Over Protective

Over Protective
Image source: Freepik

Ini kisah tentang Aruni (bukan nama sebenarnya), seorang siswi kelas XII di sebuah SMA di Jakarta.

Suatu ketika, saya ditelpon Ibunya. Ia mengeluhkan keadaan Aruni yang sepertinya tidak memiliki gairah untuk belajar lebih intens, sehingga ia bisa meraih prestasi di kelasnya. Setidaknya ia bisa mendapatkan nilai yang baik. Ibunya lebih kuatir lagi karena sebentar lagi UN, dan Aruni harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Ibunya bilang, Aruni sangat datar. Ia rajin sekolah; ia rutin mengikuti bimbel; tapi ia benar-benar tidak memiliki gairah, bahkan harapan untuk memilih perguruan tinggi favoritnya.

Aruni, kata Sang Ibu, selalu mengeluh cape dan menyerah.

Ketika saya bertemu Aruni, memang, ia tampak begitu lelah dan seakan tak memiliki semangat hidup. Kata yang kerap ia sebut adalah, “Cape!” Tanpa ekspresi.

Saya lihat jadwalnya memang sangat padat. Apalagi ia merasa prustrasi dengan sistem kurikulum baru (saat itu), yang menuntut siswa untuk belajar dan mencari solusi sendiri tanpa tergantung pada guru.

Saya coba interview dia. Ia mengaku menyerah dengan sistem kurikulum baru. Apalagi ketika berhadapan dengan matematika. Guru tidak lagi mengajarkannya intens, tapi Aruni harus mencari solusinya sendiri. Akhirnya, tutorial di internet, buku-buku dan bimbel menjadi andalannya. Semua baginya sangat menguras energi. Dan untuk kesekian kalinya ia bilang merasa sangat cape!

Di pertemuan pertama, saya membimbing Aruni untuk melakukan rileksasi. Saya biarkan ia untuk membuang perasaan cape dan tertekannya jauh-jauh. Saya ajak ia untuk memasuki suasana hening, di mana ia hanya menemukan suasana nyaman, damai, dan tenang. Momen ini saya gunakan sebagai momen ia me-release negative emotion. Lepas dari seluruh tekanannya di sekolah dan di mana pun yang membuatnya cape.

Selebihnya, saya memberi ia sugesti untuk senantiasa semangat, menjalani hidup dengan optimis, dan saya katakan, ialah penentu dari baik atau buruknya hidup ia. Ialah yang memutuskan untuk bahagia, atau menderita.

Di pertemuan kedua, saya coba cara lain. Bila pertemuan pertama saya wawancarai pikiran sadarnya; maka di pertemuan kedua saya coba gali bawah sadarnya.

Ternyata, saya mendapatkan info berbeda. Sambil menangis, Aruni bilang, bahwa sebenarnya, persoalan sekolah bisa ia lalui dengan baik. Yang membuatnya lelah adalah sikap ibunya yang over protective. Sementara ia sangat mencintai ibunya. Ia tak bisa menolak apapun yang diminta dan diinginkan ibunya.

Aruni lelah karena ia selalu harus mengikuti apa yang dimaui ibunya. Harus ini, harus itu, mesti ikut ini, mesti ikut itu. Termasuk ketika Ibunya memutuskan untuk tinggal di apartemen demi menjaga Aruni sekolah di Jakarta. Padahal, Ibu dan ayahnya tinggal di Bekasi.

Saya coba tanya Aruni, apa yang harus saya lakukan untuk memperbaikinya. Aruni bilang, ibunya harus memberinya ruang gerak. Ibu mesti percaya pada Aruni, karena Aruni memang orang yang sangat bisa mandiri dan bisa dipercaya.

Saat sesi selesai, saya meminta waktu untuk bicara pada ayah dan ibunya. Ibunya kaget, karena ia tak menyangka bahwa akar masalahnya adalah cara ia sendiri memperlakukannya.

Akhirnya, di hadapan saya dan Aruni, Ibu dan ayahnya komit untuk memenuhi keinginan Aruni. Sebagai tanda komit, di bulan depannya, ia memutuskan untuk kembali tinggal di Bekasi; dan membiarkan Aruni serta kakaknya di apartemen hingga lulus SMA.

Belakangan, saya mendengar kabar, Aruni sudah menjadi mahasiswi di universitas negeri ternama di Depok, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Padahal, sebelumnya, ia malah bilang Matematika dan IPA adalah salah satu bidang yang membuatnya tertekan.

Hmmm... miskomunikasi, selalu saja jadi biang kerok yang bisa menjungkirbalikkan makna. Bahkan tentang cinta, saat dilihat dari kamus berbeda, ia tiba-tiba menjadi penjara yang membuat seluruh keindahan berubah jadi neraka.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.