Gadis Jepang

Terinspirasi dari kisah nyata.

Gadis Jepang

 

Saat itu kami sedang liburan singkat di Jepang.
Saat hari terakhir di sana, karena pesawatnya malam, aku dan mantan suamiku, masih menyempatkan jalan-jalan siang.
Ketika hari menjelang petang, dari kejauhan kami memandang sebuah bukit taman yang indah terbentang, di sana terlihat ada beberapa bangunan traditional Jepang.
Lalu kami datangi. Kami harus menaiki tangga yang lumayan banyak untuk mencapai tempat itu. Saat itu aku sedang hamil. Jadi cukup lelah juga.
Ternyata setelah kami tiba di atas bukit, kami baru sadar bahwa itu adalah taman pemakaman. Aku sebetulnya tidak suka pergi ke kuburan. Apalagi sedang hamil. Pamali!
Suamiku, yang waktu itu belum jadi mantan, tidak percaya tahayul.
Karena sudah terlanjur berada di atas sana, setelah lelah naik begitu banyak tangga, saya mengalah. Kami melihat-lihat kuburan yang indah seperti taman bunga itu. Penuh hiasan lentera dan patung patung traditional Jepang. Seolah kita berada di abad lalu.
Tidak ada siapa siapa di sana, sepi. Hanya kita berdua aja.
Taman itu cukup besar, tak terasa, hari sudah mulai gelap,
Suamiku masih sibuk memotret.
Aku ingin buang air kecil. Maklum sedang hamil jadi agak susah menahan lama.
Taman itu jauh dari mana mana. Kalau kita kembali ke jalanan yang ramai lagi, akan lama, aku tidak akan sanggup menahannya.
Untunglah kita menemukan sebuah kamar mandi umum.
Sebetulnya aku takut masuk ke situ. Entah kenapa kesannya anker. Tapi karena sudah kebelet, terpaksa aku masuk. Sambil kuucapkan,” Permisi, numpang numpang ya…”
Semerbak wangi bunga memenuhi kamar kecil itu.
Bulu kudukku berdiri.
Ah, mungkin ini wangi pengharum ruangan?
Atau wangi bunga dari taman?
Aku berusaha menghibur diri, agar tidak takut.
Secepat kilat aku selesaikan urusanku dan keluar.
Aku meminta suamiku segera pergi dari situ.
Alasannya aku lapar, mau segera makan malam. Padahal aku takut.
Tapi kalau aku bilang takut, dari tadi sudah diacuhkan suamiku, karena dia tidak percaya hantu.


Malam itu kami sudah berada di pesawat.
Seperti biasa, karena lagi hamil, aku jadi sering ke kamar kecil.
Aduh ternyata antri di depan kamar kecil.
Ada seorang gadis yang sangat cantik di depan antrian saya.
Kulitnya putih, matanya sipit, hidungnya mancung. Tinggi semampai.
Aku menduga gadis ini gadis Jepang.
Karena kami naik Japan airlines.
Gadis itu tersenyum kepadaku dan mengucapkan salam dalam bahasa Jepang.
Mungkin mengira aku juga orang Jepang.
Aku tidak bisa bicara bahasa Jepang. Tapi mengerti sedikit sedikit karena pernah belajar.
Lalu kujawab dengan bahasa Inggris.
Kami bercakap cakap sedikit sambil menunggu antrian kamar kecil.
“Sudah berapa bulan hamilnya?” tanya gadis itu.
“Lima bulan.” jawabku.
Perutku masih belum terlalu terlihat hamil, tapi gadis itu rupanya pintar menebak.
“Boleh kupegang?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Ia mengelus-ngelus perutku sambil tersenyum.
“Smart boy!” katanya.
“Belum tentu laki-laki, siapa tau perempuan!” kataku.
“Dia laki laki.” katanya dengan yakin.
Setelah itu seorang bapak keluar, dan gadis Jepang itu masuk.

Saat gadis itu di dalam, ada aku dan 2 orang lain yang sedang menunggu antrian.
Ternyata gadis itu cukup lama di dalam.
15 menit belum keluar juga.
Mungkin dia sambil dandan dulu.
Sebagai sesama wanita aku mengerti, kadang kita perlu membetulkan make-up.
Lalu aku bercakap-cakap dengan pria bule yang berdiri di sampingku.
30 menit gadis itu belum keluar juga.
Seorang wanita tua yang antri di belakang pria bule itu mulai bersungut-sungut kesal.
1 jam kemudian, gadis itu masih belum keluar juga.
Pramugari menghampiri kami.
“Lama benar dia belum keluar juga sudah 1 jam!” keluh ibu-ibu yang di belakang.
Pramugari mengetuk pintu kamar mandi.
Tidak ada jawaban.
Lalu pramugari melihat tanda di pintu, “oh ini sudah kosong kok!” , katanya sambil menunjuk tanda ”Vacant!”
Kami bertiga yang sedang antri saling memandang, bingung.
Aku merasa bodoh, kenapa tidak aku cek tulisan itu sedari tadi?
“Kita kok nggak ngeliat dia keluar ya?” tanyaku.
“Saya juga nggak ngeliat!” kata pria itu.
“Apa kalian melihat ada gadis Jepang yang keluar dari kamar kecil?” tanya ibu yang antri di belakang, kepada penumpang yang duduk di sekitar kami.
“Nggak!”
“Nggak liat siapa siapa.” kata mereka.
Ternyata bukan cuma kita bertiga yang tidak melihat.
Penumpang yang duduk di dekat kami juga tidak ada yang melihat.
Aku segera masuk ke toilet cepat-cepat.
Semerbak bau bunga sangat menyengat di toilet.
Ah mungkin ada penumpang yang pake parfum menyengat, kataku menghibur diri, agar tidak ketakutan.
Bulu kudukku berdiri. Segera kuselesaikan urusanku secepat mungkin.
Aku bergegas menuju ke tempat dudukku.
Kuceritakan kejadian itu pada suamiku.
“Ah paling kamu keasikan ngobrol jadi nggak melihat dia keluar!” kata suamiku.
Penasaran, aku berjalan menyusuri seluruh lorong pesawat, mencari wajah cantik wanita Jepang itu.
Tidak kulihat wajahnya di kursi penumpang.
“Nggak ada, dia nggak ada di sini!” kataku pada suamiku.
“Mungkin dia ada di kelas satu!” kata suamiku.
“Tapi penumpang kelas satu kan ada kamar kecilnya sendiri, mana mungkin dia antri di sini!” kataku.
“Ah sudahlah nggak usah dipikirin!” kata suamiku.
Sepanjang perjalanan aku berusaha agar tidak terlalu sering ke kamar kecil. Setiap kali ke sana, aku selalu merinding dan tidak berhenti berdoa.

 

Lebih dari setahun kemudian, aku sudah melahirkan.
Anakku saat itu berumur sekitar satu tahun.
Sedang belajar berbicara.
“Aka!” kata anakku menunjuk ke tomat.
“Aka!” dia menunjuk ke apel
“Aka!” dia menunjuk strawberry.
“Midori!” dia menunjuk ke mangga.
“Midori!” dia menunjuk ke anggur hijau di tempat buah.
“Iya betul tomat, apel dan strawberry warna merah, Aka.
Mangga dan anggur ini hijau, Midori.” kataku.
“Kamu kok tahu bahasa Jepang? Tahu dari mana?” tanyaku.
Aku tidak pernah mengajari anakku bahasa Jepang.
Lah aku juga nggak bisa. Cuma ngerti sedikit-sedikit doang, kebanyakan lupanya.
Anakku menunjuk ke atas, ke langit-langit.
Bulu kudukku berdiri.

Kadang-kadang kulihat anakku berbicara sendiri dan tertawa-tawa.
Cukup banyak kosakata bahasa Jepang yang dikuasainya. Sebagian besar aku juga tidak tahu artinya. 
Yang mengejutkan, ketika umurnya sekitar 2 tahun. Dia juga mengenali huruf Jepang. Saat aku membeli makanan Jepang, dia bisa membaca kemasannya.
Aku pernah belajar hiragana katakana. Tapi aku tidak bisa kanji.
Dan aku tidak pernah mengajari anakku.
Untunglah hal itu tidak berlangsung lama.
Setelah dia masuk TK, dia sudah lupa bahasa Jepangnya. Sudah tidak lagi berbicara sendirian.
Kadang aku berpikir, apa mungkin gadis Jepang itu mengikuti aku pulang?



Catatan:
Terinspirasi dari kisah nyata.
Memori cerita ini muncul saat menonton Youtube, wawancara dengan Kenta. Pelawak Indonesia asal Jepang, yang bercerita tentang pengalaman kisah hantu di Jepang.
Saya selesai menulis cerpen ini sekitar pukul 4 sore.
Sekitar pukul 6 sore, tiba tiba mantan suamiku datang, membawa 2 buah lukisan.
Yang 1 lukisan wanita Jepang berkimono, 1 lagi lukisan pemandangan Jepang.
Aneh banget, dia bukan orang yang biasa memberi hadiah.
Dulu saat menikahpun, tidak memberi hadiah saat aku ultah.
Dan dia tidak tahu aku menulis cerpen ini.
Aku segera menolak 2 lukisan itu. Takut.
Jangan-jangan nanti gadis Jepang itu pindah lagi ke tempat tinggalku yg baru.
Dulu gadis Jepang itu menghilang saat kami pindah ke provinsi lain.

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.