ANAKKU PENGIDAP SKIZOFRENIA

ANAKKU PENGIDAP SKIZOFRENIA

Salah seorang klien saya namanya Viko. Dia owner dari perusahaan UMKM dan hendak menulis buku semi-otobiografi. Menurut dia, perjuangan hidupnya dalam membangun bisnis bisa bermanfaat buat anak-anaknya. Dan saya percaya itu. Perusahaannya berkembang pesat dan sudah memiliki beberapa cabang di berbagai kota. Selain pintar, dia juga seorang pekerja keras yang sangat ulet.

Salah satu bukti kepintarannya adalah waktu dia memberi judul untuk bukunya. Dia memberi judul UMKM tapi maknanya Usaha Menuju Kesejahteraan Masa depan.

"Keren banget judulnya, Vik. Approved!" komentar saya kagum.

"Halah! Ini, kan, metode makna ganda dari buku lo yang gue adopsi." Viko tersenyum gembira mendapat komplimen dari mentornya.

Mungkin ada yang belum tau. Selain mengajar literasi, saya juga memberikan bimbingan/konsultasi untuk orang yang sedang menulis buku. Bimbingan dilakukan secara privat dan tempatnya berganti-ganti. Kadang di rumah, kadang di rumah klien, kadang lewat zoom tapi yang paling sering di kafe. Dan kali ini kami bertemu di salah satu wine club, Citos dan sekalian makan siang.

"Kenapa anak lo gak sekalian aja ikut kelas menulis di The Writers?" tanya saya dalam sebuah sesi.

"Nah, gue baru mau cerita, Om Bud. Anak gue yang sulung memang sangat tertarik dengan literasi tapi dia punya kendala," sahut Viko.

"Kendala males?" tanya saya bercanda.

Viko tidak menjawab. Dia menatap saya dengan pandangan aneh sejenak lalu menjawab, "Anak gue mengidap Skizofrenia.."

"Hah? Yang boneng lo, Vik?" tanya saya kaget bukan kepalang.

"Lo, kan, udah pernah ketemu dia. Emang lo gak menangkap hal itu?"

"Kagak. Perasaan dia biasa-biasa aja. Emang ada kelakuan dia yang aneh?"

Saya memang udah beberapa kali ketemu sama anaknya. Selama itu saya melihat dia sangat normal. Gak ada bedanya sama orang biasa.

"Awalnya dia suka ngedenger suara-suara orang. Suaranya jelas banget tapi dia gak pernah menemukan asal suara itu."

"Oh? Fatamorgana?" tanya saya sok tau.

"Hus! Ngaco lo! Fatamorgana itu berhubungan dengan mata. Yang dialami anak gue biasa disebut halusinasi auditori."

"Apaan tuh? Gue baru denger?" Saya kebingungan.

"Menurut dokter, itu bentuk gangguan persepsi sensoris tanpa stimulus eksternal."

"Oh? Maksud lo suara-suara itu dateng dari kepalanya sendiri?" tanya saya.

"Betul. Awalnya ini terjadi waktu dia SD. Tapi frekuensinya jarang-jarang. Belakangan ini suara-suara itu semakin sering."

"Dia Skizofrenia cuma dugaan lo doang apa omongan dokter?"

"Itu vonis dari dokter setelah melakukan serangkaian test."

"Waduh, gue ikut prihatin, Vik," kata saya setulusnya.

Lalu kami terdiam. Paras Viko menjadi muram. Sementara saya sendiri gak tau harus mengatakan apa. Maklumlah saya bukan psikiater. Nasihat apa yang bisa diberikan oleh seorang penulis kroco tanpa nama seperti saya ini?

"Anak lo bisa berkomunikasi gak dengan suara-suara itu?" tanya saya sekedar memecah keheningan.

"Udah pernah disarankan gitu sama dokternya. Tapi suara-suara itu gak peduli. Dia terus membentak dan memaki-maki anak gue dengan kasar."

"Heh? Ngebentak gimana?" tanya saya lagi namun melanjutkan, "Eh, sorry kalo gue kepo. Gue cuma tanya aja. Gue akan sangat mengerti kalo elo gak mau jawab."

"Gapapa, Om Bud. Gue malahan seneng bisa cerita ke orang lain di luar keluarga gue."

"Baguslah kalo gitu. Gue memang gak bisa nolong apa-apa. Tapi gue pendengar yang baik," sahut saya tersenyum.

"Menurut anak gue, suara itu terdengar berat seperti suara bapak-bapak berusia sekitar 45 tahun. Berkumis dan brewokan. Badannya tinggi besar. Mukanya galak. Agak gendut dan mengenakan tuxedo."

"Gile? Dari suaranya doang, anak lo bisa menggambarkan visualnya sedetail itu?" tanya saya takjub bukan main.

"Hahahaha...iya. Mungkin ini yang lo ajarin ke gue tentang theater of mind ya?"

"Betul. Sama kayak kita denger sandiwara radio. Visualnya pasti muncul di kepala kita," jawab saya masih terkagum-kagum dengan pengalaman anaknya Viko.

"Gue paling gak suka berada dalam kondisi seperti ini. Bayangin, Om Bud. Saat anak kita membutuhkan pertolongan tapi gue, bapaknya sendiri, gak bisa menolong. Sedih banget rasanya..."

"Iya, gue bisa memahami itu. Sekali lagi turut prihatin sedalam-dalamnya."

Setan lewat lagi. Keheningan kembali mendominasi. Masing-masing dari kami hanyut dalam pikirannya sendiri.

"Kalo boleh tau, suara-suara itu ngomong apa ke anak lo?"

"Banyak dan semuanya melecehkan. Negatif. Mendowngrade harkat anak gue sebagai manusia."

"Misalnya?"

"MIsalnya suara itu ngomong: Lo goblok tau gak? Lo manusia gak berguna. Dunia gak membutuhkan sampah seperti elo. Mending lo mati aja daripada ngotorin dunia. Mending lo naik ke atas gedung dan lompat dari sana. Masalah lo kelar dan dunia tenteram...."

Masih banyak yang diucapkan Viko. Sepetinya dia semakin emosional pada makhluk yang tidak terlihat dan selalu meneror mental anaknya. Matanya merah menahan tangis. Tangis yang siap muncul dari kombinasi antara kemarahan dan kesedihan.

Saya menggenggam tangannya sambil menepuk-nepuk dengan tangan yang satunya.

"Sudah, Vik. Jangan banyak-banyak. Gue cuma mau tau beberapa kok. Alhamdulillah dia gak sampe mempercayai apa yang dikatakan makhluk itu." Saya berusaha menenteramkan hatinya.

"Siapa bilang? Sebulan yang lalu dia naik ke atap rumah dan siap terjun ke bawah. Untung gue dan satpam komplek berhasil mencegahnya."

"Astaghfirullah...!! Sorry to hear that."

Kali ini Viko nangis beneran. Saya biarkan dia sejenak. Viko menghapus air matanya dengan tissue sementara saya memanggil waiter dan memesan dua botol bir dingin. Yang satu saya serahkan ke Viko, yang satunya langsung saya tenggak dengan buas.

Setelah berhasil menenangkan diri, Viko berkata lagi, "Gue pengen dia belajar nulis sama elo, Om Bud. Ada dua alasannya. Pertama dia punya passion di bidang literasi. Kedua, kalo dia punya kesibukan, mungkin dia bisa mengalihkan perhatian dari suara-suara negatif itu."

"Gue rasa itu ide bagus. Kapan pun dia siap, gue bersedia membantu. Kapan pun dan di mana pun."

"Thanks, Om Bud." Viko tersenyum.

"Sementara menunggu kesiapan dia, gue punya saran bodoh. Lo boleh nolak dan boleh juga nyoba. Senyamannya lo aja."

"OK, gimana ide lo?"

"Anak lo kan suka nulis. Coba lo saranin untuk menuliskan semua kata-kata yang muncul di kepalanya."

"Ditulis doang? Lalu apa manfaatnya?" tanya Viko.

Nah, loh. Iya ya? Untuk apa tulisannya? Gue, kan, barusan asal ngomong aja biar keliatan ngasih pendapat. Gak kepikiran kalo Viko nanya apa manfaatnya. Setelah berpikir beberapa detik saya punya ide lanjutan.

"Suruh dia tulis semua omongan makhluk itu. Susun dari atas ke bawah. Setelah itu, suruh dia membuat tulisan berdasarkan apa yang tertulis. Semua kalimat harus ada dalam tulisannya." Sejenak saya berhenti kehabisan ide.

"Menarik. Terus-terus?" tanya Viko.

Alhamdulillah Tuhan itu maha baik. Mendadak saya dapet ide lagi.

"Setelah selesai. dia harus melanjutkan tulisannya dengan mengcounter semua tuduhan dari makhluk itu. Misalnya: menurut Pak Jenggot, saya bodoh, itu artinya dia tidak mengenal saya. Dia tidak tau bahwa saya orang yang paling pintar sedunia."

"Widiiiii...keren ide lo, Om Bud." Viko langsung mencatat semua yang saya katakan.

"Anak lo bisa nulis lagi: Si Jenggot nyuruh gue bunuh diri? Berarti dia yang bodoh. Kenapa bodoh? Karena ayah membutuhkan saya. Ibu membutuhkan saya. Adikku membutuhkan saya. Dunia membutuhkan saya..."

Viko menatap saya dengan mulut menganga. Sekonyong-konyong dia berdiri, Berjalan menyeberangi meja dan memeluk saya kenceng banget. Melihat dia begitu emosional saya balas memeluk sambil menepuk-nepuk punggungnya.

"Sudah-sudah, Vik. Orang-orang pada ngeliatin kita, tuh." Saya mendorong tubuhnya.

Terus terang saya mulai risih dengan pelukannya. Sekilas saya sempat menyapu ruangan dan melihat banyak orang, termasuk waiter-waiter melihat ke arah kami dengan pandangan aneh. Mungkin mereka pada membatin, 'Ini dua gay, kok, demonstratif amat di tempat umum.' Hahahahahaha....

"Oh my God. I am so blessed to have a friend like you, Om Bud." kata Viko lagi sambil melepaskan pelukannya.

Setelah duduk kembali, Viko berkata, "Jadi maksud lo, suara-suara itu kita anggap sebagai pemicu ide untuk menulis, kan? Keren!"

"Betul! Ide itu kadang sulit kalo cuma dipikirin doang. Ide itu harus dipancing. Daripada kita menganggap suara-suara itu sebagai teror, kita anggap aja itu cara Tuhan untuk memancing ide."

"Brilyan!"

Sesi konsultasi kali ini sama sekali tidak membuat buku UMKM karya Viko mendapat kemajuan. Namun sesi ini justru paling bermanfaat buat kami berdua. Setidaknya pemahaman kami tentang hidup semakin meningkat.

Di sesi-sesi berikutnya, Viko selalu melaporkan kondisi anaknya. Menurut dia metode saya ternyata sangat ampuh. Kondisi anaknya kini jauh lebih tenang. Emosinya lebih stabil. Biasanya dia selalu ketakutan setiap kali suara-suara itu datang. Sekarang dia justru menunggu kedatangan suara misterius itu. Dia semakin produktif. Tulisannya semakin banyak.

Sampai suatu hari kami bertemu lagi di sebuah sesi. Tempat sama di Citos. Kami duduk di meja yang sama dengan posisi duduk sama dan memesan menu yang sama. Berbeda dengan biasanya, paras Viko suram lagi.

"Gimana anak lo, Vik?" tanya saya berbasa-basi.

"Nah, itu yang gue mau omongin. Anak gue memang aneh."

"Aneh kenapa?" tanya saya bingung.

"Makhluk di kepalanya udah gak pernah datang lagi."

"Weits...bagus, dong."

"Menurut kita bagus tapi tidak buat anak gue. Sekarang dia selalu sedih karena kangen sama suara-suara itu."

"Waduh..." Saya menggaruk-garuk kepala.

"Gue udah bawa ke psikiaternya. Menurut dokter, kondisi itu gak permanen. Samalah kayak orang pisah sama pacarnya. Lukanya akan sembuh bersama waktu. Gitu katanya."

"Gue setuju sama dokter itu. Time heals..." sahut saya.

"Okay, kita mulai, yuk? Sekarang kita masuk ke Bab 3 ya." Viko membuka laptopnya dan sesi konsultasi buku UMKM pun dimulai.

Peristiwa anaknya Viko membuat saya mendapatkan pemahaman baru dalam mengajar literasi. Metode yang saya sarankan ke putra temen saya itu selanjutnya saya implementasikan menjadi sebuah modul. Setiap kali mengajar, saya memberikan 6 kata ajaib pada para peserta dan mereka harus menulis cerita berdasarkan keenam kata itu. Di level yang lebih tinggi, saya memberikan 6 kalimat ajaib untuk dibuat menjadi cerita.

Ternyata metode ini juga sangat disukai oleh para peserta. Saya bersyukur banget mendapat berkah berharga ini. Thank God.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.