All You Can Eat

All You Can Eat

Waktu aku kecil, mama selalu mengingatkan untuk menghabiskan makanan yang ada di piring di hadapan kami anak-anaknya, apalagi makanan itu kami ambil sendiri. Untuk aturan satu ini, mama terbilang cukup keras.

Suatu hari di bulan puasa, adik bungsuku yang sedang belajar puasa, jajan ini itu untuk berbuka. Mama bertanya, apakah makanan sebanyak itu bisa ia habiskan? Dengan yakin adikku menjawab ya. Saat magrib tiba, ia mulai makan jajanan yang ia beli, satu per satu dengan semangat. Perlahan tapi pasti, makannya melambat. Mama menungguinya. Antara kasihan dan geli, kami kakak-kakaknya meninggalkannya di meja makan. Mama tetap mengawasinya. Akhirnya adikku menyerah dan mulai merengek. Dengan tegas mama bilang, habiskan! Sejak itu kami semua berusaha mengukur diri, makan secukupnya dan terbiasa menghabiskan makanan (dan minuman) yang sudah diambil.

Ketika mendapat tugas ke Aceh selama 2 bulan bersama seorang teman, kebiasaan itu cukup menjadi masalah. Ransum berupa nasi dan lauk pauk sebanyak 1 rantang susun 3 penuh, selalu tersedia siang dan malam untuk masing-masing kami. Rasanya lumayan enak, namun jumlahnya yang luar biasa banyak membuat kami kewalahan. 6 wadah untuk berdua!! Untungnya ada banyak teman yang bersedia menampung isi rantang kami. Jadilah acara makan bersama yang meriah di ruang belakang.

Tiba di Jakarta, adikku bertanya tentang makanan apa yang sangat diinginkan setelah sekian lama di Aceh. Pertanyaan sederhana tapi bingung menjawabnya. Aku bukan tipe petualang kuliner yang punya banyak rujukan. Memang banyak makanan di Aceh yang cocok dengan lidahku dan tidak akan ditemukan di tempat lain. Mie Aceh yang segar depan markas, daun-daunan yang menutupi ayam tangkap di.. (mmm, apa ya nama tempatnya?), juga sejenis kupat tahu yang -ajaibnya- tahunya enaaak (bagi orang Bandung, tahu yang paling enak ya hanya tahu Bandung). Aku tak ingin menggerutu soal makanan, karena itu aku katakan padanya tak ingin makan apa-apa. Selama 2 bulan melihat makanan sebanyak itu dan kewajiban menghabiskannya, cukup mengeringkan imajinasi soal makanan.

Adikku memandang heran, masak ngga kangen makan apa-apa? Mulailah ia menyebutkan satu per satu makanan yang kira-kira menggugah selera (hahaha, sepertinya ia lapar dan sedang mencari teman untuk berburu makanan). Pilihannya mulai dari jajanan umum kaki lima sampai makanan spesial yang disediakan di tempat khusus. Tidak satu pun yang menarik. Ia hampir menyerah dan bertanya setengah putus asa, barangkali ada makanan yang terlintas dalam pikiranku? Aku terdiam dan berpikir sama kerasnya, sebenarnya aku ingin makan apa sih?

Perlahan mulutku bicara, "makanan apa aja deh, yang penting aku bisa pilih sendiri, porsinya aku tentukan sendiri (dan tentunya bukan aku masak sendiri)". Adikku memandang serius, "bener nih gitu doang?". Aku mengangguk. Tiba-tiba ia bangkit, "Yuk kita ke Bulungan, di sana ada yang tempat yang cocok, kita bisa pilih sendiri makanan yang kita mau dengan porsi yang pas".

Terus terang, selama ini aku tidak pernah membayangkan ada tempat seperti itu. Di rumah makan Padang saja nasinya minimal satu mangkuk, meski porsi lauknya bisa ambil sesuai yang diinginkan. Ragu-ragu kuikuti adikku sambil bertanya dalam hati, "dia ngerti ngga ya maksudku?". Sampai di sana, kami masuk ke satu tempat makan yang cukup ramai. Ada meja panjang dengan penutup bening menyajikan berbagai jenis makanan. Macam-macam nasi, ayam, sayur, kue, minuman, juga es krim. Tampak pengunjung melihat-lihat display, membawa piring dari ujung meja dan mengambil sendiri makanannya. Sebelum masuk ke area ini, mereka dikenai biaya Rp. 47.500,- per orang. Di belakang kasir, aku melihat tulisan " makanan yang tersisa akan dikenai denda".

Luar biasa!!! Senang sekali menemukan tempat itu. Adikku menoleh dan tersenyum puas penuh kemenangan, "Seperti ini 'kan maksudmu?".

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.