untuk kami. Janganlah kamu terlalu benci ibumu.

 

“Aku tahu Bude, aku tahu nama ibu harum di balik bejatnya kelakukan ibu. Tapi Ningsih ini anaknya. Coba bude pikirkan Ningsih yang tidak pernah disentuh sedikitpun oleh Ibu. Ningsih iri sama anak-anak Bude. Mereka bisa saling pamer masakan ibunya, sedangkan aku bawa masakan bapa.”

 

“Sabar ya ndo, Mugi Gusti Allah mberkahi sampeyan.”

 

Bude adalah sahabat ibu, walaupun Bude bukan keturunan Sunda tapi Bude terampil menari Jaipong seperti ibu, walaupun tak sebaik nasib ibu. Tapi aku, tak sebaik nasib anak-anak Bude.

 

Aku anak Bapa. Ibu hanya pajangan saja. Pajangan sebagai ibu, tempat aku dibesarkan sebagai janin dan pintu keluar pertama aku untuk melihat dunia, setelah itu hanya Bapa dan Mbo Atun yang menemaniku.

 

Waktunya tiba, pagi buta aku sudah berdandan rapi. Dengan memakai baju terbaik yang pernah bapa belikan aku bersiap mengadu nasib.

Otakku encer sebetulnya, hanya kemampuan bapa bisanya sampai mulut keluar lagi lalu setelah itu mencari lagi yang bisa dimasukkan ke mulut lalu keluar lagi. Begitu seterusnya.

 

Kasihan bapa, salahnya bapa yang terlalu menggantungkan hidup sama ibu.

 

 

#

 

Wuuuuushhhh, ini kota.

 

Lampu warna warni, ga kaya di kampung. Paling terang itu rumah Pa Lurah, itu aja pake neon Panjang satu warna.

Sementara rumahku masih pake cempor karena kata Bapa, cempor jauh lebih hemat.

Bapa ga sanggup untuk bayar listrik terlalu banyak. Lagi untuk apa lampu, toh saat isya tiba waktunya tidur ko, ga perlu lampu kita. Begitu bapa selalu sampaikan.

 

Terkesima, melihat segala yang aku lihat pertama kali.

Bukan urusanku terhadap kamar yang ku tempati saat ini. Kamar mewah ini entah bekas siapa, entah punya siapa dan entahlah saat ini aku ada di mana?

“Ningsih, kamu lekas istirahat, besok pagi-pagi kamu harus bangun lebih pagi dari biasanya. Panggung pertamau bukan panggung main-main. Di Kota melihat pertunjukkan seperti ini sangatlah langka dan sangat ditunggu-tunggu. Maka bila kamu mengecewakan, aku tak segan untuk mengembalikan kamu ke desa tanpa uang dan tanpa imbalan apapun. Paham?.”

“Paham, Mas”


Aku mengangguk dengan cepat, Mas Harto harus percaya sama aku. Sekalipun aku tak pernah diajak oleh ibu tapi aku selalu memperhatikan foto-foto lama ibu yang masih tersimpan rapi di album dekat ruang rahasia ibu.

Di dalam ruangan itu masih ada Turntable, Piringan Hitam dan Gramofon yang merupakan harta ibu paling berharga. Bagaimana tidak, benda-benda itu adalah hadiah dari fans ibu yang merupakan Indo Belanda kaya raya di kota.

Entah bagaimana caranya, semua musik pengiring tarian ibu bisa terekam di piringan hitam itu. Bukankah saat itu sudah mulai menggunakan kaset?

Ah entahlah. Hebat juga ibu.Mungkin pesona ibu begitu membutakan setiap mata yang menatapnya lekat.

 

Dari semua foto ibu, aku membayangkan gerakan ibu. Setiap sore aku stel piringan hitam ibu lalu aku melenggok semauku. Dari jauh ibu akan mengedipkan mata bila tarianku bagus dan ibu akan memberikan tatapan kosong bila tarianku tidak layak ditonton.

 

Ibu terlambat memperhatikan aku.

 

Degdegan, keringat dingin mulai membanjiri tubuhku.

Mas Harto menenangkanku.

“Bayangkan ibumu ikut denganmu. Kamu pasti bisa. Kalau kamu berhasil malam ini maka Mr. Steel akan membawamu keliling Eropa. Aku jaminannya.”

 

Eropa, nama yang aku puja-puja saat pelajaran Geografi dan Sejarah. Banyak cerita yang membuatku gila sebentar. Apa iya, aku bisa keliling Eropa.

 

Ibu, aku akan mulai perjalananku. Datanglah ibu, temani aku melenggok. Bukankah ibu rindu untuk menari Jaipong sejak lama. Kemarilah, pegang tanganku, masuklah melalui bahuku dan hentakkan kakimu di sini.

 

Kupejamkan mata beberapa saat, lalu hentakan demi hentakan berhasil aku lalui.

Berkeringat, tersenyum lebar dan tiba-tiba ibu benar-benar merasukiku. Aku menikmati tarian ini. Panggung melepaskan auranya, gendang menyelimuti gerakanku dan sinden berhasil menghipnotis aku dengan sangat sempurna.

 

Standing applause.

 

Wow, Ningsih. Aku tak pernah menyangka kau sehebat ini. Yang aku jaminkan hanya cerita tentang ibumu. Sungguh teramat liar tarianmu. Tanpa beban kau lepaskan kekuatan ibumu. Aku terkesima olehmu. Rupanya tak salah kau menjadi generasi Bu Retno. Tak salah semua cerita tentang Ibumu.

 

“Aku bersedia jadi managermu. Bagaimana?”

“Manager itu apa mas?. Aku tidak mengerti. Buatku penampilan tadi biasa saja. Yang kau perhatikan bukan soal menari tapi imbalan yang dijanjikan oleh mas.”

“Hahahaha, lugu kamu. Tenang saja bukan satu juta yang aku berikan. Mr. Steel  berkenan memberikan kamu upah tiga juta.”

 

Tiga jutaaaaa…mataku kreyep kreyep. Kalau aku kirim untuk bapa. Bapa pasti bisa makan daging. Ibu bisa dibelikan selimut dan Kasur baru dan Mbo Atun akan menerima upah pertamanya setelah bertahun-tahun mengabdi untuk ibu.

 

Aku bersih-bersih  make up. Dalam cermin tampak mukaku yang sumringah. Tiga juta Ya Tuhan. Banyak sekali.

 

Dan Mr. Steel akan membawaku keliling Eropa. Sekarang yang aku lihat di globe bisa aku datangi. Matur suwun Gusti Allah.

 

#

 

“Harto, cepat kau urus keperluan Ningsih. Dadaku berdesir hebat saat tadi melihat Ningsih menari. Sungguh dia adalah jelmaan Retno yang kukagumi dulu.”

 

“Tuan, jangan terburu-buru. Tenang saja. Ningsih anak yang lugu, selama aku bisa memperlakukan dengan baik dia tidak akan keman-mana.”

 

“Paham, aku sangat paham. Aku hanya takut dia tahu siapa aku. Aku mencarinya sangat lama, dan aku merasa berdosa terhadap Retno. Untunglah Hardi setia menemani Retno dan mengurus Ningsih dengan baik.”

 

Vergeef Me God.

Seandainya saja aku bisa menjaga hati dan diri Retno pasti Retno baik-baik saja. Seandainya saja malam itu aku antar pulang, pastilah Retno tidak akan mengalami kecelakaan yang membuat Retno lumpuh sampai saat ini. Dan Seandainya saja aku menikahinya saat itu tanpa harus membiarkan Retno menari lagi tentu saja saat ini aku, Retno dan Ningsih hidup berbahagia.

 

Ningsih limbung. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Pa Hardi…laki-laki istimewa untukku. Rupanya dia tak bisa memberikan anak untuk ibu. Atas alasan itu Pa Hardi rela melakukan apa saja asal Retno tetap bersamanya. Atas alasan itu pula Retno semena-mena terhadap Pa Hardi.

 

Lantas, apa yang harus diperbuat Ningsih sekarang?.

 

Balas dendam atau melepas gundam?.
Ah ibu aku semakin tidak mengenalmu. Jangan kau rasuki aku lagi. Perjalananku berhenti sampai di sini.

 

#bandung, 31 Maret 2020

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.