Kok Bisa Awet Sih?

Kok Bisa Awet Sih?
Photo oleh Rusdiawan

Sudah jam satu siang tapi Sita belum tiba juga di rumah Rina. “Tol Bekasi Barat macet gak gerak.” Begitu pesannya di wag. “Udah hampir 3 jam nih aku di jalan,” sambungnya. Karena memang jadwal reunion kami adalah jam 11 pagi hari Sabtu itu.

Sedapat mungkin kami berusaha untuk bersilaturahmi sekerap mungkin. Dulu kami berjumlah 20 orang yang dipertemukan di bangku kuliah sejak lebih dari 30 tahun lalu di Sastra Prancis Universitas Indonesia. Sejak berpulangnya dua sahabat beberapa tahun lalu, kami menyadari bahwa kami tak pernah tahu berapa lama waktu yang kami punya. Walaupun tak mudah untuk mencocokkan waktu, tapi kami percaya dengan niat tulus pasti bisa diusahakan. Tak lengkap tak mengapa karena “liputan” lengkap akan segera tayang di wag, bahkan “live” sehingga semua bisa menikmati.

Usia kami tidaklah muda lagi, tapi semangat jiwa kanak-kanak itu selalu bangkit kembali dalam setiap pertemuan karena keajaiban itu selalu terjadi setiap kami bertemu kembali. Tak ada yang berubah sejak 30 tahun lalu hingga kini. Nama julukan saat kuliah masih berlaku, jargon yang dipakai tetap bertahan, lagu yang dinyanyikan tetap itu-itu juga, ledek-ledekan terus berlangsung tanpa rasa tersinggung, tertawa lepas tanpa harus ada alasan, semua masih sama seperti saat kuliah dulu. Ajaib kan? Waktu seperti tak bergerak bagi kami.

Sabtu kemarin itu kami sudah merencanakan dresscode kebaya. Keren kan? Itu karena Rusdi yang gemar photografi berjanji akan membawa perkakas lengkap dan kami akan dijadikan model. Senangnya, bak anak balita yang dapat mainan baru semua menyambut gembira tawaran Rusdi. Kapan lagi dong bisa kayak Andri, salah satu dari kami, yang memang dulu adalah photo model yang sering jadi cover majalah remaja.

Sita didapuk dengan senang hati jadi make up artist dadakan karena profesinya sebagai reporter yang kami fait accomplit pasti jago ndandani. Holly dan Rina yang harap-harap cemas khawatir tak berdandan saat photo akhirnya lega ketika Sita muncul juga walau sudah jam setengah dua.

Tak menunda waktu lagi karena khawatir tak kebagian cahaya matahari, Sita memboyong perkakas dandannya sambil comot-comot jatah makan siangnya yang terlambat. Dengan sigap dia menyapukan kuas kosmetik. Tak lama Holly dan Rina sudah jelita. Ternyata kami tak salah. Sita memang jago rupanya.

Satu per satu kami mulai berpose bak model profesional. Rusdi lebih senang memotret dan enggan dipotret. Warih tak mau berganti kostum. Ipul sudah cakep dengan baju teluk belanganya. Jadilah sebuah kombinasi yang lengkap: photografer, lightingman dan models. Walau kami tak bernyanyi seperti yang biasa kami lakukan karena Mimi, pianis kami yang tinggal di Bassel belum jadwal pulang kampung, sementara Lusi yang bermain piano jagonya bukan main sedang ada acara di gereja, tapi kami menikmati hari itu dengan penuh kegembiraan dan yang pasti Rusdi puas sekali dengan hasil photografinya: Naomi dengan kebaya merah, Nia dan Holly mengenakan warna krem lembut, Ai yang sejak dulu rupawan juga cerah dengan merah, Andri berganti-ganti kebaya biru dan hijau dengan kecantikan yang tak lekang-lekang, aku sendiri yang bernuansa oranye, Rina sang tuan rumah dengan pink cerah, Sita jadi juara dengan kebaya merah hati, Ipul tak kalah rupawan dengan teluk belanga. Senang dan tetap berharap Andrea dan Lina yang kini menetap di Amerika serta Erna yang berhalangan hadir dapat menikmati kebersamaan ini. Ade yang sedang bertugas ke Banda Neira pasti menantikan tayangan photo-photo ini. Isfandi yang menetap di Kalimantan selalu menunggu kabar-kabar dari kami semua. Apalagi Yosi yang kini melanglang buana sebagai reporter di Selandia Baru pasti tahu yang kami lakukan selalu seru!

“Kok bisa sih awet?” begitu sering pertanyaan seperti itu kami dapatkan. Nyengir atau becandaan seperti “Ya pake lem dong” atau semacamnya yang kami lakukan seringkali untuk merespon. Jujur kami juga bingung mau jawab apa. Dari dulu sampai sekarang ya begitu-begitu aja. Apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi atau dibuka-buka dengan sengaja. Jadi ingat jaman kuliah dulu. Ritual kami kalau tiba di kampus pagi hari itu ngumpul dekat piano di ruang auditorium. Mimi akan main piano dan kami nyanyi-nyanyilah di situ sampe ruangan akan dipakai. Paling sering menyanyikan lagu-lagunya Vina Panduwinata. Kalau auditorium sedang dipakai kami akan numplek di kantin yg masih belum ramai kalo pagi. Pasti ada aja yang curhat setiap pagi: yang bingung diapelin dua cowok barengan, yang kesel diselingkuhin, yang lagi ngincer adek kelas, yang jadi detektif ngikutin cowoknya, macem-macemlah. Dan kami akan saling menjadi pendengar, komentator, penyemangat, peledek, penggembira, semua peran pokoknya. Dan ritual itu ternyata terus berlanjut sampai sekarang.

Setelah lebih dari 30 tahun, kami belum tentu bisa menjawab kalau ditanya “Rusdi jabatannya apa sekarang?” atau “Sita udah eselon berapa?” atau semacamnya atau sejenisnya. Kami tidak pernah bicarakan hal-hal seperti itu bahkan tak memperdulikan hal-hal semacam itu. Apalagi urusan politik, tak ada yang tertarik. Semua berjalan apa adanya saja. Kalau ada yang susah dibantu dan saling mendoakan, kalau ada yang bergembira semua tertawa, ada yang berprestasi ikut bangga dan kalau lagi ada yang ngawur ya ditegur, yang pasti kalau ada yang geblek ya diledek. Santuy kalau kata anak jaman now. Gak suka ya bilang, apalagi suka pasti bawelnya bukan main. Seterbuka itu hubungan persahabatan kami.

Kalau orang bijak mengatakan, “Seseorang itu bisa dinilai dari orang yang jadi teman dekatnya” semoga begitulah kami. Saling menilai karena kami saling dekat. Sama nilai karena kami sangat rekat.

Je dédie cette écriture à tous mes chers amis de Pcis87.

Bassura, 26 Februari 2020

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.