Anak Abang Sudah Bersih

Kisah Mina dan Raja yang terkukung patriarki

Anak Abang Sudah Bersih

"Raja, istrimu itu harus pandai melayani suami meskipun anak banyak. Itu baru empat, dulu Mamakmu punya anak enam!"ujar Ibuku sambil berkipas. Aku mengakui kehebatan Ibu mendidik anak-anaknya yang enam orang itu, meski Bapak sibuk bekerja. Beliau masih sanggup tampil anggun dengan rambut bersasak, kemana pun ia pergi. 

Sedangkan Mina istriku, hanya cepol berantakan dengan pakaian yang beraroma muntahan bayi bercampur keringat. Namun begitu, aku tetap menyayanginya. Rasa cintaku terbukti dari hadirnya empat anak-anak berumur 3, 2, 1, dan yang terakhir kalau tidak salah baru lahir 40 hari lalu.

Aku ingat karena seharusnya hari ini masa nifas Mina selesai, dan kurasa sangat masuk akal bila aku yang sudah lama menahan nafsu sejak sebulan sebelum Mina melahirkan, meminta hakku sebentar lagi. Ibu kembali memberikan petuahnya, yang memutus anganku. Kuperhatikan seksama wajah Ibu, agar beliau tak marah dan mengira aku mengabaikannya.

 "Mina itu jangan hanya sibuk mengurus anak, urusan perutmu, memanjakanmu, itu adalah kewajibannya nomor satu. Untung saja anak yang terakhir itu laki-laki, kalau masih perempuan, sampai dapat anak laki-laki, belum ada berharganya itu Mina sebagai istri." lanjut Ibu menilai keberadaan Mina. Aku mengangguk-angguk membenarkan, dan ditanggapi celoteh Ibu, "Benar itu Raja, jangan sampai kau tidak dilayaninya dengan benar. Mengerti?" tanya Ibu. 

"Paham Ibu." jawabku singkat. Aku memang cukup bijaksana meningkahi pernyataan-pernyataan ibuku. Tidak perlu banyak ditanggapi, yang penting dijalankan sesuai maunya. 

------------------------

Malam itu aku melihat istriku sedang mengurusi anak bujangku yang masih mungil itu. "Mina, buatkan Abang kopi." titahku. Sembari menghela nafas Mina mengangkat bayi laki-laki yang sepertinya baru akan diganti popok. "Boleh Abang pegang dulu Sultan, biar Mina buatkan kopi Abang?" tanyanya.

"Bawa saja Mina, apa susahnya menggendong anak sambil membuatkan Abang kopi? Jangan lah anak dijadikan alasan pula Mina. Lagipula, Sultan masih bau, tak pantas kau berikan kepadaku" ujarku menuduhnya.

Mina menatapku nyalang sekejap, lalu pergi membawa Sultan dan menyiapkan kopi. Tak berapa lama ia kembali dengan kopi hangat beraroma nikmat. Tapi sebelum menyesap kopi panas itu, aku rindu istriku. 

Sedikit memaksa dan mengingatkan surganya ada pada kerelaanku, Mina menyerah. Tak perlu lama, hanya sampai keinginanku tercapai. Tak kuhiraukan Mina yang beranjak pergi, membersihkan diri.

Aku menyesap kopiku perlahan, dengan tenang dan penuh perasaan. Bersandar pada kursi besar, bagai seorang raja; memang namaku demikian itu. Entah karena hasrat yang terpenuhi, tidurku terasa lebih lelap.

---------------
Bang Raja memang tidak pernah peduli, dia hanya perlu keturunan laki-laki dari rahimku. Meski itu berarti rentetan anaknya yang lahir seperti nyaris tanpa jeda, menguras energi dan kesadaranku. Bahkan tadi malam masih saja ia merangsekku, mengiming-imingi surga yang entah di mana.

Aku terbangun dalam keadaan setengah sadar, melepaskan kain seprai yang berjejak menjijikan. Menumpuk sarung bantal dan guling menjadi satu dan menumpuknya di tengah.

Ku bawa tumpukan kain itu ke mesin pencuci. Untungnya, aku tak perlu mencuci dengan tangan. Meski Ibu Suri senantiasa menyindirku dengan sebutan manja, tapi Bang Raja masih manusiawi. Kalau memang masih bisa disebut demikian.

Aku masukan tumpukkan kain itu semuanya, tak ada waktu memisah-misah. Aku berpacu dengan waktu, sebelum anak-anakku merengek mendayu-dayu. "Nggkk, nggkk.." Benar saja, kan, bayi kecil itu sudah bersuara dari dalam kamar. 

"Sebentar, Nak!" Kuhidupkan air, yang secara otomatis masuk ke mesin cuci, kuputar pengatur suhunya menjadi 90 derajat, agar noda-noda semalam itu terangkat paripurna. Lalu segera kujemput putra bungsuku di dalam peraduannya. Tak kulihat Sultan di dalam buaiannya. 

Apakah sekali ini Bang Raja bersedia membuai anaknya? Apakah ia akhirnya berterima kasih atas pelayananku padanya. Entahlah, tapi kupikir ini berarti saatku untuk bisa memperpanjang tidurku sebentar.

-------------

"Mina, mana kopiku pagi ini? Tumben sekali kau masih terlelap. Jangan pula letih semalam kau jadikan alasan" cetusku membuat Mina tergeragap.

"Iya Abang, Mina buatkan kopinya." Bergegas ia ke dapur menjerang air di dalam teko. Ia juga mengambil beberapa potong kue dari dalam kulkas, untuk dihangatkan menjadi sarapan pagiku. Ia masukkan kopi ke dalam cangkir besar dan kue ke piring lalu menyajikannya di hadapanku sembari tersenyum tulus.

"Terima kasih Abang mau mengasuh Sultan pagi ini. Kakak Mirna dan Jelita juga masih tidur, membuat Mina sempat beristirahat yang cukup. Sudah lama Mirna merasa letih sekali Bang, seperti nyaris gila" celotehnya membuatku terheran.

"Sultan? Aku tidak bersamanya kok. Mana mungkin aku bisa mengurus bayi yang pipisnya masih sering berceceran itu?" ujarku 

Mina terkesiap, "Jadi, di mana Sultan, Bang? Ia tidak ada di buaiannya, atau ..." Mina berlari bagai kesetanan, mengejar mesin cuci di ruang laundry.

Aku yang masih kebingungan dengan polahnya, semakin terheran dengan sedu sedannya menangisi mesin cuci. "Bang, Sultan, Bang, Sultaaaaan!"

"Kenapa kau Mina, seperti kerasukan saja menangisi mesin cuci dan meneriakkan nama Sultan. Sudah gila kau?" sentakku.

Mina mendadak terdiam, lalu menyeringai, "Bang, sekarang Abang yang mengurus Sultan, sudah bersih dia sekarang." 

Minaku lalu berjalan meninggalkanku, pergi keluar rumah dan terus berjalan meski aku memanggil-manggil namanya. Saat aku mataku melirik jendela mesin cuci, tersirap darahku menatapnya. Sesosok  mungil tersembul di antara kain-kain putih.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.