FILOSOFI BERJALAN

FILOSOFI BERJALAN

Sabtu pagi. Seperti biasa, saya nyempetin diri jogging keliling kampung sekitar komplek. Lebih sering jalan, sih, daripada jogging. Soalnya usia saya kan udah jauh melampaui kepala 4. Udah gak muda lagi. Gapapalah, ya. Yang penting bodi bergerak.

Sialnya, di tengah jalan, ujan turun. Saya memutuskan untuk mampir ke warung kopi sekalian untuk berteduh. Di dalam warkop itu ada seorang bapak-bapak, orang komplek juga, yang sedang ngopi dengan kaki diangkat sambil mengunyah pisang goreng.

"Halo, Pak Dion." sapa saya sambil menggosok-gosok sepatu ke keset.

Sebelumnya saya gak pernah ngobrol sama Bapak ini. Palingan kalo lagi papasan, kami cuma baku manggut doang. Konon kata orang komplek, Pak Dion kelakuannya aneh karena menderita depresi berat. Entah depresi apa. Pokoknya gara-gara gosip itu, orang jadi males begaul sama doi.

"Hey, Pak Budi. Yuk, sini kita ngopi bareng," kata Si Bapak.

"Hayuk! Siapa takut?' sahut saya sambil menengok ke Ibu Owner Warkop, "Nyai, kopi item kayak biasa, ya."

"Siap!" sahut Sang Nyai.

"Gara-gara ujan, gagal deh joggingnya. Bukannya bakar kalori eh malah nyuplai kalori," kata saya sambil nyamber pisang goreng di depan Pak Dion.

"Saya gak pernah jogging. Saya cukup jalan kaki. Itu lebih bagus," kata Pak Dion.

Beberapa menit kemudian, segelas kopi hitam tanpa gula sudah terhidang. Asapnya mengepul mengantarkan harum kopi ke ujung hidung. Di luar hujan semakin deras membuat aroma kopi tercium semakin sexy.

"Jadi buat Bapak, jalan itu lebih bagus daripada jogging?" tanya saya memancing percakapan.

"Bukan hanya dibandingkan jogging. Berjalan itu olahraga terbaik dari olahraga apa pun." sahut Pak Dion sambil menyeruput kopi dari lepekannya.

"Alasannya?" tanya saya mulai tertarik. Dari dulu selalu ada pertentangan antara jalan, lari dan berenang. Yang mana sebetulnya yang pantas disebut sebagai olahraga dasar terbaik. Saya gak pernah menemukan jawabannya.

"Ada banyak filosofinya. Saya akan kasih dua saja. Pertama, berjalan adalah aktivitas yang merujuk pada tingkat kesehatan individu. Kedua, tentang keberlangsungan sebuah proses."

"Weits, omongan Bapak sulit dimengerti, nih, kayak Rocky Gerung." saya mencoba bercanda.

BRAK!

Tanpa diduga, Pak Dion menggebrak meja lalu membentak saya dengan suara keras, "Saya minta Pak Budi mencabut omongan barusan. Saya gak suka disamakan dengan Rocky Gerung."

"Eh? Kenapa, Pak?" Saya kaget ngeliat dia tiba-tiba murka dengan mata melotot.

"Pak Budi boleh menyamakan saya dengan siapa pun. Tapi jangan dengan Rocky Gerung."

Dalam setiap pertemuan pertama, memang selalu ada adu pengaruh satu sama lain. Adu pengaruh ini memang tersembunyi dan hanya pelaku dialog yang merasakannya. Di titik ini saya gak mau kalah. Jangan sampe saya kalah pengaruh oleh dia. OK, Pak Dion, lo pikir gue takut sama elo ya.

"Baiklah, saya ralat. Pak Dion omongannya sulit dimengerti kayak orang gila!" kata saya seraya bersiap dia tambah murka.

"Hahahahaha...nah itu jauh lebih baik. Hahahaha....!" Di luar dugaan Pak Dion malah ngakak mendengar omongan saya.

'Wah, beneran stres ini orang, pikir saya.

"Hahahaha....!" Si Bapak masih terbahak-bahak. Perutnya yang gendut sampai terguncang-guncang kena efek tawanya yang menggelegar.

Saya cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Saya tuang kopi ke lepekan dari beling bergambar wayang lalu saya seruput untuk merayakan rasa lega. Sementara Si Bapak melanjutkan ucapannya seakan tidak pernah ada sesuatu yang terjadi.

"Jadi berjalan itu adalah ukuran tingkat kesehatan. Misalnya Pak Budi tanya apa kabarnya anak si Anu? Saya bisa jawab, 'Anak Pak Anu udah bisa jalan. Kata 'berjalan' di sini adalah aktivitas dasar yang merujuk pada kesehatan manusia secara umum"

"Maksudnya?" tanya saya belum menangkap maksudnya.

"Saya tidak akan menjawab, 'Oh, anak Pak Anu sudah bisa berlari, atau sudah bisa berenang. Saya pasti akan pilih kata 'berjalan'. Karena 'berjalan' adalah keberlangsungan dasar sebuah proses."

Nah, sekarang saya mulai bisa mengerti ke mana arah pembicaraannya.

"Kalau Pak Budi menanyakan kabar Pak Anu yang baru saja kena stroke, saya juga bisa menjawab, 'badannya mati sebelah tapi alhamdulillah dia masih bisa jalan."

Weeh...ternyata Pak Dion gak stres2 amat. Buat saya dia mempunyai filosofi yang menarik. Kereeeen...

"Contoh lainnya. Misalkan saya tanya, apa dampak covid kemaren buat perusahaan Pak Budi? Anda bisa jawab, 'ancur-ancuran sih. Pokoknya saya cuma berusaha bagaimana perusahaan saya tetap jalan."

Perlahan tapi pasti saya mulai respek pada Bapak ini.

"Misalnya Pak Budi mau beli mobil kuno untuk dikoleksi. Pak Budi pasti akan menanyakan 'Apakah mobil itu masih bisa jalan?'

"Luar biasa, Pak Dion. Mind opener banget, nih, omongan Bapak." Saya mengeluarkan HP untuk mencatat omongan Si Bapak.

"Berjalan itu lebih dari sekadar gerakan fisik. Berjalan adalah langkah kecil yang membawa dampak besar dalam perjalanan panjang kehidupan manusia."

"Dari semua pemikiran itu, Bapak menyimpulkan bahwa berjalan adalah olahraga terbaik. Lebih baik dari berlari, berenang dan lain-lain?" tanya saya lagi.

"Betul. Kalau kita masih bisa jalan, proses kehidupan yang kita jalani masih berlangsung. Pak Budi boleh tidak setuju tapi saya sangat meyakini pemahaman itu."

"Saya setuju sama Pak Dion." Saya mengulurkan tangan mengajak toss.

TOSS! Kedua tangan saling bertepuk tanda kesepahaman.

"Berjalan adalah keberlangsungan sebuah proses. Berjalan adalah representasi dari aspek kehidupan," kata Pak Dion lagi.

Di luar hujan sudah mulai reda. Saya pun pamit pada Pak Dion. Dengan langkah ringan saya melanjutkan olahraga pagi tanpa keraguan. Saya memilih untuk berjalan. Pak Dion sudah memberikan perspektif baru tentang makna berjalan. 'Berjalan' adalah metafora yang melibatkan sejumlah makna yang dalam dari kehidupan.

Untuk pertama kalinya saya meyakini bahwa berjalan adalah olahraga dasar terbaik.

Thanks Pak Dion.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.