NOAM

Noam bagian 7: Aku Sudah Berpulang

NOAM

 

“Joshua!” Teriakku dari balik pohon.

Joshua kecil melihat ke samping kanan, kemudian kiri, sampai akhirnya berbalik. Saat itulah aku keluar dari balik pohon dan melempar bola salju yang sudah aku siapkan ke arahnya dan mengenai dadanya. Aku langsung berbalik dan berlari sambil tertawa.

Aku bisa mendengar langkah Joshua di belakangku makin mendekat sampai akhirnya dinginnya bola salju terasa mengenai punggungku diikuti oleh suara tawa Joshua. Ia terus mengejarku, tubuhnya menabrakku dari belakang. Kami, dua bocah kecil, jatuh bersamaan pada timbunan salju lembut. Kami tidak bisa berhenti tertawa!

Belum sempat berdiri, kepingan salju mulai turun lagi. Kami malah tiduran sebelah-sebelahan. Kedua lengan kami bentangkan ke atas dan sambil menatap langit biru, mulut kami kami buka lebar-lebar. Kami pun tertawa terbahak-bahak dengan mulut menganga ketika kepingan-kepingan salju halus masuk ke dalam mulut kami!

Tiba-tiba aku berada di tempat lain …. sepertinya di ruang loteng rumah Grandma, dan aku bukan bocah kecil lagi. Seorang laki-laki muda sedang duduk di bangku. Aku mengenalinya. Itu Joshua. Ia mengenakan dasi dan setelan jas hitam. Ia tampak tampan dan gagah. Wajahnya memancarkan ketenangan.

Laki-laki itu menatapku dengan mata yang ada lingkaran merah di sekitar putihnya. “Layla,” katanya dengan suara yang hampir berbisik. “I’ve gone home.” Lantas tersenyum kecil.

***

Oh Monday … I hate Monday! Sel-sel otakku seperti korselet. Aku menyeruput perlahan espreso double shot-ku dengan harapan pikiranku akan nyambung lagi. Entahlah, kok pagi ini aku merasa aneh ya. Kayanya aku mimpi sesuatu semalam tentang masa kecilku.

Pagi ini, aku mampir ke kedai kopi di seberang kantor lamaku. Hari ini, aku harus menghadiri rapat di situ yang merupakan kantor pusat perusahaanku. Dulu, aku hampir setiap pagi dan waktu makan siang ke kedai ini untuk memesan kopi.

 

“Noam …?” Aku kaget sekali waktu itu dan jadi bingung mau ngomong apa.

 

Jadi ingat … Noam pernah menghampiriku di kedai ini sebelum kami mulai berpacaran. Mungkin ia tahu dari Linh atau Lara kalau aku sering memesan kopi di sini. Waktu aku mendorong pintu dan memasuki kedai, tahu-tahu Noam sudah berada di belakangku dengan senyum khasnya itu. Ini dua hari setelah perkenalan kami di sebuah klub.

Layla, you alright?”

“Noam …?” Aku kaget sekali waktu itu dan jadi bingung mau ngomong apa.

Ia mengikutiku mengantre membeli kopi. Aku makin kikuk.

“Jumat malam ada acara?" tanya Noam, setelah kami duduk dan ngobrol-ngobrol sedikit.

“Belum sih,” jawabku gugup.

“Suka nonton 90s Indie Music Night gak? Aku akan pergi dengan dua temanku yang berkencan, aku belum ada … kamu mau ikut gak?” tanya Noam.

Sure,” aku hanya bisa menjawab singkat, aku grogi sekali saat itu.

Jumat malam itulah kencan pertama kami, sebuah double date. Kami berempat nongkrong di atas rooftop klub itu setelah acara live music berakhir. Aku masih ingat … Di situ, Noam mencium pipiku … dan jantungku langsung berdebar … hmmm.

Wah, tampak sudah pukul 08.40 pada layar ponselku … aku harus segera ke kantor. Senin sialan ini, pikiranku ke mana-mana!

***

3 missed calls. Itu yang tertera pada layar ponselku ketika aku sedang mematikan mode diam seusai rapat dan bersiap pulang. Ternyata Papa menelepon tiga kali. Setelah keluar dari lift dan berjalan meninggalkan kantor, aku menelepon Papa kembali.

Hi Pa. Sorry, I was in a meeting all day … “

“Layla ...” Papa langsung memotong. Nada suaranya serius. Aku langsung berhenti berjalan di tengah trotoar dan bergeser dan berdiam di pinggir jalan.

 

Muncul rasa sakit seolah ada bagian dari tubuhku yang tercerabut.

 

I have bad news …,” lanjut Papa. “Kami baru dapat kabar kalau Joshua meninggal. Joshua Abrams.”

What??How?? … Muncul rasa sakit seolah ada bagian dari tubuhku yang tercerabut.

He died in action. Ia tentara IDF,” tutur Papa dengan singkat dan tegas.

“IDF? … but … apa benar?” aku rasakan suaraku bergetar.

“Layla, pulanglah ke rumah malam ini. Itu akan lebih baik,” saran Papa.

Tanpa banyak berpikir, aku langsung berjalan ke halte bus untuk menunggu bus yang menuju rumah orang tuaku. Langit tiba-tiba menjadi gelap.

Ketika duduk di dalam bus, terbayang-bayang wajah Joshua, teman kecilku, tetangga kami, teman sekolahku yang sering main ke rumah. Terakhir kami bertemu sekitar tiga tahun lalu pas Joshua lagi di London, ketika ulang tahun kawan lama SMP. Dari SD hingga kelas 2 SMA kami satu sekolah dan sering satu kelas.

Ketika kelas 3 SMA, ia dan keluarganya pindah ke Israel dan secara berkala mengunjungi Inggris. Sebaliknya, saat tinggal di London, setiap liburan musim panas, keluarga itu pergi ke Israel. Mereka warga negara Inggris dan Israel. Mr. Abrams—begitu aku memanggil ayah Joshua—adalah rekan bisnis Papa. Ia dan Mrs. Abrams juga pernah beberapa kali berkunjung ke rumah.

Pernah waktu musim dingin, Joshua dan aku pulang sekolah bermain bola sajlu sampai berguling-guling di salju hingga celana kami basah dan kaki terasa beku di dalam sepatu bot yang sudah terasa dingin. Langit mulai gelap.

“Aku pulang ya.” Takut kena marah, aku segera berjalan menuju rumah Grandma—kebiasaan waktu kecil karena belum ada orang di rumahku pada sore hari.

“Ikuuuut!” teriak Joshua yang lantas membuntutiku. Ia takut pulang dan dimarahi ibunya.

Sampai rumah Grandma, kami langsung disuruh ganti pakaian, Joshua dipinjamkan sweter, celana jins, dan kaos kakiku oleh Grandma. Jadi tersenyum aku mengingatnya.

Grandma, Mama, dan kedua kakakku—Aaliyah dan Nadiah—semua senang kalau Joshua datang karena tidak ada anak laki-laki dalam keluarga kami. Saking senangnya kakak-kakakku, Joshua kecil suka diisengin. Beberapa kali topinya mereka sembunyikan. Pernah sarung tangannya sebelah diumpetin sampai Joshua kecil menangis, mau pulang sarung tangannya sebelah gak ada. Sampai dipeluk dan ditenangkan oleh Mama. Aku lihat Mama senang sekali ada anak lelaki dalam pelukannya. Sejak usia belia aku sudah paham bahwa semua mengharapkan aku lahir sebagai bayi laki-laki.

Kedekatan aku dan Joshua tidak membuat kami saling tertarik ketika beranjak remaja, tetapi aku tahu rahasia hati Joshua. Ketika kelas 2 SMP, ia diam-diam naksir Aaliyah.

Hiya Joshua!” Aaliyah akan menyapanya begitu. Wajah Joshua akan langsung bercahaya bagai bolam lampu yang dinyalakan.

HiHiya…” Joshua pasti menjawab dengan salah tingkah dan pipi yang memerah.

Aaliyah memang cantik, banyak yang menyukainya. Namun, saat itu ia sudah di SMA, tentunya menganggap Joshua masih bocah. Pernah Joshua datang ke rumah dengan tampilan berbeda, menggunakan kemeja baru dan rambutnya yang memakai gel disisir rapi. Matanya sebentar-sebentar melihat ke pintu. Sebentar lagi Aaliyah pulang dari sekolah. Ketika pintu mulai terbuka, Joshua langsung duduk tegak, mengatur posturnya, dan memasang senyum yang manis.

Hiya Joshua!” sapa Aaliyah sambil lewat. Bagai bolam yang dinyalakan, wajah Joshua langsung terang menderang. Namun, senyum itu segera berubah menjadi bibir yang manyun, cahaya itu pun redup.

Seorang laki-laki tinggi dan bertubuh atletis berjalan di belakang Aaliyah. Itu pacarnya Aaliyah. Joshua menunduk kecewa. Aku pura-pura tidak tahu saja, gak tega juga melihatnya. Ah … aku jadi tersenyum lagi mengingatnya.

Setelah turun dari bus dan berjalan kaki menuju rumah orang tuaku, aku tiba-tiba sadar … semalam aku mimpi bermain bola salju dengan Joshua kecil. Ya ampun, ia bahkan muncul ….

***

Papa sudah menantiku di ruang makan. Melihatnya, aku langsung lari ke dalam pelukannya dan menangis. Mama kemudian menghampiri kami dan Papa mengoperku ke pelukan Mama.

Kami semua duduk untuk makan malam bersama, juga Aaliyah yang pulang malam ini. Nadiah tidak pulang karena berada di luar kota.

 

Hatiku berkecamuk merasakan sedih dan marah. Seperti dihianati oleh kawan.

 

Kesedihan membuat suasana di meja makan menjadi hening. Aaliyah berani memecahkannya. “Pa, Joshua itu memang tentara tetap IDF … atau terpaksa … karena wajib ikut perang?” Suaranya tersendat-sendat menahan emosi, jarang aku saksikan Aaliyah begitu.

“Mr. Abrams hanya menyampaikan bahwa Joshua tewas saat bertugas dan akan dimakamkan di Israel. Papa tidak banyak bertanya. … Sudahlah, kita doakan saja.” Papa berusaha menenangkan kami.

Aku tidak berani bertanya, takut akan jawabannya. Hatiku berkecamuk merasakan sedih dan marah. Seperti dihianati oleh kawan. Namun, mungkinkah ia tidak ada pilihan?

Mama pun diam saja, bergelut sendiri dengan perasaanya terhadap Joshua kecil yang ia sayangi.

***

Berbaring di tempat tidur, di kamarku yang lama, aku terus berpikir. Dulu aku tidak merasakan permusuhan antara Muslim dan Yahudi di lingkunganku, kami bergaul seperti biasa saja. Meski waktu di kelas sejarah saat SMA aku ingat pernah belajar sedikit tentang Israel dan Palestina, baru di bangku kuliah aku mulai memahami tentang pendudukan Israel di Palestina. Aku pun baru merasakan dampaknya langsung sejak perang Gaza, ketika aku diteror gara-gara hubunganku dengan Noam.

 

Baru akan tertidur, tiba-tiba tubuhku terasa melambung ke udara. Makin tinggi, makin tinggi …

 

Akhirnya, aku memejamkan mataku. Namun, kata-kata Joshua dalam mimpiku kemarin terngiang-ngiang, “I’ve gone home.”

Baru akan tertidur, tiba-tiba tubuhku terasa melambung ke udara. Makin tinggi, makin tinggi … Aku sampai di suatu tempat. Aku menjadi Layla kecil. Aku mengenakan baju terusan berwarna hitam, samping kiri dan kanan rambut panjangku dijepit sebagaimana Grandma suka mendandaniku dulu. Aku sedikit berjinjit untuk melihat ke dalam sebuah peti mayat. Joshua berbaring tenang di dalamnya dengan setelan jas hitam.

Aku melangkah ke belakang, meninggalkan peti itu, hingga tubuhku menabrak seseorang di belakangku. Aku berbalik untuk melihat siapakah orang itu. Ternyata, itu Joshua kecil. Ia mengenakan setelan jas hitam juga. Ia langsung mengangkat jari telunjuknya ke mulutnya, menandakan agar aku jangan bicara. Kemudian ia menggandeng tanganku dan membawaku keluar.

Sepertinya kami berjalan cukup jauh tetapi tiba dalam sesaat. Kami berhenti ketika sampai pada suatu penghujung. Kepalaku menunduk untuk melihat ke bawah. Tampak anak-anak dan bayi-bayi tak bernyawa bertebaran. Sepertinya ratusan … mungkin ribuan.

Terdengar suara petir mengaung dan hujan lebat seketika turun membasahiku. Aku menengok ke sebelahku, Joshua sudah tidak ada … Sekali lagi, petir mengamuk. Aku melihat ke atas, petir telah membelah langit yang hitam kelam. Aku jadi takut sendirian. Aku berteriak, “Joshua! … Joshua!” Aku mulai menangis. Aku berlari ingin mencari Joshua. Namun, ketika hendak menggerakkan kakiku, tubuhku terasa melambung ke udara, makin tinggi dan makin tinggi … Aku tidak takut lagi. Langit berangsur-angsur menjadi biru.

Aku terbangun dengan napas yang tersengal-sengal. Aku berada di kamarku lagi. Ya ampun! … Ini ada apa sih?? … Aku jadi ingin sekali berbicara dengan Noam. Dialah yang bisa menenangkanku. Saat memegang ponselku, jariku nyaris menyentuh nomor Noam.

Tak jadi, ponsel aku matikan dan aku putuskan untuk membaca mantra Buddha yang Grandma ajarkan waktu kecil. “Om Mani Padme Hum".

***

“Hey … wake up … wake up.” Aaliyah menepuk-nepuk punggungku.

Huhwhat?” Wah, sudah terlambat ke kantor ya?

“Bukan itu … Jimmy menanyakan kepadaku, kamu ada di mana dan kenapa gak bisa dihubungi? Ya, aku kasih tahulah … “Tuh Jimmy datang.” Rupanya Aaliyah dan Jimmy saling bertukar nomor kontak saat di Southport.

 

... aku biarkan diriku tengglam di dalam pelukannya.

 

Wow, what a surprise! Aku langsung membilas wajahku, menyikat gigi, dan menyisir rambut.

Ketika menuruni tangga, aku lihat Jimmy di ujung tangga, berdiri menungguku. Mendengar langkahku, ia menengok ke atas dan tersenyum kecil. “Aku turut berduka cita ya,” ucapnya lembut dan manis.

Sampai di bawah, aku biarkan diriku tengglam di dalam pelukannya.

Gambar: Jens Müller (Unsplash)

-Bersambung-

Baca

Noam 6

Noam 5

Noam 4

Noam 3

Noam 2

Noam 1

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.