Keping Kedua: Pendar Lentera Kala

Keping Kedua: Pendar Lentera Kala

Selalu.

Perkembangan zaman membawa serta setiap tren yang berubah-ubah di kalangan masyarakat. Sesuatu yang tak pernah bisa lepas dari pola pikiran kita adalah pengelompokan berdasarkan usia. Anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.

Sayangnya—atau malah sebuah keberuntungan—di era modern ini, hampir semua orang dalam tiap kalangan mengenal yang namanya gadget. Gawai, kalau menurut KBBI. Semua orang, dari anak-anak sampai orang tua, sudah tahu bagaimana caranya online di Facebook atau Instagram. Tak memungkiri juga kalau mereka mulai memanfaatkan jaringan sosial untuk mempermudah hidup.

Contohnya, memesan makanan.

Orang-orang itu bisa saja bersyukur karena tak perlu lelah keluar rumah untuk membeli segelas es kopi, tapi yang dilakukan Praba Kalandra adalah sebaliknya. Dia mengeluh.

“Pak, tadi pesanannya Cafe Latte, kan?”

Lelaki paruh baya yang berdiri di depannya mengenakan jaket berwarna hitam dengan corak hijau. Helm masih terpasang di kepalanya, entah sengaja atau memang malas mencopot. Tangan kanannya memegang ponsel yang layarnya ditunjukkan pada Kala.

“Ini tapi yang order ternyata ganti pesanan, Mas. Duh, gimana, ya?”

Kala menggeram, berusaha tetap sabar. “Kalo Bapak bilang dari tadi, saya bisa ganti. Sekarang ini udah siap pesenannya, Pak.”

Lelaki itu terdiam dan segera berkutat dengan ponselnya. Kala menunggu dengan sabar. Padahal jam kerjanya baru saja dimulai, tapi ia merasa seperti sudah bekerja seharian penuh.

“Duh, Mas ... ini Mbaknya yang pesen tetep minta ganti. Gimana, ya?”

Kala menghela napas panjang. Rasanya kasihan sekali melihat lelaki tua itu direpotkan oleh pelanggan tak tahu diri yang bersikap seenaknya.

“Biar saya yang bicara, Pak.”

Kala menerima ponsel yang disodorkan kepadanya. Diteleponnya nomor pemesan yang tertera di layar. Segera saja sebuah suara di seberang sana menyambar dengan nada ketus.

“Lama sekali, sih, Pak?”

Kala membelalak tak percaya. “Woi, nggak sopan banget lo jadi orang.”

“Kamu siapa?”

Lagi-lagi ia terheran akibat perubahan suara dan penggunaan bahasa yang aneh. “Gue adalah orang yang bikinin pesanan lo sebelum lo seenaknya ganti pilihan ke Iced Cappucino.”

“Aku sudah mengganti pilihan sejak lima menit setelah driver itu sampai di kafe. Apa aku salah?”

Kala menatap petugas layanan pesan-antar makanan itu dengan curiga. Sepertinya lelaki itu juga mendengar perkataan si nona sehingga ia menunduk dalam-dalam.

“Beneran, nih?”

“Tch, sudahlah kalau kamu tidak mau membuatkanku minuman yang baru. Sekalian saja aku cancel pesananku. Terima kasih.”

“Hei—“

Terlambat. Sambungan teleponnya sudah lebih dulu diputus oleh nona aneh itu. Kini Kala memandang lelaki paruh baya itu dengan pasrah. “Berarti Bapak dong, yang salah,” ujarnya putus asa. Ia merasa tak enak karena sudah membentak nona itu lewat telepon.

“Maaf, Den. Saya nggak lihat berarti tadi.”

Kala menyuruhnya kembali duduk dan menghubungi si pemesan, memberitahukan bahwa ia akan membuat minuman yang dipesannya. Pada akhirnya, Iced Cappucino itu tetap diantar bersama Cafe Latte, pesanan sebelumnya.

Di dalam plastiknya, Kala menyertakan sebuah kertas bertuliskan,

Maaf, gue kira lo pantas disamakan dengan Hera yang sombong. Tapi sepertinya, gue salah menilai.

[*****]

Seperti Helios yang melewatkan hari-harinya dengan berkelana di langit, menyinari bumi hingga matahari tenggelam, begitulah Kala menjalani hidup. Namun ia merasa lebih bermanfaat ketika malam tiba, bukannya saat siang ketika ia menjadi mahasiswa yang menghabiskan separuh kelas dengan tidur kemudian menjadi sasaran lempar penghapus papan tulis.

Praba Kalandra adalah nama pemberian ibunya, yang berarti sinar matahari. Pada dasarnya ia suka namanya. Namun alih-alih bersinar seperti matahari, ia lebih suka menjadi lentera.

Seperti lentera, Kala memberi cahanya yang redup tapi menenangkan. Ia tidak ingin menjadi seperti Helios, yang bersinar terlalu terang hingga tanpa sadar membuat yang lain tak bisa memandangnya akibat silau yang menyakitkan mata. Kala juga tak ingin menjadi seperti Helios, yang karena kuasanya sendiri, terkadang melibatkan dirinya dalam masalah.

Mama pernah bilang padanya, “mungkin kamu nggak seperti Helios, tapi lebih mirip Apollo.”

Kadang, Kala heran sendiri. Mamanya yang penggila mitologi Yunani itu mengapa menamainya dengan bahasa Sansekerta alih-alih bahasa Yunani?

Tidak seperti kebanyakan orang, pesan moral justru Mama sampaikan sebelum bercerita. Kisah Helios waktu itu diawalinya dengan penyampaian bahwa untuk menegakkan keadilan, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang.

Helios adalah dewa matahari. Ia adalah putra Hiperios dan Theia. Bangsa Romawi mengidentikannya dengan Seol. Helios adalah saudara dewi Selene dan Eos.

Dalam berbagai cerita, Helios memegang peran berjasa. Seperti memberi penghargaan pada Herakles atas keberaniannya dengan membuatkan mangkuk emas raksasa. Ia juga membantu cucunya, Medeia, membalas dendam pada pengantin baru suaminya dengan memberinya kereta perang emas yang ditarik naga, untuk kabur dari Iason dan rakyat Korinthos.

Namun pada kisahnya sendiri, Helios justru mendapat kemalangan.

“Karena berusaha menegakkan keadilan, Helios menerima sesuatu yang buruk,” ujar Mama sambil mengelus surai Kala.

“Tapi, Ma, berarti dia baik, dong?”

“Baik menurutnya nggak berarti baik untuk orang lain, Kala.”

Kata Mama, seorang dewi turut mengambil andil dalam ceritanya. Aphrodite namanya. Ia adalah dewi cinta, yang karena kecantikannya itu Zeus memutuskan untuk menikahkannya dengan Hefaistos, dewa api dan pandai besi, untuk mencegah terjadinya peperangan antardewa.

Namun kecantikan membuatnya lupa diri. Ia pun sebenarnya bukanlah seorang istri yang setia. Aphrodite berselingkuh dengan Ares, dewa perang. Ketika Hefaistos sedang tidak di rumah, Ares kerap kali menghampiri Aphrodite. Mereka menusuk Hefaistos dari belakang, tanpa sepengetahuan siapapun.

Suatu hari, ketika Helios mengendarai kereta mataharinya, tertangkap oleh matanya Aphrodite dalam rengkuhan Ares yang mencumbuinya. Tanpa berpikir panjang, Helios segera memberitahukan Hefaistos apa yang dilihatnya. Berkat Helios, Hefaistos berhasil menjebak Ares dan Aphrodite.

“Mama, aku bingung. Mestinya Hefaistos berterima kasih ke Helios karena sudah ngasih tahu dia yang sebenarnya. Iya, kan?”

Mama tertawa melihat anaknya yang kebingungan. “Dia memang berterima kasih. Lagipula letak masalahnya bukan pada Hefaistos,” ujar Mama. “Tapi pada Aphrodite.”

Merasa dipermalukan dan dicampuri urusannya, Aphrodite pergi ke langit dan menjumpai Helios. Ia murka dan berteriak di depan wajah Sang Dewa. Helios berusaha menenangkannya. Ia tidak tahu Aphrodite akan semurka itu.

“Aphrodite, aku hanya menyampaikan kebenaran. Yang seharusnya kau lakukan adalah memperbaiki dirimu.”

Kemarahan Aphrodite makin memuncak. Habis kesabaran membuatnya mengutuk wanita yang dicintai Helios. Helios mencintai seorang nimfa bernama Klitia. Aphrodite membuat Helios mencintai gadis lain yang bernama Leukothea.

Klitia jadi cemburu pada Leukothea sehingga dia menyebarkan gosip yang membuat ayah Leukothea menguburnya hidup-hidup. Akibat perbuatannya, Klitia pun ditinggalkan oleh Helios.

Klitia, yang sangat mencintai Helios, hanya bisa berbaring di tanah dan memandangi kereta Helios mengarungi langit siang. Selama sembilan hari Klitia memandangi Helios sebelum akhirnya mati. Tubuh Klitia kemudian diubah menjadi tanaman Heliotrope, yang bunganya selalu menghadap arah matahari.

Pada akhirnya, Helios tak bisa lagi mencintai siapapun.

Terik matahari terkadang terasa hangat namun tak jarang pula menjadi begitu menyengat atau bahkan tertutup awan. Banyak yang percaya, ketika matahari terasa membakar kulit, Helios sedang terbakar pula oleh amarahnya pada kutukan yang diberikan Aphrodite. Ketika matahari tertutup awan, itu berarti Helios sedang bersedih mengenang wanita yang ia cintai.

“Kasihan, ya, Ma? Padahal Helios melakukan sesuatu yang benar,” gumam Kala yang hampir terpejam diserang kantuk.

Mama mengecup kening Kala, membuat Kala kecil tersenyum. “Itulah sebabnya, kita tidak boleh menyelesaikan masalah secara sepihak.”

Waktu itu, Kala hanya mementingkan pemahamannya tentang salah dan benar. Ia belum tahu seberapa besarnya cerita itu membawa perubahan pada kehidupannya.

Kala benar-benar mengantuk hingga jatuh tertidur dengan kepala beralaskan lengan sang Mama. Wanita itu tersenyum.

“Mama cuma mau kamu menggunakan kebaikanmu dengan benar. Tidak seperti Mama, ataupun Helios.”

 

[Fiksi ini adalah pengembangan dari mitologi Yunani tentang Dewa Matahari, Helios.]

 

15220, ©ranmay.

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.