Ini Cerita Tentang Dylanku
“Selamat pagi Dylan”, ucap pak Heri satpam sekolah yang sudah berdiri dengan manis seakan tidak sabar menyapanya di pagi itu.
“Pagi pak Heriiiii”, mulut mungilnya menyapa balik dengan semangat sembari memberi salam tos kepada pak satpam favoritnya di kala itu. Ransel merahnya bergerak naik turun saat dia naik tangga setengah berlari menuju kelasnya. Saat itu dia masih duduk di bangku TK B.
Dylan terlahir dengan dua unyeng- unyeng di bagian kepalanya. Telinga kami sudah tidak asing mendengar kalimat dengan nada kurang lebih seperti ini,
“Whuiiiiii, mantap siap- siap yah…anak kalian pasti bakalan pinter tapi sekaligus usil hahahaha”.
“Nah ini bakalan ikut jejak omnya jenius sama nakal beda tipis”
Masih saya ingat saat mengantarkannya ke sekolah tidak lama teman- temannya akan datang mengerubunginya bagai sebuah magnet yang menarik barang- barang besi di sekitarnya. Sosok tubuhnya cukup besar dibanding teman- teman sepantarannya sedang kulitnya putih mulus, salah satu warisan dari ibunya. Sikap dan pembawaannya yang ceria dan gampang berinteraksi dengan orang lain membuatnya mudah disukai. Dari anak kecil sampai kakak kelas di SD kerap memanggil- manggil namanya.
Dari kecil Dylan putra kedua dari tiga putra kami ini termasuk anak yang tidak bisa diam, alias suka lari kesana- kemari. Jika Dylan dibawa ikut belanja, pasti saya akan waswas dan mencoba untuk menenangkannya. Khawatir tiap barang ingin dipegangnya. Kalau ke daerah barang pecah sudah pasti gak saya bawa. Bukan karena khawatir untuk mengganti perabotannya, tetapi lebih takut kalau dia terluka atau tertimpa barang yang begitu ingin disentuhnya.
Kejadian yang membuat suami dan saya serasa copot jantung terjadi saat dia berumur hampir 5 tahun. Saat itu kami sekeluarga baru selesai ibadah di gereja. Seperti biasanya sesudah ibadah biasanya kami berjabat tangan seraya mengucapkan selamat hari Minggu kepada orang- orang yang kami kenal dan kadang pembicaraan dapat berlanjut untuk bertanya kabar atau hal lainnya. Tempat ibadah anak- anak memang dekat sekali dengan tempat parkir motor berisi deretan motor yang berdiri agak tidak beraturan. Tiba- tiba suami saya berlari ke arah motor yang sudah tergelatak di lantai. Yang membuat saya hampir pingsan, ketika suami menghampiri dan menggendong Dylan dalam keadaan bibir sebelah kiri bergelimangan darah.
Suami saya yang wajahnya terlihat pucat pasi langsung berinisiatif membawa Dylan ke emergency RS terdekat. Karena bapaknya Dylan ada trauma jika melihat darah jadilah saya harus menemani anak tengah kami dalam ruangan RS untuk menerima penanganan khusus. Raungan demi raungan harus saya hadapi untuk menenangkannya. Akhirnya dua tenaga medis lainnya membantu saya untuk memegangnya karena gerakan tubuhnya yang terus memberontak kuat bagai kuda liar. Lega dan plong hati ini setelah proses menjahit luka dalam dan menganga sepanjang kira- kira 2 cm itu di sebelah kiri ujung bibirnya akhirnya rampung. Siang itu dua jahitan menghiasi wajahnya yang innocent itu.
“Saya kaget kok motornya jalan sendiri sekitar 2 meter dan gak lama jatuh!” lapor seorang bapak yang melihat Dylan mengendarai motor matik yang ditinggal pemiliknya dalam keadaan mesin yang masih hidup.
“Dalam hitungan detik aku liat ada anak kecil jatuh ketimpa motor, duh kasian banget nih anak orang makanya tadi aku lari untuk nolongin angkat motornya”, cerita suami saya ketika kondisi sudah agak tenang.
“Eh, pas mau angkat motor, kok kayaknya baju batiknya aku kenal? Ya Tuhan, ini anak aku sendiri”.
Setiap hari keluarga menelpon hanya memastikan segala sesuatunya baik- baik saja dengan cucu mereka yang tinggal nun jauh di mata tapi dekat di hati. Penyesalan kami sebagai orang tua karena tidak memperhatikan anak yang sudah dititipkan kepada kami menghinggap kuat di dada saat itu. Pasti Tuhan dan tentara malaikatNYA yang menjaga Dylan sewaktu jatuh ke tanah. Kepala dan badannya terjaga dengan aman dari timpaan badan sepeda motor yang terlihat jauh lebih besar dari tubuh pengendaranya.
Karena energi Si Energizer yang tidak habis- habis itu,kami memasukkan Dylan untuk ikut ekskul Futsal. Jadwal berlatih jatuh setiap hari Jumat jam 3 sore. Semangatnya untuk berlatih terlihat berapi- api sekali. Dylan tidak pernah mau ketinggalan ikut latihan futsal. Awal- awal mereka latihan saya suka geli sendiri, bagaimana tidak? kemana bola bergerak ke arah itu juga mereka menuju. Mungkin taktiknya belum ada jadi keliatannya seperti gerombolan anak kecil sedang lari- lari mengejar satu bola kesana- kemari, hehehehe.
“Bu, selamat Dylan terpilih sebagai tim inti untuk pertandingan futsal antar PAUD di Kecamatan Balikpapan Utara”,Pak Avent pelatih futsal terdengar antusias di telepon. Rasa bangga dan haru datang menggantikan perasaan khawatir telepon dari pihak TK akan memberitahukan hal buruk yang terjadi dengan Dylan selama berkegiatan di sekolah.
Lomba futsal diadakan di dalam arena pasar segar, sebuah pasar modern yang belum lama buka saat itu. Sebuah karpet raksasa berwarna hijau tua digelar di tengah ruangan itu lengkap dengan dua gawangnya. Saat membaca bagan jadwal pertandingan ada lebih dari 20 group futsal dari berbagai PAUD yang akan turun berkompetisi. Pertandingan group Dylan pun dimulai, oper dari satu kaki ke kaki lain terus berlanjut. Keringat dan udara berpadu menyuarakan sportifitas dan kerjasama tim yang luar biasa.
Seakan tidak mau kalah dengan anak- anaknya yang sedang berjuang di lapangan, para suporter yang hadir tidak berhenti meluapkan emosinya. Ada yang bertepuk tangan riuh, ada suara semangat mendukung anaknya, ada pula seruan pelatih dengan kedua tangannya membentuk toa di mulut karena tidak rela gawang anak- anak asuhannya kebobolan. Kalau seandainya ada penghargaan untuk best supporter pasti jatuh ke tangan saya. Teriakan paling nyaring dan heboh sambil lompat- lompat sendiri saya lakukan. Belum kalo nyaris gol saya berteriak lalu menutup wajah dengan penuh kekecewaan. “Gooooooooooool!!! Kata indah itu mengudara berbarengan tanpa ada yang memberi komando. Dylan dan timnya saling berpelukan dengan muka bahagia setelah akhirnya pecah telor mengejar ketinggalan skor 2-0 dari tim lawannya.
Lambat tapi pasti semua tim yang dihadapi tim futsal Dylan berhasil ditaklukkan. Babak penyisihan akan dilanjutkan ke hari lain yang telah ditentukan panitia lomba.
“Ma, kata Mr. Avent group kita bisa juara satu loh, iyakah ma?” tanya sepasang bola mata dengan penuh rasa ingin tau di moment bersejarah itu.
“ Dylan dan tim sudah bisa main sampe babak penyisihan sudah juara tuch buat mama dan papa. Just do your best and let God do the rest”, saya mencoba menasehati sambil memeluknya erat- erat.
Kerja sama Dylan bersama timnya dibawah bimbingan pelatihnya berbuah manis. Tim futsalnya memperoleh juara 1 di acara “Kids competition 2016” GEBYAR PAUD- Himpaudi Cabang Balikpapan Utara.
Dylan kami memang penuh akal, keras kepala dan sering usil. Tapi dibalik semuanya itu, ada potensi besar tersembunyi di dalam dirinya. Teringat pesan opa Dono Baswardono yang ditulis khusus untuk saya ketika hendak meminta tanda tangan di buku karangannya. Isinya: Kebahagiaan orang tua adalah saat menemani anak tumbuh jadi dirinya sendiri.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.