Pelakunya Bukan Si Mbok

“Uang yang tersisa di dompetku tinggal 20 ribu, perjalananku masih panjang. Jika orang lain boleh ambil uangku tanpa izin, kenapa aku harus ditahan pak?”
“Kamu kena pasal 362 KUHP, apapun yang kamu sampaikan tetap akan kami proses.”
“Lo tapi pak, kalau saat itu saya tidak ambil uang orang itu, saya tidak bisa makan. Kalau saya sampai pingsan atau mungkin mati, apa kabar si mbok di rumah yang menanti saya pulang dalam keadaan sehat walafiat?”
“Aku ga kenal si mbokmu, kalau kamu harus mati artinya malaikat Izrail memang sudah saatnya jemput kamu. Sekarang kamu mau langsung saya proses, mau hubungi pengacaramu atau mau apa?”
“Lah pa, paaaa uang saja nda punya ko pake pengacara segala toh.”
Ini malam paling buruk sepanjang hidupku, dalam temaram malam yang sunyi tiba-tiba dikagetkan oleh amukan warga yang kesal karena dompetnya tiba-tiba raib.
Rasa kantuk yang menyelimuti sepanjang perjalanan Jakarta-Jember telah membuatku melek seribu persen.
Antara sadar dan tidak, rupanya saat ini kereta sedang transit di Stasiun Gubeng.
Seharusnya ketika transit hanya tinggal menunggu penumpang turun dan penumpang naik yang akan meneruskan perjalanan menuju Jember.
Kali ini lain, suasana sangat gaduh. Saat itu kereta sedang gangguan sehingga beberapa saat lampu di gerbong sempat padam beberapa menit.
Habuk…
“Aduh mas maaf, tolong saya mas. Bantu saya ya. Aku bingung ini mas. Tolong ya !”
“Loh, saya kurang paham, bantu apa?. Saya lagi lelap mas, jangan ganggu ya!”
“Saya habis curi dompet orang dan sekarang saya dikejar-kejar. Saya titip dompetnya ya, ta kembali ke gerbong saya dulu. Nanti kita ketemu di Stasiun Jember dekat Alfabeta Mart ya mas!.”
Dia berlalu begitu saya meninggalkan saya yang masih setengah ngantuk, tak sadar tanganku masih menggenggam dompet wasiatnya.
Kubuka dompetnya, isinya hanya satu lembar lima puluh ribu saja. Sepertinya dia sudah ambil isinya. Ada secarik kertas lusuh yang bertuliskan nomor handphone serta sepotong kalimat yang berbunyi “tolong hubungi saya”.
Gila, dia yang nyopet ko gue yang harus hubungi dia. Biar apa coba?”
Kegaduhan sudah mulai mereda, kutengok dari balik jendela. Petugas sudah memberikan semboyan 5, yang artinya kereta sudah boleh melanjutkan perjalanan dan rel yang akan dilalui dinyatakan aman.
Tak bisa meneruskan tidurku, padahal jarak Gubeng ke Jember masih 4 jam lagi. Tanganku gemetaran, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Deg-degan dan keringat mulai membasahi.
Kuputuskan untuk menghubungi nomor HP yang ada di dompet, berharap dia adalah pemiliknya. Akan kuceritakan semua, bukan aku yang mengambilnya.
“Selamat malam…”
“Iya selamat malam. Jenengan sopo?”
“Mas kehilangan dompet maa?”
“Ngapain telpon sekarang mas?. Nanti saja kalau sudah sampai stasiun.”
“Loh kamu copetnya?. Ngapain kamu simpan dompet di tanganku, perasaanku ga enak. Sini kamu, ambil lagi. Aku nda mau tahu.”
“Maaf mas, saya terpaksa. Saya kena PHK. Saya tidak punya tempat tinggal di Jakarta. Uang tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta api saja. Saya tidak bawa apa-apa untuk si mbok. Saya mau bawa uang mas, makanya saya curi dompetnya.”
“Bego sampeyan. Sampeyang tahu tidak isi dompetnya berapa?. Lima puluh ribu. Mau jadi apa hah?”
“Yang bener toh mas. Lima puluh ribu?. Apes aku mas.”
“Kalau saya buang dompet ini, ada banyak kartu penting di dalamnya. Kalau tetap saya pegang, saya khawatir ada pemeriksaan saat turun nanti.”
Sakit kepalaku, ada wajah meringis saat aku ingin lempar dompet ini tepat di depan stasiun Jember. Rupanya si mboknya sudah jemput dengan muka sumringah, menenggelamkan status baju kebaya lusuh dan sendal jepit beda warna yang sudah ditambal di sana dan di sini. Di balik pagar si mboknya panggil-panggil nama anaknya.
Apa yang akan dia berikan untuk si mboknya. Dompet hasil curian ada di tasku. Lalu dia pulang dengan tangan kosong?
Bagaimana caranya agar aku terbebas dari pemeriksaan pintu keluar stasiun. Korban pasti sudah lapor ciri-ciri pelaku dan dompet yang hilangnya.
Kuputuskan keluar antrian, laki-laki itu heran. Sambil membelalakan matanya, dia memberi tanda pertanyaan.
Kuabaikan lalu kutelusuri jalan sempit stasiun.
“Mbok, mbok. Sini!”
Cuek banget si mbok, ga tau apa kalau panggilanku sangat penting,
“Mbok, mbok. Sini !”
“Sampeyan panggil si mbok?”
“Iya, ini saya diminta anak mbok kasih ini.”
“Lawong anakku sebentar lagi ada kok. Kamu penipu ya?”
“Engga mbok, ini tolong terima dulu.”
Kuberikan amplop putih berisi beberapa lembar uang merah yang seharusnya aku kasih ke Nadin, adikku untuk dia beli handphone baru.
Pemandangan kali ini sangat tidak aku suka. Terpaksa aku lepaskan.
“Terserah kamu ngomong apa. Untung kamu nda digebukin orang satu stasiun lo. Tetap saya proses, kamu kena pasal 221 Ayat 1 KUHP. Kamu dianggap menyembunyikan pelaku pencurian.”
“Monggo pa, terserah. Debat sama bapak juga percuma, toh aku memang salah. Yoweis.”
#Bandung, 8 Mei 2020
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.