SEBUAH PERMINTAAN

Bel pintu berbunyi nyaring beberapa kali membuat Raisha beranjak dari kursinya. Sesaat ia bertatapan mata dengan Bunga yang sedang mengerjakan PR. Bunga tak pernah mau membuka pintu untuk tamu yang datang malam hari. Waktu kecil dulu ia pernah begitu ketakutan ketika selepas maghrib ada seorang salesman vacuum cleaner minta waktu untuk memperagakan cara kerja alat itu. Suara yang ditimbulkan alat itu berdengung-dengung seiring dengan lepasnya debu dari beberapa kursi di ruang tamu mereka. Raisha sejak awal sudah mengatakan tak berminat membeli tapi salesman itu mendesaknya agar bisa memperagakan barang dagangannya karena ia hanya butuh tanda tangan dari calon pembeli. Ia mengingkari janji untuk membersihkan kembali debu-debu yang keluar dari kursi ketika Raisha tak mempan dibujuk untuk mengisi form pesanan barang sehingga rumah mereka penuh debu. Bunga dan teman-temannya yang sedang bermain di ruang tengah menjadi terbatuk-batuk karenanya.
Siapakah tamu yang berkunjung ke rumahnya malam-malam begini? Ini sungguh tak biasa untuk mereka. Rumah mereka hampir tak pernah dikunjungi tamu kecuali sales, pengemis, peminta sumbangan dan dua kali dalam setahun kedatangan para ibu untuk arisan PKK dan Dasa Wisma. Sepanjang hari pintu depan rumah hampir selalu tertutup karena Raisha dan Bunga baru tiba di rumah pada sore hari. Pagi-pagi sekali mereka berdua meninggalkan rumah. Raisha mengantar Bunga ke sekolah lalu langsung berangkat ke tempat kerjanya karena ia selalu punya jadwal mengajar dari jam delapan sampai jam tiga sore.
Pelan-pelan pintu dibuka dan seorang perempuan sebaya dengannya berdiri di sana sambil tersenyum. Rambut perempuan itu berwarna kecoklatan. Panjangnya melewati kedua bahunya. Nampak lembut tertata dengan gulungan-gulungan rapi di sisi kanan kirinya. Wajahnya cantik dengan dagu runcing, hidung mancung dan bibir tipis diberi sentuhan lipstick warna pink yang sangat cocok untuk kulitnya yang putih. Ia mengenakan blus biru sepanjang lutut dipadu legging hitam yang menutupi sebagian betisnya.
”Masih ingat aku?” suara lembut perempuan itu mengejutkannya.
Raisha berusaha mengumpulkan seluruh ingatannya tentang perempuan ini tapi tak berhasil juga. Selama ini di lembaga bahasa tempatnya mengajar ia hanya bertemu dengan wajah-wajah bule para murid berbagai usia dari manca negara yang belajar bahasa Indonesia beberapa minggu atau paling lama tiga bulan. Memang ia akan cepat lupa dengan para murid yang datang dan pergi dengan cepat tapi perempuan ini bukan bule walaupun rambutnya berwarna coklat. Ah, siapa dia? Di mana pernah bertemu perempuan cantik ini?
”Ayo, masuk dulu !” suara Raisha terdengar ragu meskipun dibuat terkesan ramah.
Perempuan itu melangkah masuk meskipun bisa merasakan keraguan Raisha yang masih terus mencoba mengingatnya. Setelah duduk dan mata mereka bertemu pandang barulah memori Raisha terurai. Ia pernah bertemu perempuan ini setengah tahun yang lalu di Jakarta, di rumah Titan. Ah, ya, perempuan ini istri Titan. Aduh, Raisha tak bisa mengingat namanya. Memang hanya sekali mereka bertemu dan sangat singkat. Mungkin hanya sekedar bersalaman, menyebut nama lalu bicara sepatah dua patah kata. Hari itu Titan menjemputnya dari hotel untuk diajak ke rumahnya lalu dikenalkan kepada anak istrinya. Sebelumnya selama seminggu ia minta tolong Titan mengajak Bunga jalan-jalan untuk menikmati liburan di Jakarta.
Situasinya memang agak sulit untuk Raisha saat itu. Direktur menugasinya mengikuti workshop selama seminggu di Jakarta. Waktunya bertepatan dengan liburan sekolah Bunga. Ia disarankan mengajak Bunga ke Jakarta sekalian berlibur. Bagaimana mungkin? Workshop itu berlangsung dari pagi hingga sore selama enam hari. Apakah ia akan tega membiarkan Bunga sendirian di hotel? Kalau ia menitipkan Bunga pada keluarga Oomnya yang di Pondok Aren itu, selama seminggu pasti hanya akan tinggal di rumah. Dari lima orang anak Oomnya, tiga di antaranya masih kuliah tapi mereka tidak suka jalan-jalan. Pernah Raisha dan Bunga mengajak mereka menemani jalan-jalan ke Taman Mini, mereka menolaknya meskipun tidak ada kegiatan apa-apa di rumah. Akhirnya Raisha hanya berdua dengan Bunga naik bis ke Blok M lalu bertanya ke sana ke mari agar bisa ke Taman Mini dan bisa pulang lagi. Raisha tak ingin liburan Bunga berlalu begitu saja sehingga ia berpikir keras bagaimana bisa menyenangkan anak gadis satu-satunya yang masih kelas lima SD itu. Kebetulan seminggu sebelumnya pada acara reuni di kampusnya ia bertemu Made yang memberinya kartu nama Titan.
”Cobalah kamu kontak dia kalau sedang ada acara di Jakarta!” begitu pesan Made, ”Kalian sudah lama sekali nggak pernah ketemu kan? ”
”Terakhir aku ketemu dia di Jakarta tahun sembilan dua, seminggu sebelum menikah,” ujar Raisha sambil mengusir mozaik-mozaik indah yang pernah dilewatinya bersama Titan.
Raisha dan Titan menjalin cinta jarak jauh antara Yogya dan Jakarta hampir dua tahun lamanya tapi harus berakhir karena Titan tak pernah memberi kepastian pada hubungan mereka selanjutnya. Adi yang baru tiga bulan menjalin hubungan dengannya telah dipilih oleh Ibu Raisha. Meskipun Raisha belum mantap menjalani kehidupan berumahtangga dengan Adi, ia tak bisa menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan laki-laki berdarah Bugis itu. Waktu itu umurnya dua puluh lima, sedangkan Adi baru dua puluh tiga. Ayah Ibu Raisha akan berangkat haji pada tahun itu. Sebelum berangkat ke tanah suci mereka ingin menunaikan tugas terakhirnya sebagai orang tua yaitu menikahkan anak satu-satunya. Kalau mereka tak bisa kembali karena dipanggilNya di sana, mereka tak menyesal karena telah menyelesaikan tugasnya di dunia. Raisha tak ingin mengecewakan kedua orangtuanya.
”Sha, aku udah bilang dia kalau kamu udah cerai dan punya anak satu. Dia punya anak tiga atau empat, aku lupa, masih kecil-kecil. Istrinya dokter umum, dari Yogya juga,” begitulah Made panjang lebar menceritakan kepadanya.
Sekarang di hadapannya duduk istri Titan. Dari wajahnya ia tak bisa menebak perasaan perempuan itu. Bibirnya menyungging senyum manis, kedua matanya pun seakan ikut tersenyum. Raisha tak bisa menyelami isi hati perempuan ini. Apa maksud kedatangannya ke rumahnya? Kenapa hanya sendiri tak bersama Titan? Kenapa tak memberitahu sebelumnya? Berbagai pertanyaan tak menemukan jawaban. Ia mulai khawatir jika perempuan ini datang karena cemburu padanya. Memang Titan mengenalkan Raisha sebagai teman lama tapi apakah binar mata bisa membohongi? Setelah belasan tahun tak bertemu, perasaan Titan padanya tak pernah padam. Raisha bisa meredamnya dan menganggap Titan hanya sebatas teman tapi Titan nampaknya sulit membunuh rasa cintanya yang dulu yang ternyata masih tetap terjaga hingga kini.
”Sha, gimana ? Sekarang sudah ingat aku?” kembali perempuan itu bersuara. Lembut dan datar. Rhaisa mengangguk samar sambil kembali berusaha mengingat nama perempuan cantik ini. Pelan-pelan ia seperti mendengar suara lirih perempuan itu menyebut namanya enam bulan lalu.
”Nabila, ” ucapnya mantap. Perempuan itu senang mendengar namanya disebut dengan benar.
“Semua orang memanggilku Bela kecuali Titan,” nampaknya ia ingin menceritakan sesuatu, “Titan memanggilku Sasha. Katanya itu nama pacarnya dulu yang sangat dicintainya.”
Dada Raisha bergetar. Hanya Titan yang memanggilnya Sasha. Ia merasa sangat bersalah pada Nabila tapi tak tahu harus berkata apa. Waktu berkenalan dulu, Ia menyebutkan nama lengkapnya tapi Titan memanggilnya Sasha. Barangkali itu yang membuat Nabila jauh-jauh dari Jakarta datang ke sini. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika menjadi Nabila. Selama ini Nabila rela dipanggil Sasha hanya untuk membuat Titan tak lepas dari masa lalunya bersama Raisha. Kemudian datanglah Raisha ke dalam kehidupan mereka. Di manakah tempat Nabila kini? Apakah semakin tergeser jauh lalu kini ia berusaha keras mempertahankannya? Apa yang akan dilakukannya? Meminta Raisha pergi dari kehidupan mereka? Ah, tidak masalah. Raisha bisa dengan mudah melupakan Titan.
”Sha, aku punya satu permintaan, maukah kamu memenuhinya?” Mata Nabila menatapnya dalam-dalam.
”Bela, ini tidak seperti yang kamu kira. Aku dan Titan tidak ada hubungan apa-apa. Itu semua sudah lewat, sudah sangat lama, ” Raisha merasa perlu membela diri meskipun Nabila tidak mengatakan isi hatinya. Istri mana yang akan membiarkan perempuan lain mencuri perhatian suaminya?
”Jangan salah paham Sha,” tukasnya seraya membetulkan anak-anak rambut di keningnya sehingga membuatnya agak tertunduk.
” Dengarkan aku dulu Sha. Kamu belum dengar apa permintaanku.”
”Katakanlah, akan kupenuhi,” jawab Raisha mulai agak kesal. Wajah cantik dan suara lembut Nabila justru menyulut amarahnya.
” Terima kasih Sha,” Nabila tulus berucap membuat Raisha makin kesal. Sejenak perempuan itu mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan sebuah permintaan yang kelihatannya begitu berat. ”Sha, aku ingin kamu mau menikah dengan Titan.”
Raisha menatap Nabila tak percaya. Mata Nabila tetap teduh, begitu pula wajahnya. Apa yang telah dilakukan perempuan ini? Keheningan menyergap mereka berdua. Samar-samar terdengar suara nyanyian dari televisi di ruang tengah. Nampaknya Bunga sudah selesai belajar tapi tak ingin mengganggu mereka berdua di ruang tamu.
”Tidak Bela. Itu tidak mungkin kupenuhi,” Raisha bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
”Kamu sudah berjanji padaku untuk memenuhi permintaanku,” Nabila mengingatkan namun tetap menjaga nada suaranya tanpa emosi.
”Kukira kamu ingin aku menjauhi Titan,” balas Raisha sekenanya seolah tak peduli pada harapan yang tergambar di kedua bola mata Nabila. Sekilas ia melirik Nabila. Perempuan aneh, istri yang putus asa, bagaimana mungkin ia melakukan tindakan bodoh seperti ini?
”Sha, aku sungguh berharap kamu bisa memenuhi permintaanku ini. Kalau tidak sekarang, mungkin satu atau tiga bulan lagi kamu akan memenuhinya. Berjanjilah padaku, Sha!” Nabila memohon dengan suara gemetar dan setetes air mata meleleh di pipinya.
Raisha tak suka melihat air mata itu dan mencoba memalingkan mukanya ke arah lain. ” Kenapa kamu lakukan ini?” pertanyaan itu seperti tertelan angin malam.
”Aku merasa sangat berdosa karena telah membohongi Titan sekian lama. Kasihan dia harus menikah denganku.”
”Apa maksudmu?” Raisha terhenyak ingin tahu lebih lanjut.
”Aku hamil tiga bulan ketika menikah dengannya. Titan mengira itu anaknya padahal bukan. Sebelum berhubungan dengannya, aku pernah punya pacar tapi dia meninggalkanku ketika tahu aku hamil. Aku merahasiakan ini sampai anakku lahir. Titan tidak marah padaku, ia memaafkan aku tapi memintaku agar mau dipanggil Sasha. Ia tak bisa melupakanmu, Sha. Ia tetap mencintaimu sampai saat ini. Ia menyesal tak tegas waktu itu hingga kamu harus menikah dengan laki-laki lain yang membuatmu tak bahagia. Kalau saja waktu itu ia sudah bekerja, ia siap menikah denganmu.”
Dua perempuan itu hanyut terbawa oleh perasaan masing-masing. Keduanya seolah dibawa berkelana kembali ke masa lalu untuk memunguti sisa-sisa harapan. Mungkinkah harapan baru bersemi lagi?
”Titan yang menyuruhmu datang padaku untuk meminta ini semua?” Raisha bertanya menyelidik.
Nabila menggeleng sembari memaksakan bibirnya tersenyum. “Ia tidak tahu sama sekali. Ia hanya tahu kalau aku ke Yogya untuk menjadi pembicara seminar tadi siang. Ia tidak tahu aku mengambil kartu namamu dari dompetnya. Besok pagi aku kembali ke Jakarta dengan pesawat pertama.”
”Aku belum bisa menjawabnya sekarang,” Raisha berucap pelan sambil menatap lembut ke wajah Nabila.
”Kukira satu bulan lagi kamu harus memenuhi permintaanku ini, Sha,” kalimat itu terdengar seperti memaksa.
Raisha tak suka dipaksa meskipun dengan air mata sekalipun. ”Kenapa?” desaknya ingin penjelasan yang jujur.
”Aku ingin menitipkan anak-anakku padamu jika sesuatu terjadi padaku. Saat ini aku mengidap kanker payudara stadium tiga. Kematian itu sudah sangat dekat padaku setelah dua kali operasi tak menunjukkan hasil yang menggembirakan.”
Raisha tersentak, ia memeluk Nabila sambil membisikkan janji untuk menjaga anak-anak mereka. Nabila pun masih menunggu jawaban Raisha atas permintaannya hingga ia melihat sebuah anggukan yang melegakan hati
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.