Acian Sahabat Kecil

Acian Sahabat Kecil

Ini sepotong kisah tentang persahabatan masa kecilku, lebih dari empat puluh tujuh tahun silam. Teman bermainku yang pertama, seingatanku.

Tentu aku punya teman sekolah. Tetapi setelah jam sekolah usai, sehari-hari aku hanya bermain dengan adik-adik, atau sesekali dengan para sepupu. Dengan permainan anak perempuan yang membosankan semacam caklingking (dampu), lompat tali, atau sembunyik gung (petak umpet). Lalu tiba-tiba saja Tuhan mempertemukanku dengan gadis tionghoa yang menyenangkan itu.

Ketika itu aku diajak ayah ke bengkel ko Ahun di kampung Semabung. Ko Ahun adalah montir langganan ayah untuk merawat dan memperbaiki mobil dinas kebanggaannya, sebuah jip Willys tua keluaran tahun 1950an. Jip warna hijau berplat nomor BN 45 itu kerap bermasalah dan sudah sulit mencari onderdilnya. Tapi ko Ahun yang punya banyak kawan di kalangan montir lihai mendapatkan onderdil “copotan” atau memodifikasi onderdil mobil Jepang sehingga bisa dipasangkan di mobil-mobil tua semacam mobil ayah.

Ko Ahun banyak kawan dan jejaringnya luas di kalangan montir. Tak jarang ia mendapatkan onderdil bekas di bengkel PT Kobatin di kota Koba atau Unit Peleburan Timah (Peltim) di kota Muntok. Padahal sarana telekomunikasi dan informasi pada masa itu masih amat terbatas. Telepon seluler? Sama sekali belum terbayangkan. Telepon kabel pun masih menggunakan sistem engkol untuk minta disambungkan oleh kantor sentral telepon PN Timah, perusahaan besar yang memiliki hampir seluruh infrastruktur yang ada di pulau kami. Bila kita bertelepon terlalu lama, pegawai operator sentral bisa menyela pembicaraan dan merutuk judes: “Switch-nya lah panas ni. Jangan mengobrol terlalu lama!” Lalu sambungan diputus begitu saja.

Rupanya hari itu ko Ahun perlu waktu yang agak lama untuk mengerjakan perbaikan. Tapi ayah tak keberatan menunggu. Ko Ahun lalu memanggil seseorang: “Ciaan… Aciaaan!” dan muncullah seorang gadis kecil sebayaku dari dalam rumah. Berambut lurus sebahu, wajah putih bersih oriental, berkaus dan bercelana pendek selutut.

“Cian, ka ajak main la anak bapak ni… tapi jangan main jauh igak ya,” kata ko Ahun.

Anak itu melihatku. “Yoh! Kite main di belakang rumah. Ningok anak ayam merawang peliharaanku,” ajaknya.

Sudut matanya yang menggaris saat tersenyum menciptakan raut wajah ramah yang seperti ingin berteman dengan siapa saja. Sikapnya membuatku tak canggung. Aku menengok ayah yang mengangguk mengizinkan. Lalu bergegas mengikutinya.

Sape name ka woh?” tanyanya dengan logat tionghoa Bangka yang kental sambil terus berjalan melewati samping rumah.

“Budi. Name ka Acian kan?”

Ia tertawa. Tentu saja aku sudah tahu karena ko Ahun tadi memanggil namanya sambil berteriak.

“Ya, lengkapnya Booong… Miiin… Ciaaan…” katanya dengan gaya seperti guru menerangkan kepada murid. “Di sekolah urang manggil ku Min Cian.”

“Bong Min Cian,” aku menggumam menghapalkan. “Ka sekolah dimane? Kelas berape?” Tanyaku sambil berusaha mengimbangi jalannya yang cepat.

“Di SD Swadaya, Gudang Padi. Kelas empat. Ka?”

Ku kelas tige. Di SDN 3 deket rumah. Ka ape e ko Ahun?”

Je ako ku lah. Ku adik ko Ahun paling kecit.”

Kami sampai di halaman belakang yang lumayan luas tapi tampaknya tak terurus. Ada beberapa kandang, onggokan mesin-mesin - bahkan bangkai mobil tua - yang sudah penuh dikepung rambatan belukar, tumpukan kayu bakar, pohon duren yang tinggi menjulang, beberapa pohon kelapa dan puluhan buah kelapa tua bertumpuk-tumpuk, pakaian yang melambai-lambai di kawat jemuran, serta perigi (sumur) dan dua buah ember seng di sampingnya. Tak ada rumah tetangga. Halaman belakang rumah Acian yang tak berpagar, langsung berbatasan dengan hutan dan rawa.

Mataku masih memperhatikan sekeliling dengan waspada. Biasanya orang tionghoa memelihara babi yang dilepas begitu saja di halaman. Bila ada babi muncul, aku sudah siap lari sekencang-kencangnya ke bengkel.

Tiba-tiba terdengar suara sekelompok anak ayam yang menciap-ciap ramai. Lucu. Bulunya berwarna coklat berbintik-bintik hitam. Mengingatkanku pada gulungan benang rajut mamak yang kuberi kaki dari potongan sumpit bambu. Aku berlari mendekat. Ingin menangkap dan menggenggam makhluk kecil itu. Tapi ternyata tak mudah. Kaki-kaki kecil itu gesit menghindar dan ciap-ciapnya semakin riuh. Tak mau menyerah, aku berdiri mematung menunggu mereka kembali mendekat. Lalu dengan cepat, aku berjongkok berusaha meraih salah satu yang terdekat.

Lalu malapetaka itu datang. Dari balik kandang, seekor ayam gemuk sebesar angsa menghambur marah ke arahku. Sungguh aku tak bohong! Ayam gendut itu terbang tinggi sekali ke arahku. Matanya melotot dan cakarnya teracung siap mencabik-cabik wajahku!

Aku terjerengkang dan jantungku seperti hendak melompat keluar. Secepat kilat aku berdiri dan lari tunggang langgang sambil berteriak kencang: “Mamaaaak…”

Wajahku pucat pasi. Aku belum pernah melihat ayam betina sebesar itu. Sementara dadaku sesak menahan tangis, Acian malah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sungguh sebuah awal pertemuan yang tak patut untuk dikenang.

***

Setelah itu, kami sering bertemu dan bermain bersama. Kalau ayah ke bengkel, pasti aku ikut karena kami sudah punya banyak rencana petualangan yang mengasyikkan di hutan. Banyak ilmu dan pengalaman baru yang kudapat dari Acian. Aku jadi mengenal berbagai macam buah hutan seperti buah nipah, rumbia, kelubi, rukem, rambai, nasi-nasi, manau dan keraduduk. Buah-buahan yang kami kumpulkan, biasanya kami bawa ke sebuah pondok bertiang kayu gelam beratap daun nipah yang dibuat orang kampung di tepi rawa. Rawa berair jernih bekas galian timah jaman Belanda dulu yang disebut “kolong” itu tempat orang kampung mandi dan mencuci pakaian. Sambil menikmati rambai, kami duduk mencelupkan kaki di air kolong yang dingin sambil melarungkan perahu yang kami buat dari pelepah rumbia. Tak ada yang kami takutkan walaupun ame (ibu) Acian berkali-kali mengingatkan bahaya ular manau berbisa yang sering bersarang di belukar pinggir rawa.

Kami juga sering memungut apa saja yang terserak di hutan yang bisa dipakai untuk permainan; biji saga merah untuk main jentik atau buah pohon karet untuk main pangkak (menghantam dua buah karet bertumpuk dengan telapak tangan hingga salah satunya pecah yang berarti si pemiliknya kalah)

Acian sangat gesit memanjat segala macam pohon. Hanya memanjat kelapa yang belum pernah aku melihatnya. Bila memanjat pohon rambutan, manggis atau jambu bandar (semacam jambu bol berwarna putih), ia berani meraih buah masak yang paling ujung dan langsung menikmatinya sambil duduk di atas cabang pohon. Sementara aku hanya bisa berteriak-teriak dari bawah minta dibagi.

Sesekali Acian datang ke rumah kami di kampung Katak. Dibonceng ko Ahun naik sepeda. Terkadang ko Ahun ada keperluan memeriksa kondisi mobil ayah. Tapi tak jarang ia hanya mengantarkan Acian sambil membawakan sekantong buah-buahan untuk mamak. Lalu pergi ke pelanggannya yang lain. Ko Ahun akan menjemput Acian setelah menyelesaikan pekerjaannya. Seringkali Acian menemaniku membuat PR dan mengajarkan tugas berhitung yang belum aku pahami sambil menikmati penganan yang dibuatkan mamak.

Ada saja ulah Acian yang tak pernah terpikir olehku. Ide-idenya selalu menakjubkan. Suatu ketika ia datang bersama ko Ahun dan langsung melompat dari sepeda menghampiriku.

“Lihat apa yang kubawa!” serunya sambil membuka tas kecampang yang dijinjingnya dan mengeluarkan sesuatu. Kulihat sebuah ayakan kecil terbuat dari anyaman bambu seperti punya mamak untuk mencuci beras dan kaleng bekas susu. Aku memandang tak mengerti apa yang sedang ia rencanakan.

“Ayo ikut!” serunya sambil menarik tanganku.

Kami berlari ke arah lapangan Merdeka yang hanya beberapa langkah dari rumahku. Di sisi barat, di antara lapangan sepak bola dan lapangan tenis terdapat bandar (selokan) yang menyerupai sungai kecil dengan air yang jernih mengalir.

“Kita akan menanggok tepuyu,” katanya. “Ka turunlah!” perintahnya. Lalu tanpa ragu ia menuruni bantaran bandar dan mulai mengintai sela-sela rerumputan dan lumut di dinding bandar tempat ikan tepuyu (ikan betok) bersembunyi.

Ka kacau airnya dari sana supaya ikan-ikan tu lari ke arahku.” Tak sampai setengah jam, selusin cepuyu sebesar ibu jari sudah berhasil ia tangkap. Tanpa ragu, Acian menggenggam ikan yang sirip punggungnya berduri tajam itu dan memasukkan ke kaleng.

Di waktu lain, ia melihat anak-anak asik bermain seluncuran menggunakan pelepah daun palem raja yang tumbuh berbaris di sepanjang tepi jalan di lapangan Merdeka. Tepi lapangan yang berhadapan dengan rumah dinas Walikota bertebing rumput cukup tinggi karena posisi jalan di sisi utara lebih tinggi sekitar tiga meter dari lapangan bola membentuk semacam tribun. Seorang anak duduk di atas pangkal pelepah kering, lalu anak yang lain menarik ujung pelepah sekuat tenaga dan pelepah bersama anak di atasnya akan meluncur deras menuruni tebing hingga ke bawah. Mata Acian langsung berbinar. “Ayo kita ikut main tu,” katanya sambil berlari. Lalu kami memungut sebuah pelepah dan main seluncuran berulang-ulang sampai puas terguling-guling.

Adakalanya kami hanya berlarian di Taman Sari dan melempar-lempar pohon asam jawa untuk menjatuhkan buahnya, main tarik sumpit asuk penjual kue pangchiam atau jajan kue jongkong.

Ka nak jadi ape kelak?” tanyanya tiba-tiba saat kami duduk di undakan tugu prasasti di Taman Sari sambil menikmati kue jajanan.

“Hah?” Aku tergagap. “Aku dak tau. Agik lame. Tepikir ge lom,” kataku bingung.

“Aku mau dagang, mau jadi pengusaha. Kelak ka masih kuliah, ku lah kayo, lah punye oto. Pacak ngajak ka jalan-jalan. Kite gi ke pantai Matras,” katanya ringan seolah rencana itu akan terlaksana minggu depan. Aku hanya diam sambil membayangkan sedang duduk di mobil seperti mobil jip ayahku tapi disupiri anak kecil ini.

Pernah Acian mengajakku ke kampung Upas untuk melihat buaya di rumah Atok Baye, begitu anak-anak memanggil kakek yang memelihara buaya itu. Entah dari mana pula Acian tahu tentang buaya Atok Baye. Aku yang tinggal lebih dekat dari Kampung Upas bahkan baru tahu dari Acian.

Buaya yang ditangkap Atok Baye di sungai Batu Rusa itu dipelihara sejak kecil di dalam bak semen memanjang yang hanya sedikit lebih besar dari badannya sehingga ia hanya bisa diam tak leluasa bergerak. Jantungku berdegup kencang tak berani mendekat melihat buaya sepanjang tiga meter itu melirik bengis ke anak-anak yang mengelilinginya. Sesekali ia menguap bosan sambil memamerkan barisan gigi dan kerongkongannya. Sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa tak ada kesulitan sedikitpun baginya untuk menelan kepala kami bulat-bulat.

***

Persahabatan kami akhirnya mendekatkan kedua keluarga. Di hari Lebaran, sebagaimana semua masyarakat tionghoa di kota kecil kami yang ikut bersuka cita merayakan, ame dan apak Acian datang ke rumah dan ikut makan hidangan hari raya masakan mamak. Sebaliknya, di hari raya Kongian (Imlek), kami sekeluarga berkunjung ke Semabung. Aku akan ikut mengucapkan “kiung hie kiung hie” mengepalkan kedua tangan di depan dada sambil berharap mendapat angpao. Lalu kami menikmati kue-kue Kongian yang tersedia di meja seperti kue nanas bong li piang, getas, kue sempret, kue satu, kue angka delapan, kue rintak dan kue semprong.

Suatu hari, ayah menunjukkan sebuah undangan pernikahan. “Minggu depan Ahun menikah. Kau mau ikut ke pestanya?” tanya ayah.

Tentu saja aku mau. Bahkan aku sudah membayangkan memakai pakaian kebanggaanku baju safari warna krem berkantong empat yang baru kupakai dua kali lebaran. Kantong empat itu sangat berguna untuk mengantongi kue-kue lebaran saat bertamu ke rumah tetangga dan saudara.

Tibalah hari pernikahan ko Ahun. Kami sekeluarga datang ke rumah besar tempat pesta pernikahan yang tak jauh dari rumah kami di kampung Katak, di tepi jalan Sudirman. Saat kami tiba, Acian dengan senyum lebar berlari menyambutku. Ia terlihat cantik dengan gaun putih pengiring pengantin. Jauh berbeda dengan kesehariannya yang sederhana dan tomboy saat bermain denganku.

“Ayo masuk,” katanya sambil menarik tanganku saat orang tuaku masih bersalaman dengan keluarganya yang menjadi penerima tamu. “Ayo aku temani makan. Jangan takut, kami dak masak chukut dak,” katanya menggoda dengan sorot mata jenaka. Tentu saja tak akan ada hidangan masakan daging babi. Banyak anggota keluarga Acian sudah menjadi muslim dan menikah dengan orang melayu.

Gedung tempat pesta pernikahan ko Ahun adalah bangunan kuno berlantai dua yang sangat besar berarsitektur campuran Tionghoa, Belanda dan Melayu. Hampir seluruh bagian bangunannya terbuat dari kayu. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa rumah beratap tinggi, bercat hijau dan berlantai ubin bermotif indah itu adalah rumah keluarga Lay yang dibangun Lay Foeng Joe pada tahun 1860. Rumah itu juga dikenal sebagai rumah kapiten China Lay Nam Sen, yang merupakan generasi kedua keluarga Lay.

Bagian depan rumah merupakan beranda panjang di mana keluarga Acian berjajar menerima tamu. Memasuki pintu utama terdapat altar sembahyang diapit lorong menuju ruang tengah, dan beberapa pintu kamar utama di bagian kiri dan kanan. Kami berjalan melewati ruang tamu terus ke beranda belakang tempat pesta berlangsung. Di beranda belakang terhampar halaman yang diapit paviliun di sayap kiri dan kanannya. Paviliun sebelah kiri berupa deretan kamar-kamar dan paviliun sebelah kanan berupa teras terbuka tempat meja hidangan dan beberapa meja kursi untuk tamu. Di sudut teras, seseorang memainkan lagu-lagu dengan piano. Melihat kedatangan kami, pasangan pengantin yang sedang berkeliling menyapa tamu, menghampiri kami.

Sesudah makan, Acian mengajakku menjelajah rumah besar itu. Aku ragu, tapi seperti biasa ia bisa mempengaruhiku dan seperti biasa aku pun tak mampu menolak. Kami berjalan mengintip-intip kamar-kamar di paviliun yang tampaknya berisi barang-barang antik. Karena tak ada lagi yang bisa dilihat di paviliun, kami keluar samping rumah melalui sebuah gerbang beton melengkung dan kembali menuju teras depan yang sudah sepi karena sepertinya tak ada lagi tamu yang datang. Kami memasuki ruang depan. Bau asap dupa gaharu dan foto-foto tua di atas altar dan sepanjang dinding membuat suasana menjadi agak menyeramkan. Aku terus menempel mengikuti Acian. Tak berani jauh-jauh darinya.

Sebelum pintu teras belakang terdapat tangga kayu menuju ke lantai atas. Tanpa ragu Acian melangkah naik dan aku terus mengikuti. Lantai atas berlantai dan berdinding kayu dengan tiang-tiang balok yang besar. Kami berjalan perlahan, mengendap-endap agar langkah kami tak berbunyi. Di sudut-sudut ruang terdapat perabot kursi meja termasuk lemari-lemari kaca besar terbuat dari kayu coklat tua berisi pecah belah antik. Sunyi, remang-remang, menakutkan. Tak ada seorangpun di sana tapi aku merasa seperti ada yang mengikuti di belakangku. Aku merasakan dengus nafasnya di tengkukku. Aku mencengkeram lengan Acian kuat-kuat.

Sebuah pintu terlihat sedikit terbuka. Rasa ingin tahu Acian semakin menjadi. Ia mulai mengintip ke dalam. “Cian! Ka jangan masuk!” bisikku memperingatkan. Tapi terlambat. Ia sudah melangkah masuk ke dalam kamar yang gelap. Semula kami tak dapat melihat apa-apa karena hanya ada sedikit cahaya yang mengintip dari celah jendela kecil di dekat langit-langit. Setelah mata kami mulai beradaptasi, kami melihat sebuah kursi goyang bersandaran tinggi di sudut ruangan, berayun pelan. Hanya sejarak satu meter di depan kami. Jantungku serasa berhenti berdetak. Ada sosok perempuan tua berambut putih duduk disitu. Diam tak bergerak. Bahunya terbungkuk dan matanya berkilat-kilat di kegelapan menatap kami.

Kami berdua serentak ingin berteriak tetapi suara kami tercekat. Kurasakan tangan Acian memegang lenganku kuat-kuat. Butuh sepersekian detik untuk dapat menggerakkan kaki kami yang seolah terpaku di lantai. "Lariiii...." teriak Acian yang akhirnya bisa mengeluarkan suaranya. Sesaat kemudian kami telah berebut lari keluar tanpa melihat lagi kiri kanan. Suara kaki kecil kami ribut berderak-derak di lantai kayu hingga menuruni tangga.

Sampai di tempat pesta, kami terduduk lemas. Terdiam mengatur nafas yang masih tersengal-sengal dan jantung yang berdegup kencang. Kulihat wajah Acian yang putih semakin pias, pucat pasi seperti mayat. Giginya bergemelutuk dan keningnya berkeringat. Keadaanku sendiri rasanya lebih parah. Lututku gemetar tak terkendali.

***

Setelah peristiwa itu, lama aku tak bertemu dengannya. Aku tahu ia tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian sekolah. Lagipula saat itu sudah pertengahan September. Sudah memasuki musim penghujan. Orang-orang malas keluar rumah berhujan-hujan sehingga kota kami semakin sunyi.

Lalu tiba-tiba ia datang bersama ko Ahun. Tak seperti biasa, Acian tak banyak bicara. Ko Ahun yang bercerita bahwa Acian akan melanjutkan sekolah SMP di Jakarta dan ikut salah seorang ace-nya (kakak perempuan) yang tinggal di sana. Aku pun hanya diam mendengarkan obrolan ko Ahun dan ayah. Kata ko Ahun, kakak Acian di Jakarta minta ditemani karena suaminya seringkali pulang kerja larut malam. Sedangkan mereka tinggal di daerah yang masih sepi di daerah Jelambar.

Sebelum pulang, Acian menyalamiku. Ia tak berkata apa. Tapi sorot matanya menyiratkan kata-kata perpisahan. Lalu ia memberikan sebuah kaleng penuh berisi biji saga. Ia punya banyak biji saga karena selalu menang main jentik melawanku.

Ka simpankan untukku. Supaya kalau aku pulang kelak kita bisa main lagi. Selamat tinggal Budi. Chai kienSinmung lah jadi kawanku...” katanya. Aku mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Lalu berlalu sambil melambaikan tangannya hingga menghilang di tikungan.

Ada rasa kehilangan yang tak pernah dapat aku gambarkan. Setiap liburan sekolah diam-diam aku mengharapkan  kedatangannya. Tapi Acian tak pernah lagi muncul. Hingga berpuluh tahun kemudian aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Kudengar dari ayah, ko Ahun pun telah hijrah ke Jakarta setelah kedua orang tua mereka meninggal dan rumah mereka telah dijual.

***

Hari ini, semua kisah masa kecil bersama Acian berkelebatan di kepalaku seperti memutar sebuah film lama saat sore itu aku duduk sendirian menikmati es kopi di Latrasee Bistro. Ya, rumah tua itu kini telah dipugar bagus dan dijadikan kafe yang menempati salah satu sisi paviliun dan teras belakangnya. Seorang pelayan menghidangkan sepiring roti peranakan, roti yang direndam dengan kocokan telur, digoreng dengan sedikit mentega lalu ditaburi gula. Aku memandang ke sekeliling dan membayangkan kaki-kaki kecil yang menjelajahi setiap sudut yang masih sangat kuingat.

Ku buka aplikasi memo di hp-ku dan mulai menulis:

Gerimis sore singgah di Taman Sari
Rinainya membasuh rimbun kanopi pohon-pohon asam tua
Dua sahabat kecil berkejaran di pelataran granit tugu prasasti
Gelak tawa suka cita saat genangan air memercik dari sela-sela jemari kaki
Membuat hujan enggan beranjak pergi…

Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa ingatanku tentang Acian tak pernah memudar, serupa warna merah biji-biji saga pemberiannya yang masih kusimpan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.