NOAM

—Romance flash fiction untuk mengawali tahun 2024—

NOAM


Noam memutar-mutar kuncinya pada lubang kunci yang tampak ringkih dan meragukan itu. Tak lama pintu pun terbuka. Ia mempersilakan diriku masuk. Dari belakangku ia dengan sigap menekan saklar lampu yang ada di sebelah kiri. Ruang yang gelap itu menjadi terang dan aku berjalan memasukinya. Aku menengok ke kiri dan ke kanan mengamati ruangan yang sedikit lebih lebar daripada lorong di dalam rumah orang tuaku.

“Sini jaketmu, Layla,” suaranya seakan menyadarkanku.

Segera aku membuka jaketku dan menyerahkannya ke tangan Noam yang sudah dijulurkan kepadaku. Aku pun memutar sedikit badanku ke belakang dan melihatnya menggantung jaketku dan jaketnya pada sebuah sangkutan baju di sebelah saklar. Aku kemudian berdiri diam, seperti agak kagok, tidak tahu harus bagaimana.

“Baiklah, aku akan membawamu pada sebuah grand tour apartemenku di London ini,” ucapnya bergurau sambil menyibak rambutnya yang cokelat pekat dari wajahnya. Aku pun tersenyum.

“Sebelah kanan adalah dapur kecilku,” ia berkata sambil mengangkat kedua tangannya dan dengan jari telunjuk dan tengah pada tangan masing-masing, membentuk tanda kutip di udara.

Tampak sebuah pojok kecil dengan kompor gas berwarna hijau pudar yang di atasnya terdapat ketel mungil. Di sebelahnya ada sebuah wastafel mini dengan beberapa piring dan cangkir serta sebuah panci. Ada juga sebuah kulkas putih pendek yang tampak dalam kondisi masih cukup baik terletak mepet dengan wastafel, seperti sedikit dipaksakan posisinya. Tentu Noam memerlukannnya untuk menyimpan bir dingin, pikirku.

“Ini meja kerjaku,” ia mengarahkan pandanganku ke daerah yang terletak setelah “dapur kecil” itu.

Di atas meja tersebut tampak kertas-kertas berserakan seperti draf-draf makalah kuliah. Di depan meja terdapat sebuah kursi lusuh yang kelihatan sudah mengalami masa-masa sulit bergadang bersama pemiliknya. Di sebelah meja ada rak buku kecil gelap dari kayu. Tampak beberapa novel klasik, antara lain, dari genre distopia, seperti novel 1984, Brave New World, dan The Handmaid’s Tale. Mataku kemudian tertuju pada beberapa koleksi piringan hitamnya yang pernah ia ceritakan. Kecintaan pada novel-novel klasik bergenre distopia dan musik Inggris era post-punk memang menjadi kesamaan kami sebagai anak muda London dan kerap menjadi topik obrolan kami saat berkencan.

Kemudian aku melihat sebuah foto kecil berbingkai di atas rak buku. Aku melangkah untuk mengambilnya agar dapat melihatnya dengan lebih jelas. Ternyata itu foto Noam yang sedang manggung bermain gitar. Jujur, ia tampak begitu cute di foto itu dengan bola mata cokelat yang indah dan tulang pipi yang memikat. Sepertinya Noam pun membaca ekspresi terkesima di wajahku (yang meski coba aku tutup-tutupi).

“Wah kamu terkesan ya?” Noam menanggapi dengan sebuah pertanyaan retorik. “Foto itu memang sengaja aku taruh di situ, biar kalau ada perempuan yang datang, jadi langsung suka samaku,” sambungnya sambil bibir mungilnya tersenyum melengkung membentuk bulan sabit yang tertidur sedikit miring. Tatapan matanya sedikit nakal, tetapi tidak menggoda.

Aku pikir, senyum dan tatapan itu pasti sudah membuat perempuan-perempuan lain luluh, bukan aku saja.

“Nah, di depan sana tempat tidurku yang maaf, belum sempat aku rapikan,” ia menunjuk ke sebuah ranjang dengan selimut terurai. “Kalau di sebelah kiri ini adalah ruang tamuku.” Tangannya kembali membuat tanda kutip di udara.

Tampak sebuah sofa dan coffee table kusam bagai bintang Hollywood yang masa jayanya sudah habis. Namun, kedua benda tersebut tetap kelihatan kuat dan cukup berkualitas. Jadi ingat apa yang dikatakan ibuku, mebel zaman dulu itu lebih kuat bikinannya, tidak seperti mebel zaman sekarang.

Ada keheningan sejenak, kemudian aku merasakan hangat bibir Noam pada keningku, lalu di bibirku. Cukup lama bibir kami saling bercumbu dan aku biarkan Noam merambah tubuhku. Aku pun mulai meng-eksplor tubuhnya. Kami lanjut bercumbu di sofa sepuh itu.

***

Sejak malam itu, aku merasa sulit terpisahkan dari Noam. Hari-hari yang dilalui tidak bersamanya kadang terasa menyiksa. Kalau aku sudah kembali ke apartemenku—yang aku share dengan beberapa teman—sepulang kerja, aku dan Noam akan melakukan panggilan video. Kadang kami membahas tentang film, musik, buku, bosku yang menyebalkan, atau tesis yang Noam sedang susun. Dengan genosida yang sedang terjadi di Gaza, belakangan ini kami sering membahas tentang latar belakang keluarga kami.

 

“Kalau dalam bahasa Ibrani, Noam berarti kelembutan.”

 

“Aku dinamakan Noam untuk mengenang kakak laki-laki kakekku, Rabi Noam, yang meninggal di kamp konsentrasi Yahudi di Norway. Kedua orang tuaku berasal dari keluarga keturunan Yahudi dari Eropa Utara yang setelah Perang Dunia II bermigrasi ke Inggris,” cerita Noam.

"Kamu tahu gak?" lanjutnya. “Kalau dalam bahasa Ibrani, Noam berarti kelembutan.”

Sebelum aku bisa menjawab, Noam sudah melanjutkan ceritanya lagi. “Tetapi ayah dan ibuku—mereka ateis. Begitu juga aku dan kakakku. Kami keluarga Yahudi ateis.”

***

Baru pada akhir pekan berikutnya aku berkunjung untuk kedua kalinya ke apartemen Noam, usai kami menonton sebuah konser.

“Khusus untuk menyambut kedatanganmu, Layla, aku meluangkan waktu untuk mengganti seprai dan merapikan tempat tidurku,” Noam berceloteh sambil menyibak rambut cokelatnya dari wajahnya diikuti oleh senyum khasnya itu. Lalu ia membuka tangannya padaku yang aku sambut dengan memberikan tanganku padanya. Ia membawaku ke ranjangnya.

Malam itu, kami pertama kali bercinta—bagiku, pengalaman yang sulit kutemukan kata untuk menggambarkannya—sebuah pengalaman transenden, katakanlah begitu. Tidak ada pembatas di antara aku dan dia, tubuhku bisa dengan lepas mengekspresikan apa yang hatiku rasakan terhadapnya. Langit pun beberapa kali aku gapai.

 

Paras wajahnya menyiratkan kelembutan. Aku kira cocok sekali nama Noam untuknya, dia memang orang yang lembut.

 

Siang hari aku terbangun, aku melihat Noam sudah terjaga. Terik matahari menyusup melalui jendela di sebelah ranjang dan memancarkan kehangatannya. Dengan kepala yang bersandar pada bantal, Noam berselonjor di ranjang tanpa sehelai benang pun, seperti sedang berjemur di pantai nudist. Pantulan cahaya yang mengenai kisi-kisi kayu jendela mengukir bayang-bayang pada tubuhnya. Aku perhatikan Noam. Ia tampak begitu indah dengan lekuk-lekuk tubuhnya dan garis-garis ototnya serta bulu-bulu liar di badannya.  

Paras wajahnya menyiratkan kelembutan. Aku kira cocok sekali nama Noam untuknya, dia memang orang yang lembut.

Sementara itu, aku kelihatan kecil di sampingnya dengan perawakan Asiaku. Kadang aku merasa tidak serasi dengannya.

Noam tiba-tiba menoleh dan mendekatkan wajahnya ke wajahku seraya berkata, “Memang kita pasangan yang unik, seorang Yahudi ateis dan seorang Buddhis dengan orang tua Muslim.”

***

Ya, itulah aku. Seorang Buddhis yang hidup di tengah keluarga Muslim dengan dua saudara. Kedua orang tuaku berasal dari keluarga imigran yang datang ke Inggris pada tahun 1960-an. Ayahku seorang Melayu-Arab Muslim dan ibuku seorang Cina Buddhis yang masuk agama Islam ketika menikahi ayahkku. Aku waktu kecil banyak dirawat oleh mendiang nenek yang beragama Buddha. Sejak usia 9 tahun aku memeluk agama Buddha atas permintaanku sendiri. Sekarang Buddha lebih sebagai sebuah filsafat hidup bagiku ketimbang agama.

Karena perang yang sedang terjadi, aku khawatir Ayah tidak akan menyukai hubunganku dengan Noam meski Ayah punya teman-teman orang Yahudi yang ia kenal di London sejak dulu. Aku pun baru berani menceritakan tentang hubunganku dengan Noam kepada Ibuku. Ibuku tidak secara eksplisit melarang hubungan kami, tetapi ia meragukan masa depannya.

“Bagaimanapun juga, dia seorang Yahudi dan kamu seseorang dari keluarga Muslim,” kata ibuku dengan nada datar dan faktual, tanpa mengindahkan perasaanku terhadap Noam.

“Kamu sudah pernah diperkenalkan kepada orang tuanya?” tanya ibuku.

“Aku pernah bertemu sekali,” jawabku, menghindari detail pertemuan tersebut.                                                                                                              

Tentunya ibuku ingin tahu lebih lanjut. “Terus?”

“Mereka menanyakan aku berasal dari negara mana,” tanggapku singkat.

***

Saking lelapnya tidur kami pagi itu, kami tidak mendengar suara ketukan pada pintu rapuh apartemen Noam itu. Ternyata Mr. dan Mrs. Berg, orang tua Noam, sudah beberapa lama menunggu di depan pintu. Mereka sekadar ingin mengunjungi anaknya yang sudah lama tak berkabar dan sulit dihubungi.

 

‘Aku akan lari lewat mana?’ Aku melihat keluar jendela dan memandang ke bawah … ‘Wah, cukup tinggi juga,’ pikirku.

 

Kami pun jadi kocar-kacir karena panik, belum lagi malu. Aku sibuk mencari pakaianku yang ternyata berada di kolong tempat tidur. Aku gerak cepat mengenakan pakaianku dan berpikir … ‘Aku akan lari lewat mana?’ Aku melihat keluar jendela dan memandang ke bawah … ‘Wah, cukup tinggi juga,’ pikirku.

“Tenang, tenang!” kata Noam, ketika melihatku menengok ke jendela. “Mereka orang tuaku, bukan Gestapo!”

O iya juga ya, aku berpikir lagi. Mengapa aku harus seperti seorang aktor dalam sebuah film Perang Dunia II?

Tak jadi melarikan diri, aku lari ke kamar mandi untuk membilas wajahku. Aku mengamati wajahku pada cermin lemari kecil di atas wastafel. Aku tampak seperti orang asing—rambut hitam sepundak yang lepek, bentuk mata yang kecil. Warna kulit yang membuatku tak jelas dari mana. Aku mulai dihinggapi paranoia. Apa mungkin mereka akan kecewa ketika melihat aku “berbeda”?

Itulah kejadian yang membawa aku pada pertemuan dengan orang tua Noam yang tidak ingin aku ceritakan kepada ibuku.

***

Setelah setahun hubunganku dengan Noam, aku masih berpikir-pikir tentang kapan aku akan memberitahu ayahku tentang hubungan kami.

“Beritahu sekarang saja,” Noam berusaha menyakinkanku. “Kalau orang tuaku tidak mempermasalahkannya kok, kamu terlalu khawatir. Mereka hanya mempertanyakan apakah aku yang ateis—dan Yahudi—akan bisa diterima di dalam keluarga Muslim,” ungkap Noam.

 

Sungguh, aku merasa seperti sedang hidup dalam sebuah karya distopia.

 

Sungguh, aku merasa seperti sedang hidup dalam sebuah karya distopia. Ada cinta yang menjadi terlarang karena konflik dan kebencian yang diciptakan segelintir orang yang memilki kekuasaan atas nasib orang lain.

Ya, begitulah hidupku rasanya. Aku pikir, aku tidak akan tunduk pada pandangan orang tuaku, masyarakat, ataupun pemimpin-pemimpin yang membuat perbedaan menjadi perpecahan. Karena cinta melampaui segala batasan-batasan yang diciptakan manusia.

Baca Noam Bagian 2

Gambar: Pinterest.com

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.