7 Skala Richter

Pernahkan sekali dalam hidup, kalian merasakan berada dalam pulau tanpa sinyal selama beberapa jam? Dan saat kejadian itu kamu sedang dalam situasi panik, dunia seolah terbelah, bumi mengguncang dan gelap gulita. Kamu yang seorang Ibu terpisah dari anakmu, terpisah dari kedua orang tuamu yang sudah tua, pernahkah merasakan? Di sekitarmu hanya teriakan panik, takbir yang terucap dari setiap orang yang kamu jumpai seolah mengantarkanmu pada ujung kehidupan.
Bila kalian belum pernah merasakannya, saya akan coba mengurai pengalaman hidup yang saya jalani pada Agustus 2018 yang lalu.
5 Agustus 2018, pukul 16.00 WITA.
Mobil kami melaju menuju Mataram Lombok Barat. Sepanjang jalan macet karena banyak sekali iringan pengantin. Entah mengapa hari itu banyak sekali kami menjumpai pengantin tradisional suku sasak yang menjalankan perayaan Nyongkolan, di mana iringan pengantin akan berjalan menuju rumah mempelai, dan dalam perjalanan itu akan ada arak-arakan panjang termasuk di dalamnya para pemusik tradisional yang menjadi tontonan gratis bagi para warga yang dilewati oleh iringan.
Termasuk mobil kami, yang berjalan pelan dengan setengahnya merasa terhibur karena bisa menikmati alunan gending khas Lombok sebagai pengiring pengantin yang berjalan di urutan paling depan, juga melihat kedua mempelai yang wajahnya berseri bagai raja dan ratu sehari.
Sejak pagi kami meninggalkan rumah bersama beberapa teman yang tergabung dalam kru relawan, mengantarkan bantuan gempa ke Lombok Utara dari hasil swadaya alumni sekolah SMP Negeri 1 Mataram.
Seminggu sebelumnya pulau kami diguncang gempa, tetapi korban terparah berada di Lombok Utara. Untuk membantu mengurangi beban saudara kami, itulah yang kami lakukan, menggalang dana dan menyalurkan bantuan.
Pukul 19.00 WITA sampailah kami di basecamp. Semua orang tampak gembira, hari ini kami sudah melaksanakan satu misi kemanusiaan. Sudah semestinya merasa bangga, dan itulah yang kami rasakan. Begitulah, sebelum beberapa saat setelah sholat Isya, guncangan maha dahsyat itu kami rasakan. Seketika saja kami semua panik. Tak satupun dari kami yang mampu bertahan untuk berteriak, berlari menghambur ke jalanan, begitu pula warga di sekitar situ. Ditambah lagi aliran listrik yang padam total di seluruh pulau, telak sudah rasa takut mengguncang kami.
Sontak saya berteriak mengucapkan takbir, berlari menggendong anak kecil yang ada di hadapan saya, mencari tempat berlindung yang aman walau saat itu seluruh penjuru tidaklah aman. Guncangan pertama selesai. Tapi kemudian disusul guncangan kedua dan ketiga yang tak kalah kencangnya. Saya menangis mengingat kedua putri saya yang berada di rumah. Pastilah keduanya panik karena tidak ada kami kedua orang tuanya di samping mereka.
"Ayah, kita pulang. Bunda takut, anak-anak gimana?"
Entah ini pernyataan atau pertanyaan, tetapi dengan segera kami mengendarai motor menuju arah rumah. Sepanjang jalan yang kami lewati, tak sedikit bangunan yang hancur, juga orang-orang yang memenuhi jalan, berlari keluar rumah.
Menembus suasana kacau, dengan hati gundah memikirkan keselamatan anak-anak serta orang tua yang kami tinggalkan seharian di rumah, air mata tak pernah bisa berhenti mengalir.
Di ujung jalan dalam gelap, sekilas saya melihat jaket hitam, persis seperti milik anak gadis saya. Spontan saya berteriak, "Kakak Mayla!"
Ia menoleh, membuat saya yakin bahwa itu memang mereka, berdiri di tengah lapangan sambil berpegangan tangan, di tengah kerumunan puluhan orang lainnya. Kemudian tangis kami pecah dalam pelukan. Saya menemukan dua anak gadis saya menuntun Ibu saya dalam panik.
"Kakak mana Opung?" tanya saya.
"Opung pulang, tadi lupa matikan kompor. Soalnya pas gempa Ninik lagi panasin sayur di dapur," ujar Kakak Mayla.
Mendengar penjelasannya, saya lemas memikirkan Opung yang berada di dapur. Mengingat lagi bahwa untuk menuju dapur harus melewati lorong yang agak panjang, saya tambah lemas.
"Kakak, Adek, Ninik, diam di sini ya. Ayah Bunda pulang ambil motor dan jemput Opung. Diam, jangan ke mana-mana," titah saya mutlak. "Tunggu kita ketemu di sini lagi. Kalau ada gempa susulan diam aja, di sini aman, gak ada bangunan dan jauh dari pohon. Kakak jaga Adek sama Ninik ya, Bunda cepat balik." Mandat untuk Kakak Mayla dijawab dengan anggukan.
Benar saja, sampai di rumah saya berteriak memanggil Opung yang masih di dalam, menyuruhnya cepat keluar. Saya memandang berkeliling. Motor kami di garasi jatuh, rak buku di ruang tengah juga ambruk, membuat buku-buku berhamburan. Untung kunci motor masih tergantung di dinding, jadi kami tidak kesusahan mencarinya. Saya secepat kilat menggulung bed cover, mengambil jaket anak-anak dan Ninik, mengambil tas obat-obatan untuk Ninik, sandal jepit, kaos kaki, dan apa saja yang saya lihat di depan mata.
Dengan kecepatan super kilat kami keluar dari rumah. Kami bertiga membawa motor. Sementara motor saya penuh dengan barang bawaan, yang saat itu entah untuk apa saya bawa. Lalu kami menuju titik kumpul awal untuk menjemput Ninik dan anak-anak. Tanpa tujuan yang jelas, kami hanya mengikuti arus kendaraan di jalan yang sudah kacau-balau.
"Tsunami! Tsunamii!"
"Air laut naik! Air laut naiik!"
"Lari ke gunung! Lari ke gunung!"
Begitulah teriakan hampir semua orang yang kami jumpai. Semua orang berlari ke segala arah. Saya sempat berusaha menenangkan anak-anak yang sudah menagis sejak tadi, Ninik tak henti mengucapkan istigfar. Saya, Ayah dan Opung berusaha tenang dan sepakat mengendarai motor ke arah Narmada, menuju dataran yang lebih tinggi dari tempat tinggal kami di pesisir pantai Senggigi di pulau Lombok yang terkenal indah.
"Kita ke arah Narmada ya, Opung bawa Ninik sejauh mungkin kalau bisa kita jangan pisah ya, terus jaga jarak. Karena sinyal hape lagi down, kita gak bisa saling menghubungi," itu pesan Ayah pada saya dan Opung yang mengendarai motor berbeda.
Sebagai seorang Ibu, saya berusaha tenang, menatap wajah anak-anak saya dengan lekat, menatap wajah Ayah dan juga kedua orang tua saya. Semua saya rekam dalam memori, dengan rasa yang susah untuk diuraikan, tapi seolah ini adalah terakhir kali saya akan berjumpa dengan mereka. Membayangkan air laut yang sudah naik, kembali hadir di benak saya bayangan ganasnya Tsunami Aceh.
"Jangan nangis, terus istigfar ya, Nak. Opung yang tenang ya, bawa motornya. Kita ketemu di daerah Narmada," ucap saya dengan penuh keyakinan bahwa kami pasti tak akan terpisahkan.
Namun benar saja, di tengah kekacauan saya kehilangan jejak motor Opung. Sejak awal kami konvoi dengan menjaga jarak sambil saling mengawasi. Entah siapa yang lengah hingga kami bertiga si pengemudi bisa terpisahkan. Di sinilah awal air mata saya yang tak bisa terbendung lagi.
Di antara kegundahan kehilangan jejak Opung, sedih melihat teriakan Ibu yang mencari anaknya, suara tangis anak yang entah di mana orang tuanya, melihat Nenek-Kakek berlari dengan sisa tenaga yang mereka miliki, orang yang lelah berlari dan berhenti di pinggir jalan berusaha mencari tumpangan siapapun yang lewat, semua tercampur menjadi kekalutan sementara gempa susulan terus mengguncang dengan skala yang tak bisa diprediksi.
Malam yang tak terlupakan, saya dan Ayah akhirnya memutuskan berhenti di depan sebuah rumah sakit sambil berusaha mengawasi setiap motor yang lewat, berharap bisa menemukan Opung dan Ninik. Jalan kami menuju titik temu yang dijanjikan masih jauh, tapi pertama-tama kami harus kembali bersama.
Tiap gempa susulan datang kami berusaha saling berpelukan, berupaya membagi kekuatan yang tersisa. Hampir setengah jam kami menunggu Opung tetapi tak kunjung bertemu, maka kami berdua memutuskan untuk terus lanjut dan berharap semoga mereka telah sampai duluan di titik tujuan kami.
Di tengah jalan, bensin motor Ayah habis masalah baru yang tidak pernah terfikirkan. Tak ada yang berjualan karena semua sibuk menyelamatkan diri. Bertambahlah kekalutan saya, akhirnya anak-anak pindah ke motor saya sementara Ayah menuntun motornya. Tak akan pernah mampu saya melupakan peristiwa ini bagaimana saya dan anak-anak menolak saat Ayah mengatakan, "Sudah, Bunda jalan duluan aja selamatkan anak-anak. Biar Ayah tuntun motor, insyaallah di depan ada jual bensin eceran. Yang penting Bunda selamatkan anak-anak."
Serentak kami menolak, bahwa kami harus tetap bersama apapun yang terjadi. Cukuplah saat itu saya kehilangan jejak Opung dan Ninik, jangan lagi sampai saya terpisah dengan Ayah.
Maka kami mengimbangi Ayah yang menuntun motor, dengan air mata serta kepasrahan sembari berucap, "lillahita'ala."
Beruntung tak lama kemudian, kami menemukan lokasi aman, yang menurut hitungan logika sudah jauh dari terjangan gelombang Tsunami seperti yang diteriakkan orang-orang di jalan. Sebuah pom bensin yang jauh dari pesisir pantai, di situlah kami memutuskan berhenti, menunggu sampai esok pagi dan kondisi yang lebih tenang. Banyak orang yang juga bersama kami, senasib dengan kami kehabisan bensin, hingga kami merasa tidak sendiri.
Sejak terpisah saya sudah puluhan kali menghubungi ponsel Opung yang tetap tidak aktif karena sinyal masih down.
Kali ini saya yakin hanya pertolongan Allah yang mampu mempertemukan saya dan Opung kembali.
Percayakah kalian? Kontak batin anak dan orang tua itu tak pernah bisa disangkal. Dalam hati saya berdoa untuk keselamatan Opung dan Ninik, serta berbicara mengandalkan bahasa batin entah apapun namanya.
"Opung ... tenang ya, Cil udah di dekat Opung. Kita pasti ketemu, tolong tenang ya, jaga Ninik. Kita sudah dekat kok, dekat sekali ... ayo kita saling cari, pasti kita ketemu."
Dalam diam saya terus menyuarakan itu untuk menenangkan hati saya, yang sejatinya sangat gundah memikirkan Opung dan Ninik.
"Oi! Cil, Icil!"
"Oi, Icil! Tunggu di sini ya, saya ambil mamakmu dulu!"
Suara keras khas orang Batak yang sangat saya hapal, suara yang beberapa saat lalu sangat saya rindukan memanggil nama kecil saya. Hanya Opung dan Ninik yang masih memanggil saya dengan sebutan Icil walau saya sudah memiliki anak.
"Ya Allah ... Opung di mana? Mana Mamak?" teriak saya menghampiri lelaki yang paling saya cintai itu. Dia menunjuk ke sebuah arah, dan saya berlari menghampiri Ninik di sana yang berdiri kebingungan melihat situasi yang kacau.
Saya tuntun Ibu saya menuju tempat suami dan anak-anak berkumpul. Lalu saya gelar bed cover yang saya bawa, saya buatkan alas tidur empuk, saya berikan selimut juga berharap Ninik bisa istirahat tidur walau sejenak. Ninik dan kedua anak saya merebahkan diri di atas bed cover, sambil berpelukan setiap kali ada gempa susulan.
"Tenang ... kita malam ini tidur di bawah atap langit, jadi insyaallah aman, gak bakal kejatuhan genteng, tembok dan bata. Jadi usahakan tidur ya, kita kemah pakai tenda buatan Allah yang gak bakal bisa rubuh," ucap saya terus mencoba menenangkan Ninik dan anak-anak.
Benar saja malam itu kami semua merasa nyaman dan aman tidur di bawah atap langit. Tak ada yang bisa menandingi buatan Tuhan. Bangunan yang paling kokoh dengan material yang super saja hancur luluh lantak. Tak ada rasa aman tidur beralaskan lantai marmer mahal dan tinggal di hotel berbintang lantai lima, malam itu saya membuktikan alam tetaplah yang paling aman. Tidur di aspal beralaskan kain, dan di bawah atap langit, bercahaya bintang karena malam itu semua aliran listrik mati di pulau Lombok.
Satu hal lagi yang tak bisa saya pungkiri, kekuatan doa dan kontak batin orang tua dan anak tak pernah bisa mengalahkan kekuatan sinyal dari semua provider telekomunikasi yang ada di dunia.
Saya sudah membuktikan, bagaimana saya terpisahkan dari orang tua di tengah kekalutan bencana alam maha dahsyat, dengan doa dan permohonan tulus, saling menguatkan walau dengan bahasa batin tetaplah mampu menyatukan kami semua.
Saya duduk mendekati Opung yang tampak lelah.
"Opung tidur aja, biar Cil sama Mas Endy yang jaga," ucap saya pada Opung.
"Iya nanti, Bapak masih kaget," ucapnya pelan sambil meluruskan kaki yang sejak tadi bersila di aspal.
"Kok Bapak bisa liat Cil?" tanya saya pada Opung.
"Iya, saya cari kamu, tiap orang lewat saya liat. Ilang hati saya begitu banyak orang yang lewat tapi bukan kamu. Saya kira kita gak bisa ketemu lagi dengan selamat, saya cuma berdoa semoga kamu tidak bawa anak-anak itu berhenti di bawah bangunan, atau dekat tembok, cuma itu," ucap Opung lirih.
"Terus pas saya lagi bingung, kayak denger suara kamu manggil saya. Terus saya noleh ternyata bener kamu lagi manggil saya di sini," ucapnya sambil menepuk bahu saya lembut.
"Cil juga sama cari Opung di dekat Rumah Sakit tapi gak ketemu, motor Mas Endy habis bensin makanya ke sini. Gak taunya liat Opung manggil Cil," ucap saya dengan suara parau.
Melihat kedua anak saya dan kedua orang tua saya tertidur dengan gelisah, karena setiap menit terjadi gempa susulan yang getarannya sangat terasa karena kami semua benar-benar di atas aspal hingga getaran gempa sekecil apapun langsung terasa.
Saya menagis menumpahkan rasa takut, kalut dan cemas yang dari tadi saya tahan. Kini saat saya sendiri tibalah giliran saya untuk melepaskan semuanya.
Tak pernah ada yang paling membahagiakan selain saya masih bisa melihat orang-orang yang paling saya cintai selamat dari bencana alam yang dahsyat ini.
Baru beberapa jam yang lalu saya beserta rombongan bersuka cita mengantarkan bantuan kepada saudara di Lombok Utara yang lebih dulu menjadi korban Gempa, menyaksikan mereka tidur di bawah tenda beratapkan terpal seadanya, mendengarkan curahan hati mereka tentang ketakutan merasakan bumi ini seperti terus bergerak dan seakan terbelah. Kini malamnya saya merasakan semua apa yang mereka rasakan dan tak pernah tahu kapan ini akan berakhir.
*****
7 Agustus 2018 pukul 09.15.
Pengungsian Taman Sangkareang Kota Mataram.
Kami memutuskan untuk mengungsi di Taman Sangkareang yang berada di tengah kota Mataram. Setidaknya di sini dekat dengan lokasi basecamp BNPB, Kantor Walikota, Kantor Gubernur, Koramil dan semua unsur yang mempermudah kami untuk ikut dievakuasi secara massal oleh pemerintah daerah kalau-kalau terjadi sesuatu, hingga kami sekeluarga merasa cukup aman. Setidaknya lebih aman dari sebelumnya.
Sejak terjadi gempa dan fasilitas komunikasi sudah berjalan normal, banyak sekali saya mendapat pesan dari saudara, sahabat dan kerabat yang berada di luar kota untuk mengungsi ke luar kota dulu. Setidaknya pergi semantara dari pulau Lombok, tapi nurani saya menolak. Bagaimana saya bisa tenang menjauh menghindari bencana sementara saudara saya di sini akan tetap saya lihat dari layar kaca dengan kondisi yang sama? Bagaimana mereka berjuang untuk tetap selamat dari bencana ini? Maka saya memutuskan untuk bertahan di sini.
Tidur di pengungsian, berbagi makanan dan minuman dengan yang lain, duduk berbagi kegelisahan dan cerita lucu agar bisa sedikit terhibur, dan saling menguatkan.
Tiap detik suara sirene berlalu lalang di jalan mengantar jenazah, mengantar korban luka dan banyak lagi hingga saya hapal bagaimana nada suara sebagai tanda korban darurat dari suara ambulan yang lewat.
Pagi ini pemandangan yang paling menyentuh adalah saat saya melihat dua orang ibu-ibu yang mengusir pedagang es krim yang lewat di pengungsian, yang mengakibatkan anak-anak menagis ingin es krim. Dalam situasi ini tak ada yang bisa disalahkan, pedagang butuh makan hingga berjualan, sementara pengungsi butuh hemat. Mereka mempunyai skala prioritas masing-masing agar bisa bertahan hidup dalam situasi seperti ini.
Jangan berpikir bahwa, kok tega gak beliin anaknya es krim? Bila kalian dihadapkan situasi ini maka kalian akan paham bagaimana berharganya uang seribu rupiah.
Hati saya menagis, tergerak oleh insiden itu saya mengambil ponsel dan mencari beberapa kontak teman yang sejiwa dengan saya. Berurai air mata saya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim.
"Assalamualaikum ... pagi ini saya masih di pengungsian, ada anak yang nangis minta es krim. Saya ada uang, tapi tidak mungkin membelikan cuma 10 orang anak saja. Di sini ada lebih dari 50 orang anak yang sama-sama ingin es krim. Tolong kirimkan anak-anak ini snack, yang benar-benar mereka butuhkan saat ini adalah makanan untuk mereka. Mereka butuh susu kotak, cokelat, wafer, permen karet, lolipop, teh gelas atau apapun yang mewakili jiwa kecil mereka. Bukan beras, telur, pembalut wanita, gula, kopi, bukan itu. Bantu saya untuk membahagiakan anak-anak ini."
Tangan ini terus saja mengetik tanpa bisa dihentikan, entah apa lagi yang saya tulis.
Beberapa detik kemudian teman saya menjawab, "Donna saya kirim segera, tolong kirimkan nomor rekeningmu. Belikan anak-anak itu makanan apapun termasuk untuk Mayla Raya. Saya yakin kamu pasti kuat Donna. Tidak semua orang bisa menghadapi situasi ini, dan kamu terpilih untuk berada di sana karena kamu dan keluargamu kuat."
Membaca pesan itu membuat saya menagis. Setidaknya ada harapan bahwa besok anak-anak di pengungsian bisa menikmati makanan snack kesukaan mereka. Semoga bisa membuat mereka kuat menghadapi cobaan ini.
Tak lama notifikasi masuk foto bukti transfer yang jumlahnya bisa untuk membeli banyak snack untuk anak-anak di pengungsian.
"Donna ini untuk beli snack ya, silakan gunakan untuk keperluan mereka apapun itu. Kamu dan keluarga yang sabar ya, saya akan menggalang dana di sini. Mari saling mendoakan, ya." Sebuah pesan yang membuat harapan baru untuk kami.
Hari itu adalah titik balik saya dan keluarga bangkit menghadapi cobaan. Akhirnya kami bisa merasakan untuk apa kami dikirim ke pulau ini. Semoga salah satunya adalah terpilih menjadi relawan sekaligus korban dalam bencana gempa Lombok 2018.
Menjadi relawan untuk konsen pada anak-anak korban gempa. Kami datang ke setiap lokasi gempa dengan membawa kantong besar berisi snack anak-anak, mainan anak-anak, buku cerita, buku tulis peralatan tulis yang semuanya untuk mereka.
Komitmen kami adalah untuk tetap berfokus pada anak-anak, melihat senyum dan tawa mereka dengan wajah dekil karena debu adalah bahagia tak terlukiskan. Mendengar mereka membaca sebait puisi sebagai syarat mendapatkan paket buku tulis adalah harapan baru, melihat mereka bertepuk tangan dan bersorak gembira adalah ungkapan semangat bahwa mereka masih ingin kembali merasakan bersekolah.
Pesan tersampaikan kepada semua donatur yang tak pernah surut menitipkan rejekinya pada kami, membuat langkah kami semakin ringan, hingga kami bisa melupakan bahwa kami pun adalah korban.
Pernahkah kalian merasa selalu bersemangat mengaduk lauk dalam kuali besar untuk menyediakan ribuan nasi bungkus bagi para relawan yang tersebar di seluruh lokasi gempa? Pernahkan kalian menikmati suasana riuh di dapur umum dadakan, di mana semua orang menjadi juru masak yang mengerahkan seluruh kemampuan memasaknya untuk menyajikan makanan terenak bagi seluruh relawan kemanusiaan? Itu bagian lain dari ujian yang kami hadapi. Berkomitmen menyediakan stok makan berupa nasi bungkus khusus untuk para relawan kemanusiaan sebagai bentuk rasa terima kasih kami pada mereka pejuang kemanusiaan yang bekerja tanpa lelah berbalut tulus dan ikhlas.
Semua itu adalah paket lengkap yang menjadi hadiah bagi kami sekeluarga. Membagi waktu untuk menjadi relawan di dapur umum, ikut menyalurkan semua donasi dari berbagai penjuru, tidur di tenda yang hanya berupa terpal, menikmati antri ke kamar mandi di pengungsian, dan semua yang kami rangkum menjadi pengalaman teristimewa yang tak akan pernah kami lupakan.
Semua kesusahan, beratnya cobaan, akhirnya menjadi ringan karena kita semua yang terpilih menjadi aktor kemanusiaan dalam peristiwa gempa Lombok 2018 bisa berbagi informasi dan berkomunikasi dengan baik.
Bahkan dengan berkomunikasi secara intrapersonal melalui batin pun tidak mustahil terjadi semua karena cara penyampaian yang benar dan tepat.
Ini adalah kisah nyata yang saya alami. Menuliskannya membuat saya seolah memutar kembali film kehidupan yang saya alami. Dan membuat saya merasa sangat kecil dibandingkan semua kebesaran yang dimiliki semesta ini.
Membagikan tulisan ini tanpa maksud menyombongkan diri, hanya ingin berbagi pengalaman dan kisah yang sangat berharga bagi saya.
Kepada semua teman relawan yang membaca ini adalah kisah kita, terima kasih sudah datang ke pulau Lombok dengan tulus membantu kami bangkit, mengisi jiwa kami dengan semangat kalian yang tulus.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba menulis The Writers dengan tema "Semua Masalah Dapat Terselesaikan Dengan Komunikasi Yang Baik."
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.