Kotak-kotak

Cerita Perth

Kotak-kotak
"Kayaknya celana loe yang motif itu ada selusin ya, Un?" tanya Winda, sepupu-jauh-tapi-dekat; yang biasa memanggilku uni—bahasa Minang yang artinya kakak perempuan.
 
Pertanyaan itu, yang dilengkapi oleh dua emotikon terbahak-bahak, adalah komentar atas posting-an fotoku di-facebook. Rupanya, Winda masih ingat bahwa saat pemakaman adikku belum lama berselang, aku juga memakai celana serupa walau mungkin tak sama. Waktu itu, rupanya dia sempat berbisik memberi komentar tentang celana saktiku itu, kepada kakak sepupu langsungku.
 
"Di Perth bulan lalu itu, setiap hari tuh dia pakai celana kayak gitu," Kak Drup, sang kakak sepupu, balas berbisik.
 
Waktu kami ke Perth, Australia Barat, awal September 2023 lalu, di sana kebetulan sedang musim semi. Cuacanya dingin, apalagi bila angin keras bertiup. Untuk menanggulanginya, kami membawa pakain lapis dalam. Legging adalah di antaranya. Si legging yang kupakai panjangnya sampai ke mata kakiku. Sementara, celana kotak-kotakku hanya sampai di bawah betis sedikit. Akibatnya, kelihatan deh si daleman itu, yang menjulur keluar dari pipa celana si kotak-kotak.
 
Nah, buatku justru enaknya adalah bahwa celana kotak-kotakku itu sampai betis. Cocok buat Jakarta yang rawan banjir. Bahwa ia sampai ke Perth, ya keseenakanku saja sih. Sekembalinya dari sana, celana itu tetap menjadi celana yang sering sekali kukenakan.
 
Mengapa ia kupakai terus menerus? Karena, ia merupakan celana terbaruku. Celana terakhir yang kubeli beberapa bulan sebelumnya. Aku masih ingat jelas bahwa ia ada. Lalu, karena dipakai terus menerus, di lemari ia selalu menjadi yang kerap berada di tumpukkan teratas. Menjadi gampang diraih, tinggal sambar dengan mudah saat mau dipakai.
 
Celana kotak-kotak itu sebenarnya terbeli. Alias, dibeli tanpa rencana matang dan dalam keadaan sangat kepepet. Seperti tahu bulat, dadakan saja. Terjadi di pertengahan 2023, saat aku bekerja untuk seorang fotografer Belanda.
 
Saat itu, ritme kerja kami sangat intens. Sampai-sampai, aku menjadi terlalu lelah untuk pulang. Aku lalu menginap di sebuah hotel mungil di Tanah Abang, yang sangat dekat dengan Pasar Tanah Abang Blok B, pusatnya penjualan pakaian grosiran di Jakarta Pusat.
 
Ketika tiba waktunya harus keluar kota, daripada harus pulang mengambil pakaian bersih, terpikir olehku untuk belanja celana panjang atau sejenisnya saja. Rasanya, lebih afdol beli celana baru daripada me-londri-kannya di hotel. Harganya itu lho! Awalnya, aku berencana pergi ke sebuah department store di gedung Jakarta Theater, atau ke department store lain yang namanya seperti nama cerita wayang, yang berada di Jl. Sabang. Begitu pikirku, karena dua tempat itu terletak tak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap.
 
Tapi, lagi-lagi aku terlalu lelah untuk pergi ke dua lokasi itu. Ya betul bahwa lokasinya tak seberapa jauh. Tapi, seringkali macetnya sudah terlalu gila. Seperti hari yang tertentu itu, ketika jam sudah menunjukkan pukul 15.00 saat kami kembali ke hotel. Jam yang merupakan jam di mana kemacetan mulai tersimpul erat. Setelah menaruh barang-barang di kamar, dengan cepat aku memutuskan ke Blok B Pasar Tanah Abang saja.
 
Dalam bayanganku, gedung pasar itu pasti ramainya bukan main. Jangan-jangan malah ada copet segala, maka kutinggikan kewaspadaanku. Tapi, koq sepi ya ternyata, pikirku terheran-heran. Toko-tokonya banyak yang tutup. Ada apa ya, pikirku.
 
"Jam 3 siang toko-toko di sini memang sudah tutup, bu," jawab seorang penjual ketika kubertanya.
 
Lah, koq bapak masih buka?
 
"Karena saya sedang packing barang-barang buat dikirim ke Sumatra," jelasnya.
 
Toko bapak itu jualannya baju-baju Muslim semisal ghamis atau rok panjang lainnya. Sungguh tak cocok dengan pakaian yang kubutuhkan. Jadi, alih-alih beli sesuatu padanya, aku mengucapkan terima kasih dan pamit kepada si bapak.
 
Menyusuri lorong-lorong yang toko-tokonya mulai tutup, aku berpikir apakah tak sebaiknya aku ke dua atau salah satu department store yang tadi kusebutkan di atas. Tak kuketahui bahwa salah satu dari department store tersebut, yang namanya seperti cerita wayang, sudah tak ada. Lokasinya sudah menjadi hotel yang merupakan satu rantai dengan hotel tempatku menginap.
 
Beruntung, aku lihat ada toko pakaian wanita yang masih buka. Keberadaanya mencolok, karena ia merupakan satu-satunya toko yang masih buka di lorongnya. Manekin-manekinnya yang masih memakai pakaian contoh jualan, berjejer di luar tokonya yang sebenarnya lebih pas bila disebut sebagai kios itu.
 
Salah satu manekinnya memakai celana kotak-kotak semata kaki yang berwarna kuning. Atasannya blus sederhana dari bahan kain lembut berwarna putih. Tertarik dengan celana kotak-kotak itu, aku pun bertanya berapa harganya
 
"Itu ada atasannya, bu," kata gadis muda yang menjaga toko sendirian, setelah ia nenyebutkan harga yang kutanya.
 
"Oh, nggak usah, saya perlu celananya saja," jawabku sok yakin. Kupikir ia menawarkan blus itu agar kubeli juga.
 
"Nggak bisa, bu, ini dijuanya sudah satu set dengan atasannya".
 
Walah...
 
Karena tak ada tempat untuk mencoba, aku coba-coba secara khayal saja. Dengan memakai panjang lengan bawah dari siku ke pergelangan tangan, yang lalu diukurkan ke lubang di bagian pinggang yang sebagian berkaret. Cara mengukur macam itu dalam bahasa kerennya disebut antropometri. Tapi, keabsahannya masih dipertanyakan oleh saya sendiri. Untunglah, ternyata kemudian muat semua. Bahkan, sangat nyaman dipakai sehinga segera menjadi celana favoritkku.
 
Meski kemudian sedikit mengkeret sepertinya. Karena, dari yang panjangnya semula sedikit di atas mata kaki, menjadi sedikit di bawah betis. Masih untung sih, karena lebar pinggangnya tak berkurang.
 
"Ada warna apa saja, mbak?" tanyaku yang siap memilih warna.
 
"Selain kuning, ada merah, hijau, dan biru".
 
"Saya mau warna biru dan hijau masing-masing satu, mbak".
 
"Nggak bisa bu, harus beli semua," jawabnya mengejutkanku.
 
"Lho!?" responku heran.
 
"Kan ini grosiran, jadi harus beli satu set warna yang ada".
 
Aaaah, baiklah! Masih untung hanya empat warna, bukannya dua belas. Geli juga membayangkan bahwa aku juga mendapatkan atasan baru yang tak kuperlukan. Dan, dalam jumlah lebih dari satu. Tepatnya, empat buah. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Sampai saat ini, empat atasan tersebut belum pernah kupakai. Entah muat atau tidak, belum tahu juga.
 
Maka, aku pun melanjutkan kerja bersama sang fotograer Belanda tadi dengan memakai celana-celana baru itu. Aku jadi bisa lumayan modis ala-ala. Celananya kupasangkan dengan baju kaus yang sewarna atau senada. Itu kalau sedang mau sih, kalau tidak ya seperti biasa. Tabrak-tabrak saja.
 
Jadi, Winda, aku nggak punya selusin celana kotak-kotak itu ya. Hanya sepertiga lusin belaka. Terjawab sudah pertanyaanmu ya.  =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.